JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Demi bangsa, demi negara dan demi warganya. Itulah pokok pembangunan kita. Dus, pilarnya harus mencakup minimal lima poin: 1)Indonesia tanpa kelaparan; 2)Indonesia tanpa kemiskinan; 3)Indonesia tanpa kebodohan; 4)Indonesia tanpa kesakitan; 5)Indonesia tanpa diskriminasi dan ketimpangan.
Basisnya ada dalam pasal 28H dan pasal 33 ayat (3), (4) UUD 1945. Kedua pasal itu harus disinergiskan: pembangunan ekonomi dengan aspek lain seperti ideologi, kemasyarakatan, kebudayaan, tradisi, hankam, lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan politik/demokrasi.
Bunyi pasal 28H adalah: 1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 2)Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 3)Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; 4)Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Sedangkan pasal 33 berbunyi: 3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Karena teks konstitusi itulah maka pembangunan nasional itu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Dulu via GBHN (garis-garis besar haluan negara), kini via visi misi presiden yang dibungkus oleh SPPN yang dibagi menjafi RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) sebagai dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun dan RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) sebagai dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
GBHN sendiri merupakan haluan negara tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR sehingga lebih mondial dan semesta. Karena itu disebut pembangunan semesta.
Sementara gantinya, via UU No. 25/2004 adalah SPPN (sistem perencanaan pembangunan nasional) yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP dan RPJM.
Berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, maka Menteri PPN/Kepala Bappenas bertugas menyiapkan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Tetapi, menteri PPN menyusunnya dari masukan kegiatan musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang tercantum dalam beberapa undang-undang dan perda terkait dengan perencanaan pembangunan daerah. Undang-undang tersebut adalah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah,dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Atas beberapa konstruk landasan SPPN maka terlihat lima kelemahannya: 1)Bias parpol; 2)Bias pemilu; 3)Bias eksekutif; 4)Bias ekonom(i), dan 5)Bias negara, anti rakyat.
Singkatnya, menurut Hendrawan Soepratikno (2015) GBHN dan SPPN memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya merupakan dokumen imajinasi pembangunan. Kalau GBHN terlihat lebih konsisten, tapi miskin improvisasi. Sementara SPPN yang hasilkan RPJPN yang dilaksanakan sekaramg kaya improvisasi tapi sering tidak konsisten.
GBHN adalah produk lembaga tertinggi negara, sehingga penyelenggaraan dan pengawasan lebik baik. Sedangkan SPPN lebih sensitif, memiliki peluang besar, ada dinamika, tapi tidak konsisten karena sangat tergantung pada sikon presiden.(*)