Telegra, Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menepis anggapan bahwa pemerintah Indonesia memberikan perlakuan khusus bagi Tiongkok dalam hal investasi di Tanah Air. Hal itu dikemukakan ekonom senior tersebut merespons adanya anggapan dari kalangan politisi, pengusaha, dan akademisi Jepang saat dirinya berkunjung ke Negeri Sakura, beberapa waktu lalu.
“Semua investor asing diperlakukan sama, tidak ada yang diberikan perlakukan secara khusus,” ujar mantan Rizal Ramli menjawab kerisauan Presiden Institute of Developing Economies (IDE) Japan External Trade Organization, Takashi Shiraishi, yang juga bekas penasehat PM Jepang dan bekas Rektor National Graduate Institute for Policy Studies itu.
Rizal Ramli menceritakan ketika dirinya menjabat Menko Maritim ada beberapa kebijakan yang membuat pemerintah Tiongkok justru marah kepada Indonesia. Salah satunya adalah perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
“Ketika saya ada di Kabinet, kami ubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara dalam peta Indonesia. Tiongkok tidak terima, protes. Saya jalan terus, peta Indonesia tetap kami ubah. Sebab, ini wilayah Indonesia, ini laut Indonesia. Kita bisa ganti nama apa saja. Apakah Anda masih bisa mengatakan kalau Indonesia memberikan perlakuan khusus bagi Tiongkok?” ujar Rizal Ramli, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (07/02/2018).
Memang, diakui Rizal, banyak negara asia yang mendukung Tiongkok, karena memang negara itu menawarkan banyak proyek infrastruktur. “Namun, pada kenyataannya, realisasinya relatif rendah janji,” tuturnya.
Untuk itu, Rizal mengajak Jepang agar serius membangun aliansi strategis dengan Indonesia. Karena, menurut Rizal, kedua negara memiliki kesamaan visi dan misi. “Alangkah indahnya jika kedua negara Asia yang demokratis ini bisa mempunyai hubugan strategis yang lebih kuat. Memang, di masa lalu bagus dan baik, tetapi mohon maaf perlu lebih kuat untuk keseimbangan di kawasan,” ujarnya.
Rizal berpendapat, potensi untuk aliansi strategis sangat besar, karena antara Indonesia dan Jepang bukan kompetitor, melainkan komplementer yang saling melengkapi.
“Indonesia dengan banyak negera lain di Asia secara umum ekonominya kompetitor, seperti produk teksil dan manufaktur. Tetapi, dengan Jepang, hubungannya saling melengkapi atau complementary in nature. Jepang dengan 150 juta jiwa kebanyakan sudah sangat senior. Penduduk Indonesia, 250 juta jiwa, kebanyakan usia muda, usia produktif,” tutur Rizal Ramli.
Jadi, alangkah indahnya kalau kerja sama bisa terjalin secara strategis. Lebih banyak orang Jepang datang ke Indonesia dan lebih banyak orang Indonesia bisa bekerja di Jepang. Sebab, kata dia, Jepang perlu tenaga kerja di sektor industri.
Dikatakan pula, perusahaan Jepang bisa kembali kompetitif dengan melakukan kerja sama strategis dengan Indonesia. Dengan itu, barang Jepang akan jauh lebih kompetitif. “Misalnya, Toyota memproduksi kijang. Bagus. Laku di ekspor ke seluruh dunia,” kata Rizal.
“Kalau kita melakukan ini, banyak sekali industri Jepang yang kalah bersaing akan kembali kompetitif. Dengan investasi dan operasi di Indonesia, dan kalau itu dilakukan, dua negara ini 400 juta penduduk, lebih besar dari Amerika Serikat dan complementary. Jepang mempunyai fiscal resources dan pengalaman. Sementara, Indonesia memiliki sumber daya alam dan strategic location, paling kaya di Asia dan Asia Selatan. Penduduknya juga rajin dan ingin bekerja. Kalau kita mengombinasikan ini akan win-win game,” kata Rizal.
Ekonomi Jepang yang sekarang stagnan, dipastikan bisa semakin tumbuh, karena mendapat new engine melalui strategic alliance dengan Indonesia. Sementara, ekonomi Indonesia yang saat ini mandek di 5% akan semakin meningkat. “Aliansi Tokyo dan Jakarta ini akan menjadi showcase democratic Asia,” ujarnya.
Dengan begitu, Rizal meyakini Jepang dan Indonesia akan menjadi negara kuat di abad ke-21 ini. “Abad ke-19 miliki Inggris. British rule the sea, British rule the world. Abad ke-20 miliki Amerika, karena angkatan lautnya sangat kuat di seluruh dunia. Tetapi, abad ke-21 adalah abadnya Asia,” jelas Rizal. (Red)