JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Jenius dan fokus. Begitulah kunci dan metodanya jika ingin berhasil. Ini berlaku buat siapa saja. Termasuk pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Mengapa?
Karena pemerintahan baru, di samping akan meneruskan program-program bagus
pemerintahan sebelumnya, juga mewarisi beberapa problem besar yang menyertainya. Setidaknya ada lima problem besar tersebut. Pertama, jumlah kemiskinan yang terus meningkat (11.03%). Kedua, jumlah pengangguran yang signifikan (6.78%). Ketiga, skor ketimpangan yang terus melebar (0.397). Keempat, praktik ekopol yang makin mahal (rerata 25 milyar/orang untuk DPR). Kelima, merosotnya lembaga dan agensi penegak hukum (3.95, 1-5).
Bagaimana cara mengatasinya? Ada banyak formula. Terapi, semua dapat diringkas menjadi satu kalimat: dengan cara menghadirkan negara pancasila. Hal ini karena Pancasila merupakan dasar dan landasan ideologi bagi bangsa Indonesia. Maka, setiap warga negara (terutama aparatur pemerintah) wajib mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan.
Dus, negara dan pemerintah harus segera menggelorakan kembali semangat Pancasila Sakti agar tumbuh kesadaran bersama bahwa Pancasila adalah pusaka dan sumber kekuatan untuk membangkitkan keagungan bangsa sekaligus menyelamatkan rakyatnya yang sengsara.
Pemerintah baru harus menjadikan pelantikan mereka sebagai momentum agung bagi kebangkitan Indonesia Raya sebagai bumi surgawi. Semangat lemurian, atlantik dan nusantara yang agung harus disajikan kepada semua warga negara. Mereka harus kolaboratif dalam kerja jenius yang fokus berbasis intelektual, spiritual dan kapital sehingga menghasilkan modal, model dan modul negara pancasila yang nyata.
Dari sini, tesis yang bekata bahwa, “tak akan sukses bernegara jika sumber bernegaranya mengkhianati Pancasila” menemukan buktinya. Hal ini karena Indonesia adalah buah pikiran tulus dan jenius dari para pemuda (pribumi) yang berdedikasi, berkompentensi, beritegritas dan bercita-cita luhur sehingga gagasan negaranya merupakan kesepakatan dalam kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh warga bangsanya dengan dasar negara Pancasila yang menjunjung etik dan moral serta mental.
Maka, yang akan membuat Indonesia jadi peradaban besar adalah yang punya visi, misi, gagasan dan ide besar serta setia dengan hal-hal tersebut. Setia dengan ipoleksosbudhankam bersendi pancasila. Demikian pula demokrasi politiknya.
Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Perwakilannya diisi lewat keterpilihan (utusan parpol) dan keterwakilan (utusan daerah dan utusan golongan). Ketiganya membentuk trikameral yang manunggal menjadi lembaga tertinggi negara: MPRRI.
Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. … Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid.”
Sangat jelas dari sila keempat bahwa negara Indonesia tidak boleh dipimpin oleh satu golongan agama, oleh satu golongan orang kaya (oligarkhi), oleh satu gologang ras dan etnis; tidak dipimpin oleh para bangsawan atau salah satu raja; tidak dipimpin oleh satu kekuatan bersenjata; tidak juga para preman. Bangsa Indonesia harus dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan.”
Pertanyaannya, “mengapa hukum tata negara yang canggih itu dihapus lewat amandemen?” Entahlah. Sejarah kita memang parah. Para pendiri republik susah payah merekonstruksinya, generasi setelahnya membuangnya.
Akhir kata, selamat bekerja keras dan cerdas pada pemerintahan baru. Kerja akbarnya balik ke konstitusi asli. Kerja subtantifnya membalikkan kondisi ekonomi gelisah menjadi cerah. Mengapa akbar dan subtantif? Karena tingkat kerusakan ekosistem berbangsa dan bernegara kita tidak bisa diatasi kecuali dengan revolusi pancasila yang struktural dan kultural agar hadir kembali negara pancasila. Semoga.(*)