Telegraf, Jakarta – Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Jakarta mendesak dan menuntut hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bersikap adil dan independen dalam memutus perkara kisruh dualisme kepemimpinan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Hakim harus jernih melihat persoalan siapa yang legitimed dalam kasus ini. Putusan yang diambil harus obyektif dan bebas dari intervensi.
Hari ini Rabu (8/6/2017) Majelis Hakim PTUN akan memutuskan kasus dualisme kepemimpinan di tubuh DPD RI yang hingga kini terus berlarut-larut tanpa ujung.
“Kami yang tergabung dalam Aliansi BEM se Jakarta menanggapi munculnya perebutan kursi DPR ini merupakan masalah ketatanegaraan serius yang perlu ditemukan solusinya. Keberadaan dua kubu Pimpinan DPD tentu akan menyandera kinerja lembaga perwakilan kedaerahan itu,” ujar Koordinator Lapangan Aliansi BEM se Jakarta yang Selasa (7/6/2017) menggelar aksi unjuk rasa di halaman Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta Timur.
Bahkan, lanjut Ashar, bukan tidak mungkin menyebabkan tidak bekerja. “Setidaknya keributan dalam sidang paripurna tanggal 11 April lalu memberikan gambaran buruk terhadap masa depan lembaga hasil reformasi konstitusi itu,” katanya
Yang lebih memprihatinkan lagi menurut Ashar mendominasinya orang-orang partai politik di kelembagaan DPD yang selama ini independen sebagai wakil daerah. “Mayoritas DPD kini dikuasai aktivis partai yang masih aktif, setidaknya terdapat 70 anggota dan pengurus partai yang merangkap sebagai anggota DPD-RI (lebih dari 50%),” ujarnya.
Sebagian ahli hukum tata negara dan politik berpendapat, mayoritas anggota dan pengurus partai politik di DPD-RI telah merusak bangunan bikameral yang diatur dalam UUD 1945. Konstitusi menghendaki DPD-RI diisi oleh perwakilan berdasarkan aspirasi daerah sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diisi oleh perwakilan partai politik.
Terpilihnya Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai Ketua DPD menunjukan terdapat korelasi kenapa partai mendominasi DPD.
Aliansi BEM se Jakarta juga mencium dugaan pemilihan Ketua DPD dilakukan dengan cara-cara ilegal. Pandangan itu didasari argumentasi bahwa pemilihan pimpinan DPD-RI yang baru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 38P/HUM/2017 dan Putusan Nomor 20P/HUM/2017 yang mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya terkait masa jabatan Pimpinan DPD harus hingga terpilihnya anggota DPD yang baru pada Pemilu berikutnya.
Kehadiran Wakil Ketua MA dalam proses pelantikan Pimpinan DPD versi Oesman Sapta Odang (OSO). Kehadiran itu diperdebatkan karena, selain bertentangan dengan Putusan MA, juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
“Padahal, dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia-lah yang semestinya melantik Ketua DPD-RI, bukan Wakil Ketua MA. Dan proses pemilihan ketua dan/atau pimpinan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MA yang telah membatalkan peraturan DPD-RI terkait mengatur tata tertib lembaga tersebut, ini ilegal,” papar Ashar.
Terhadap dualisme kubu di tubuh DPD ini Aliansi BEM se Jabodetabek perlu mengeluarkan sikap akademik intelektualnya dan menyampaikan pandangan bahwa pertama, proses parpolisasi yang tengah terjadi di Dewan Perwakilan Daerah secara nyata telah mengakibatkan terjadinya perpecahan di lembaga ini.
Di mana, DPD mengalami dualisme kepemimpinan, padahal MA telah menyatakan dalam putusannya bahwa Pimpinan DPD memegang jabatan selama lima tahun atau hingga pemilu 2019.
“Kedua, Proses pemilihan pimpinan DPD-RI yang menghasilkan Ketua DPD-RI atas nama saudara Oesman Sapta Odang adalah pemilihan pimpinan yang ilegal karena bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Tatib DPD dan Putusan MA-RI,” ujar Ashar dalam sikap BEM se Jabodetabek yang disebarkan Releasenya ke media.
Ketiga, lanjut Ashar, dalam rangka mengakhiri dualisme kepemimpinan DPD dan demi kepastian hukum, Ketua Mahkamah Agung harus melakukan koreksi terhadap tindakan Wakil Ketua MA yang sebelumnya telah memandu pengucapan sumpah pimpinan DPD atas nama Oesman Sapta Odang dkk.
Keempat, Komisi Yudisial harus mengambil tindakan efektif sesuai kewenangannya untuk menyikapi tindakan pejabat MA-RI yang telah merusak marwah Putusan MA-RI. Di mana, KY harus mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua MA.
Kelima, dalam rangka menjaga prinsip checks and balances dan hubungan antar lembaga negara menurut UUD NRI tahun 1945, maka kepada lembaga negara lainnya diminta untuk tetap menghormati mekanisme internal Dewan Perwakilan Daerah RI dengan tidak mengakui kepemimpinan DPD yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MA-RI.
Keenam BEM se Jabodetabek meminta Pimpinan DPD-RI yang legal untuk tetap melaksanakan fungsi dan tugas-tugas kepemimpinannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Red)