Telegraf, Jakarta, – Sejumlah kalangan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar lebih berhati-hati dan tidak gegabah dalam menangani kasus korupsi yang sifatnya pengaduan dan pembuktiannya masih lemah. Kecuali kasus korupsi yang ditangani berasal dari operasi tangkap tangan. Tentunya pelaku korupsi atau suap memang terbukti menerima gratifikasi saat ditangkap.
Hal ini disampaikan Pengamat hukum dari Universitas Tarumanegara Urbanisasi di Jakarta, Sabtu (21/7/2017)
“Untuk kasus korupsi yang sifatnya laporan masyarakat, bukan berasal dari operasi tangkap tangan atau tidak memiliki bukti permulaan yang cukup seperti hasil audit resmi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan,red), sebaiknya ditelaah dan dikaji dulu lebih mendalam,” ujar Doktor hukum lulusan Universitas Hasanuddin.
Karena, menurut Urbanisasi, kasus korupsi yang ditangani KPK tidak bisa dihentikan dan pasti masuk pengadilan. “Sehingga jika kasusnya itu belum jelas dan belum kuat maka akan menjadi bumerang buat KPK, hal ini akan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini,” kata Urbanisasi.
Kecuali, lanjut Urbanisasi, kasus suap atau korupsi itu memang hasil dari operasi tangkap tangan (OTT), maka tersangka tidak akan bisa mengelak. “Karena perbuatannya dan bukti langsung didapat dari TKP, tidak bisa dibantah pelaku korupsi,” katanya.
Namun untuk kasus yang sifatnya laporan masyarakat atau asumsi berdasarkan perkiraan atau pendapat sepihak, KPK sebaiknya tidak terlalu terburu-buru. Harus dikaji due process, motif dan minimal ada barang bukti yang kuat seperti adanya hasil audit atau temuan yang pasti.
Urbanisasi kemudian mencontohkan dalam kasus pengadaan Heli Agusta Westland (AW) 101. “KPK harus bijak menyikapi kasus ini, apakah betul BPK sudah melakukan audit terhadap pembelian heli tersebut, kemudian mekanisme pembeliannya apakah ada yang menyimpang dari prosedur, dan sudah ada bukti atau temuan,” ujar dosen Magister Hukum ini.
Saran Urbanisasi, KPK jangan terseret oleh sebuah opini atau asumsi yang masalahnya sendiri belum dikaji lebih mendalam. “Karena proses pengadaan heli tersebut sudah memenuhi prosedur pengadaannya secara transparan mulai dari perencanaan, pembeliannya diketahui dan disetujui semua atasan dan mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Keuangan Negara mulai dari proses tender hingga pengadaannya,” kata praktisi hukum ini.
Sebelumnya pakar keuangan negara Siswo Sujianto mengatakan, Undang-Undang Keuangan Negara telah mengatur, bahwa penetapan ada tidaknya kerugian negara hanya bisa dilakukan seorang ahli hukum keuangan negara. Dalam UU ini juga menyebutkan bahwa lembaga yang berwenang menetapkan adanya indikasi kerugian negara adalah BPK dan BPKP. Lembaga diluar itu tidak memiliki kewenangan menetapkan indikasi kerugian negara.
Terkait persoalan barang mahal atau mark up, menurut mantan konsultan BPK ini, yang diprioritaskan dalam pengadaan barang dan jasa adalah mengadakan barang berkualitas dengan harga wajar. “Jadi harga murah tidak jadi patokan karena yang dilihat adalah kualitas spesifikasi dan kebutuhan barang yang akan digunakan negara, kecuali produknya sama namun pemasoknya banyak maka dipilih harga termurah dalam proses tender secara transparan,” ujar Siswo. (Edo)