Ia mampu bertahan melalui kilauan cahaya, jepretan kamera, busana yang rumit hingga panggung berbahaya dengan berbagai drama di baliknya.
Tahun 2004 Amsterdam, Belanda. Sesi presentasi koleksi busana bertema Mesir dari desainer Sheila de Vries. Berjalan di runway pertama, langsung menjadi first face.
Waktu itu, aku sama sekali tidak tahu tentang dunia modeling. Jadi, sewaktu dibilang akan menjadi first face, aku menanggapinya dengan santai karena nggak tahu maknanya apa. Justru semua orang di belakang panggung yang stres, dari make–up artist, model-model lain sampai pemilik agensiku. Aku sama sekali tidak merasa nervous. Aku pikir, toh penonton di depan panggung itu tidak aku kenal semua. Untungnya, semua berjalan dengan sukses. Setelah akhirnya aku total di modeling dan mengetahui segala macam tentang industri fashion, baru kemudian aku merasa nervous setiap kali harus berjalan di runway.
Tawaran menjadi model runway datang pertama kali sewaktu aku sedang kuliah di Belanda. Aku pikir, dengan menjadi model, aku bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar daripada bekerja sebagai pelayan restoran. Emily, salah seorang pelanggan restoran tempatku bekerja, mengajak untuk bergabung di agensi model miliknya. Menurut Emily, model adalah profesi yang bisa banyak membukakan kesempatan emas, bukan sekadar pekerjaan untuk mencari uang saja.
a pun menuntut keseriusanku dengan mengajukan sebuah syarat penting: aku harus mencapai berat tubuh ideal dalam waktu 6 bulan. Waktu itu, aku memang agak gendut. Beratku 82 kilogram. Namun, berkat dukungan teman-teman dan diet ketat, aku akhirnya bisa bergabung di agensi milik Emily. Kecintaanku terhadap profesi ini terus berlanjut, bahkan hingga aku akhirnya selesai kuliah dan kembali ke Indonesia.
Sebenarnya, aku tak pernah menyangka bisa menjadi seorang model. Dulu, aku sangat tomboy dan cuek terhadap penampilan. Kulit hitam dan tinggi badan berlebih jugaselalu membuatku merasa sedikit minder sejak masih kecil. Dari tampilan fisikku, tak ada yang menyangka kalau aku adalah warga keturunan China.
Tapi mamiku pernah bilang, “Nanti juga akan tahu sebabnya dikasih Tuhan warna kulit seperti ini. Nggak papa hitam, yang penting kan kulitnya bersinar.” Meskipun begitu, dulu aku pernah selama 5 tahun mandi susu terus.
Tapi tetap saja kulitnya tidak putih juga. Ahahaha. Oleh karena itu, salah satu impian yang masih ingin dicapai dalam dunia modeling adalah menjadi model sabun. Aku ingin sekali menegaskan bahwa sabun itu fungsinya untuk membersihkan tubuh, bukan untuk memutihkan kulit. Aku ingin sekali membuktikan bahwa “cantik” itu tidak identik dengan kulit putih.
Tahun 2010 Jakarta, Indonesia. Sebuah presentasi busana koleksi desainer tanah air. Sebuah kombinasi mematikan: sehelai ball gown dari besi dan runway dengan arus listrik.
Momen paling buruk yang pernah aku hadapi adalah waktu kesetrum di atas panggung. Entah bagaimana, ada arus listrik yang mengalir dari kabel yang bocor di atas runway. Waktu itu, aku harus memakai ball gown dari besi pula. Tidak sakit memang, tapi luka bekasnya di tubuh tidak bisa hilang. Syukur pada Tuhan, aku belum pernah—dan jangan sampai sih jatuh di atas panggung.
Hampir jatuh pernah. Beberapa kali sempat kepeleset gara-gara harus memakai sepatu hak setinggi 20 cm, baju berbuntut panjang dan tempelan kuku palsu di bagian tangan. Kakiku juga pernah terjahit secara tidak sengaja karena proses fitting yang terburu-buru sewaktu di backstage. Setiap model pasti punya ceritanya masing-masing. Kadang-kadang karena berbagai kejadian mengerikan itu, kita jadi berpikir untuk berhenti. But, I don’t know why, i keep on doing it. Ahahaha.
Aku sadar, masih banyak orang yang memandang sebelah mata profesi model. Banyak yang salah paham terhadap profesi ini disebabkan pola pikir pelakunya juga yang salah. Banyak yang menganggap bahwa model itu hanya batu loncatan, atau cuma sekadar hobi. Padahal, tidak seperti itu. Model adalah sebuah profesi yang sebenarnya tidak mudah, butuh dedikasi tinggi. Ini adalah pekerjaan 12 detik, kita harus bisa berpikir dan beraksi dengan tepat. Tidak boleh ada kesalahan, karena setiap penampilan di runway tidak bisa ditunda atau diulangi.
Tahun 2012 Paris, Prancis. Menjadi first face untuk presentasi koleksi adibusana Didit Hediprasetyo. Sebuah keberuntungan yang tak hanya membanggakan, tapi juga membuka berbagai kesempatan lain.
Sebuah kebanggaan bisa membuka presentasi koleksi busana Didit Hediprasetyo di kota Paris. Sejak itu, berbagai tawaran menarik berdatangan. Aku pernah ditawari kontrak kerja di Paris dan Rusia. Akhir 2012 lalu juga mendapat panggilan untuk bekerja di Amerika Serikat. Sebenarnya, itu adalah salah satu impianku selama ini. Namun, aku menolaknya.
I’m in a good relationship right now. Papi dan Mami-ku sudah mulai mengurangi pekerjaannya. Aku juga sudah 3 tahun ini ikut sibuk menjadi pengurus mengurus Komunitas Sahabat Anak. Mungkin orang banyak yang menilai kalau aku telah mengambil pilihan yang salah. Tapi, aku memang benar-benar bahagia dengan apa yang aku miliki sekarang.
Hidup ini memang harus seimbang. Apa pun pekerjaannya, pasti suatu saat seseorang akan bertemu dengan titik jenuhnya. Berinteraksi dengan adik-adik di Komunitas Sahabat Anak membuat saya merasa damai. Makan juga menjadi hobi yang berguna untuk refreshing. Tapi, aku tidak bisa memasak. Aku alergi dengan bau minyak goreng. Jadi, sebisa mungkin, aku selalu mencari pasangan yang bisa masak.
Aku bahkan sempat menolak seorang pria karena ia tidak bisa masak. Ahahaha. Jika sudah menemukan waktu yang tepat, aku ingin bisa kembali melanjutkan pendidikanku yang sudah tertunda empat tahun gara-gara karier modeling.
Aku tertarik untuk mendalami ilmu sosial politik, karena dari dulu selalu bercita-cita untuk bekerja di United Nations. Profesi model tentu tidak bisa dijalani sampai tua. Jika sudah tidak menjadi model, aku ingin tetap bisa berhubungan dengan dunia fashion dengan membangun usaha yang berhubungan dengan bidang ini. Karena menurutku, fashion sesungguhnya memiliki cakupan yang luas dan setiap orang tidak bisa hidup tanpanya. Fashion a way of life.
Photo Credit: Laura Muljadi. TELEGRAF/Koes W. Widjojo