Telegraf, Jakarta – Dari hasil Fokus Grup Diskusi (FGD) Fit and Proper Test (Uji Kepatutan dan Kelayakan) yang dihadiri para tokoh masyarakat pada Minggu (03/02/19) lalu, wakil gubernur (wagub) DKI yang baru harus bisa memenuhi lima kriteria.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta sekaligus menjadi tim penguji tes kepatutan dan kelayakan, Syarif kepada media, Rabu (06/02/19).
“Ada lima isu yang didiskusikan dalam FGD pada Minggu kemarin. Besok, Jumat (08/02/19) juga akan didalami. Kalau tidak ada kandidat (yang ikut) agak menghambat ya. Insya Allah saya datang,” kata Syarif.
Salah satu kriteria yang harus dimiliki Wagub DKI yang baru adalah mampu mempercepat penyerapan anggaran dalam APBD DKI. Karena, para tokoh masyarakat yang hadir dalam FGD tersebut menyoroti mengenai rendahnya daya serap anggaran daerah karena adanya kekosongan jabatan Wagub DKI selama lima bulan.
“Maka, peran wagub akan diisi dengan memikul beban lebih banyak sebagai eksekutor. Kebijakan tetap ada ditangan Gubernur. Jadi dikurangi lah kegiatan protokoleran,” ujarnya.
Angka penyerapan anggaran tahun 2018, menurut Syarif, tidak menggembirakan. Hanya berada pada angka 82 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan penyerapan anggaran daerah tahun 2017 yang mencapai hampir 83 persen.
“Mestinya, kita minta perhatian ke Gubernur itu, penyerapan anggaran bisa mencapai 87 persen keatas. Di beberapa daerah kan ada yang 92 persen. Di pemerintahan pusat saja sampai 90 persen. Ya ada perbandingan yang jauh banget,” terangngya.
Kriteria kedua, Wagub DKI harus mampu membantu percepatan pembangunan di Jakarta. Penyerapan anggaran yang rendah mengakibatkan terjadi perlambatan pembangunan infrastruktur di Ibu Kota.
“Perlambatan juga terjadi karena adanya perencanaan yang buruk. Misalnya, beberapa program yang sudah direncanakan tidak bisa dieksekusi. Bukan karena faktor penyelenggara atau SKPDnya. Tetapi perencanaan sejak awal yang melekat buruk, sehingga tidak berani di eksekusi,” paparnya.
Selama lima bulan ini, Gubernur DKI, Anies Baswedan, tidak ada pendamping untuk mengerjakan hal-hal teknis seperti itu. Karena semua bertumpu pada Gubernur saja, maka pengawasan dan pendampingan terhadap perencanaan pembangunan pun tidak bisa fokus.
“Ya harapan kita wagub diberikan peran posisi yang lebih maksimal dalam kaitan percepatan pembangunan,” ungkap Syarif.
Kriteria ketiga, Wagub DKI harus memiliki pola relasi dengan fraksi yang ada di DPRD DKI. Artinya, mampu membangun hubungan relasi dan komunikasi yang baik dengan DPRD DKI. Khususnya saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI.
“Kalau DPRD banyakan pendekatannya ke politis. Misalnya, kemarin ada keterlambatan BPJS membayar klaim rumah sakit, pelayanan RSUD agak menurun. Dulu kan ada kebijakan pengambilan keputusan DPRD, DKI harus talangi. Tapi dari aspek regulasinya yang mengetahui kan eksekutif. Maka eksekutif harus berkomunikasi dengan DPRD,” jelasnya.
Syarif menilai, selama ini komunikasi dan hubungan relasi antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dengan DPRD DKI belum terjalin dengan baik. Contohnya, saat pembahasan Penyertaan Modal Daerah (PMD) beberapa BUMD DKI. Karena tidak ada komunikasi yang baik, maka banyak PMD BUMD yang dicoret atau dikurangi.
“Itu kan uang rakyat yang ditaruh di BUMD. Sebetulnya misinya sama untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi itu kan kebijakan yang bisa dilihat dari dua sisi, teknokratis dan politis. DPRD harus dikomunikasikan hari per hari,” imbuhnya.
Kriteria keempat, Wagub DKI yang baru harus mampu menjaring aspirasi dunia usaha. Seperti lelang konsolidasi yang selama ini dilakkan ternyata tidak berpihak pada pengusaha menengah ke bawah. Banyak pengembang atau kontraktor yang memiliki nilai usaha menengah kebawah menginginkan adanya perubahan dalam sistem lelang.
“Kriteria kelima, Wagub DKI juga harus memiliki keberpihakan kepada UMKM dan PKL,” pungkasnya. (Red)
Photo Credit : Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. JP/Wienda Parwitasari