Fredrich Yunadi: Kenapa KPK Tidak Memeriksa Kapolri

Oleh : Atti K.

Telegraf, Jakarta – Pengacara Fredrich Yunadi kembali memberikan pernyataan kontroversial. Kali ini, Fredrich membenturkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait kasus yang menjeratnya.

Saat akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan merintangi penyidikan perkara korupsi e-KTP yang menjerat Novanto, Fredrich mempertanyakan langkah KPK yang tak memeriksa Kapolri, Tito Karnavian terkait kasus yang menjeratnya ini.

“Kenapa KPK tidak memeriksa Kapolri,” kata Fredrich saat akan diperiksa penyidik di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/01/2017).

Fredrich memiliki alasan atas pernyataannya ini. Menurut Fredrich, keterangan Kapolri penting lantaran kepolisian telah menyatakan kecelakaan yang dialami mantan kliennya, Setya Novanto benar terjadi dan bukan rekayasa. Fredrich merasa KPK telah menetapkannya sebagai tersangka lantaran telah merekayasa kecelakaan yang dialami Novanto saat diburu lembaga antikorupsi dan kepolisian pada Kamis (16/11/2017) lalu.

“Ya (kecelakaan) itu memang asli karena di polisi juga menyatakan ini adalah murni kecelakaan, sekarang KPK menyangsikan,” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Fredrich kembali menuding KPK telah mengkriminalisasi profesi advokat dengan menjeratnya sebagai tersangka. Bahkan, Fredrich berlindung di balik Undang-undang advokat dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana.

“Apa yang kalian saksikan ini sudah terjadi kriminalisasi terhadap profesi advokat. Mereka sudah melecehkan putusan Mahkamah Konstitusi dan Undang-undang Advokat,” katanya.

Pernyataan Fredrich ini merujuk pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Putusan MK nomor 26/PUU-XI/2013 tentang uji materi UU Advokat. Dalam aturan ini disebutkan, “advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.

Diketahui, KPK menetapkan Fredrich dan seorang dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau (RSMPH) Bimanesh Sutardjo sebagai tersangka kasus dugaan merintangi penyidikan perkara korupsi proyek pengadaan e-KTP yang menjerat Novanto. Keduanya diduga kongkalikong agar Novanto dapat dirawat di RSMPH untuk menghindari pemanggilan dan pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP oleh penyidik KPK.

Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Soal Sejumlah Gelar Akademik Fredrich Yunadi yang Diduga Palsu?

Perhimpunan Advokat Pendukung (PAP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengapresiasi langkah tegas KPK menangkap dan menahan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Ketua DPR (nonaktif), Setya Novanto, Jumat (12/1) malam. “Ini merupakan pilihan langkah yang tepat dan cepat sesuai dengan urgensi penyidikan dan sesuai dengan ketentuan pasal 16, 17 dan 18 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” kata Koordinator PAP KPK, Petrus Selestinus, Minggu (14/01/2017) malam.

Petrus menegaskan, semenjak Fredrich Yunadi menjadi Kuasa Hukum Setya Novanto banyak pernyataan dan perilaku Fredrich Yunadi yang off the track, bahkan sering mengeluarkan pernyataan yang bersifat menyerang lembaga KPK bahkan terhadap pribadi-pribadi tertentu di KPK dengan tujuan untuk men-downgrade wibawa KPK di mata publik.

Fredrich Yunadi, kata dia, sama sekali tidak membayangkan bahwa KPK akan begitu cepat melakukan tindakan kepolisian terhadap dirinya berupa penangkapan yang kemudian disusul dengan tindakan penahanan. “Yang dibayangkan oleh Fredrich Yunadi dan penasehat hukumnya adalah paling-paling KPK akan kirim surat panggilan ke dua untuk dirinya pada kesempatan berikutnya guna diperiksa sebagai tersangka,” kata dia. Disini Fredrich Yunadi dan Penasehat Hukumnya salah menghitung dan kesalahan menghitung itu, karena kebiasaan dalam praktik hukum acara pidana, penyidik selalu susul dengan surat panggilan kedua jika tersangka atau saksi sudah mangkir pada panggilan pertama.

Sikap KPK langsung melakukan penangkapan terhadap Fredrich Yunadi, meskipun baru mangkir pada panggilan pertama, didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud Pasal 16 (2) KUHAP dan Pasal 17 KUHAP.

Dengan demikian, kata Petrus, maka dari segi prosedural dan substansial kasus posisi Fredrich Yunadi telah terang benderang dan confirm antara fakta-fakta hukum dan norma hukum acara pidana, yang oleh karena terdapat persesuaian yang nyata sehingga apa yang dilakukan oleh KPK, tidak ada yang salah, sah dan tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh Fredrich Yunadi, terutama terkait alasan penangkapan dan penahanan terhadap dirinya saat ini.

Namun demikian Fredrich Yunadi oleh KUHAP dijamin haknya untuk mengajukan gugatan praperadilan guna menguji apakah tindakan kepolisian yang dilakukan KPK terhadap dirinya, baik penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanannya sah dan prosedural atau tidak,” kata Petrus.

Petrus berharap, KPK juga bisa menyelidiki sejumlah gelar akademik Fredrich Yunadi yang diduga palsu. “Ia memiliki gelar S3 (doktor) disamping empat gelar S1 yang disandang yang oleh sebagian orang diduga palsu. “Jika ternyata memang benar-benar palsu semua atau sebagian, maka pertanyaannya apakah KPK dapat mengkumulasikan tindak pidana “ijazah palsu” sebagai tindak pidana umum dengan sangkaan pasal tindak pidana khusus terkait pelanggaran pasal 21 UU Tipikor dalam satu saja surat dakwaan secara kumulatif atau penyidikannya dilimpahkan kepada penyidik kepolisian karena merupakan tindak pidana umum,” kata Petrus. (Red)

Photo Credit : Indra Kusuma


Lainnya Dari Telegraf