Tentara Pancasila : Mengenang AH Nasution

Ia bertugas di militer selama revolusi nasional Indonesia dan tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin

Oleh : dikmaliq

JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID Ialah satu dari dua arsitek utama Orde Baru. Jenderal intelektual cum santri puritan sejati. Pada hari TNI, kita layak menyajikan kembali lima gagasan besar AH Nasution agar kecerdasan serdadu tak limbo: terterjang arus besar pasar pemroduk ketimpangan dan pengemis di republik pancasila.

Kita tahu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-79 pada 5 Oktober, hari ini. Peringatan HUT ke-79 TNI ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan yang berpusat di Silang Monas Jakarta. Kita paham, di umur yang tak lagi remaja, tatangan serdadu di zaman modern makin komplek. Maka, merefleksikan dan memproyeksikan pemikiran AH Nasution menjadi keniscayaan.

Mengapa pilihannya tokoh AH Nasution? Karena warisan tapak sejarahnya yang luar biasa. Ia adalah satu dari tiga jenderal besar dan politikus jenius Indonesia. Ia bertugas di militer selama revolusi nasional Indonesia dan tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Lalu, ia menjadi kreator kembali ke Konstitusi Asli sebagai cara bernegara pancasila.

Setelah jatuhnya Presiden Soekarno dari kekuasaan, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), saat bersamaan presidennya Soeharto. Lahir dari keluarga Batak Mandailing, di desa Hutapungkut, ia belajar dan mendaftar di akademi militer di Bandung. Sekolah yang nanti membentuk karakternya yang patriotik, idealistik dan konsensualis.

Pikiran utama AH Nasution adalah gerilya. Nasution menyadari bahwa persenjataan TNI dan strategi konvensional tidak akan mampu menghadapi penjajah yang serakah sehingga diperlukan adanya kantong-kantong gerilya. Maka dari itu, dibentuklah daerah pertahanan (wehrkreise) untuk menghadapi tentara penjajah yang lebih lengkap persenjataannya. Dengan cara hit and run serta tahu seluk beluk teritorial, gerilya akan efektif memenangkan perang.

Kedua, AH Nasution berpikir dan menulis bahwa tingkat pengabdian tertinggi serdadu adalah pada kebenaran yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, bagi Nasution, “hanya pengkhianat yang tidak mengikuti dan melanjutkan perjuangan pahlawan yang syahid demi negara dan rakyatnya. Sebaliknya, mereka biasanya akan menghancurkan negara sehingga layak disebut perusak dan penjahat.”

Ketiga, AH Nasution selalu mengulang tesis keren yaitu, “TNI harus menjaga dan mempertahankan keluhuran, kehormatan serta martabat bangsa dan negara bukan karena nafsu kebendaan melainkan didorong oleh keinsyafan jiwanya dalam mengabdi kepada ibu pertiwi.” Tentu bukan serdadu membela yang bayar, tetapi bersama yang benar.

Keempat, AH Nasution menegaskan bahwa mental serdadu kita itu republiken. Dus, “dalam tubuh TNI diintegrasikan sifat keprajuritan, kenasionalan, kerakyatan dan kerevolusioneran. Darinya terbentuk watak TNI bahwa mereka bukan prajurit sewaan. Mereka manusia yang terpanggil demi republik, dari republik dan untuk republik.”

Kelima, AH Nasution menghimbau agar pimpinan serdadu memahami teori dan isu geoekonomi. Ya, geoekonomi adalah kajian aspek ruang, waktu, dan politik dalam ekonomi dan sumber daya. Geoekonomi juga dapat diartikan sebagai penggunaan ekonomi untuk tujuan geopolitik, dengan lebih menekankan pada implementasi kebijakan. Dengan memahami ini serdadu akan siap jika terjadi perang modern, seperti perang dagang dan perang asimetrik.

Singkatnya, sebagai pilar utama berbangsa dan bernegara, serdadu harus melahirkan agen-agen kepemimpinan inklusif jenius, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan demi tumpah darah daratan, air dan udara serta seluruh penghuninya. Mereka disebut Tentara Pancasila. Tentara Indonesia yang patriotik. Tentara bermental semesta.

Tentu saja, ini semua merupakan kumpulan mentalitas dan karakter yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa: kalah dilindas oligarki dunia yang rakus. Inilah jenis kepemimpinan tentara yang lapang dan toleran serta memberi semangat jihad dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta. Dirgahayu TNI. Maju terus dan berdaulatlah penuh.(*)

Opini : Yudhie Haryono | Rektor Universitas Nusantara

Lainnya Dari Telegraf