Kirim Doa Buat Gus Dur, Al Fatihah…

Oleh : Edo W.

Hari ini almarhum KH Abdurahman Wahid dilahirkan tepatnya 7 September 1940 atau 77 tahun silam. Sikap dan ketauladannya semasa hidup sulit dilupakan bangsa Indonesia. Sosok Gus Dur, demikian akrab disapa adalah tokoh ulama besar yang senantiasa mengenalkan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin. Sebagai agama yang memberikan Rahmat bagi semua umat.

Gus Dur selalu membela kelompok minoritas untuk menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang menyejukkan.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Anak lelaki kebanggaan itu kelak menjadi orang besar di Indonesia dan bahkan memimpin negeri ini. Dia lah cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy’ari, KH Abdurrahman Wahid atau yang kemudian hari dikenal dengan Gus Dur. Tokoh pluralis yang dicintai berbagai etnis dan suku di Indonesia, seorang yang humoris, hingga orang nomor satu negeri ini.

Soal tanggal lahir ini, ada kisah unik seperti gaya Gus Dur semasa hidup. Meski Gus Dur lahir pada 7 September, sejumlah orang sering merayakan hari ulang tahun Gus Dur pada 4 Agustus.

Tak heran maka jika diingat, setiap 4 Agustus, peringatan Hari Lahir (harlah) Gus Dur kerap dilakukan Gus Durian untuk mengenang sang “Bapak Bangsa” itu.

Aneh tapi nyata, ibunda Gus Dur ternyata tidak tahu persis kapan anaknya lahir.

“ltu sebabnya saya tidak heran kalau orang-orang pada bingung kapan tepatnya saya lahir. Karenanya, terserah penafsiran oranglah,” ujar Gus Dur tersenyum sambil menyebut tanggal lahirnya adalah 4 Agustus 1940.

Bulan delapan nyatanya belum tentu pula jatuh pada bulan Agustus. Pasalnya, yang diingat Gus Dur dia lahir di bulan Sya’ban menurut penanggalan Islam.

Tak pastinya tanggal lahir Gus Dur ini karena buku doa yang berisi tanggal lahirnya hilang saat perang.

“Ayah saya (Wahid Hasyim) ikut perang sehingga buku itu terceceh entah ke mana,” ujarnya terkekeh.

Gus Dur tak ambil pusing soal waktu pasti dia lahir karena tak memiliki tradisi merayakan hari ulang tahun. Tradisi merayakan ulang tahun, kata Gus Dur, baru ada setelah putrinya yang paling kecil yakni Inayah Wulandari. Sebelum-sebelumnya, Gus mengaku lebih sering lupa hari ulang tahunnya.

“Anak itu selalu ingat saya ulang tahun. Dan hanya untuk dia saja, tradisi merayakan ultah ada,” katanya.

Ayah Gus Dur menamakan putranya awanya adalah Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid”. Sedangkan Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak.

Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”.

Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur mulai nyantri di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.

Pada November 1963 Gus Dur meraih bea siswa dari Kementrian Agama untuk mengenyam ilmu Al Quran di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Setelah itu Gus Dur melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Universitas Baghdad di Irak. Disini Gus Dur juga mendapat bea siswa. Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad.

Pulang ke tanah air Gus Dur punya kebiasaan berkeliling pesantren di seluruh Jawa. Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur lebih memilih mengembangkan pesantren.

Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980.

Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI.

Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 Gus Dur mendapat amanah dari Allah SWT dan rakyat Indonesia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke empat.

Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga mereka menerima dengan terbuka. Gaya Gus Dur merangkul.

Banyak kebijakan Gus Dur semasa menjabat Presiden yang mengayomi etnis Tionghoa. Sejumlah kebijakan Gus Dur menghapuskan diskriminasi terhadap warga bangsa yang kebetulan lahir dari etnis Tionghoa yang semasa Orde Baru dikekang. Pada Januari 2001, Presiden Gus Dur mengeluarkan perintah Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Gus Dur adalah sosok Presiden dalam sejarah Indonesia yang berani secara jantan meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain.

Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.

Meski tak lagi menjabat sebagai presiden, perjuangan Gus Dur tidak pernah lelah dan berhenti untuk pengabdian kepada kemanusiaan dan pembelaan kepada minoritas. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.

Pada tanggal 30 Desember 2000, bangsa Indonesia berduka khususnya jutaan warga Nahdliyin. Sosok ulama dan pemimpin yang mereka cintai Gus Dur meninggalkan kita semua akibat sakit yang dideritanya. Gus Dur wafat pada umur 69 tahun. Indonesia kehilangan Bapak Bangsa, pemimpin umat yang ngayomi, melindungi dan memberikan kesejukan. Mari kita kirim doa dan membaca Al Fatikah agar Allah memberikan Hidayah Nya kepada almarhum Gus Dur. (berbagai sumber)

Photo Credit : Ist. Photo


Lainnya Dari Telegraf