Telegraf, Karo – Kabut tipis menyelimuti perkebunan jeruk Siam Madu di lereng Gunung Sibayak di Desa Bandar Tongging Kecamatan Merek Kabupaten Karo Sumatera Utara. Henri petani setempat, terlihat telaten memeriksa buah dan tanaman jeruk diperkebunannya, yang luasnya mencapai 1,5 hektare.
Buah jeruk, terutama yang siap panen diperiksa untuk memastikan bebas dari berbagai penyakit terutama lalat buah. Penyakit ini menjadi momok petani. Buah yang terserang berarti harus segera dipetik dan dimusnahkan. Langkah itu untuk memangkas penularan pada buah lain. Yang berarti memangkas kerugian.
“Buah yang terkena lalat buah akan membusuk, jelas ini tidak laku dijual. Larva lalat akan berkembang bila tidak dimusnahkan dan menyebar ke jeruk lain,” kata Henri, Selasa (04/04/2017).
Hari itu sejumlah wartawan bersama sejumlah pejabat Pemkab Temanggung melakukan studi banding budidaya jeruk Siam Madu di Kabupaten Karo. Jeruk ini populer dengan jeruk Medan, meski di Medan sendiri tidak ada budidaya jeruk tersebut.
Henry mengemukakan petani membuat perangkap lalat yang digantung di tanaman jeruk. Perangkap itu berupa botol yang diolesi lem dan obat anti hama. Lalat akan menempel diperangkap, untuk lalu segera dimusnahkan. Langkah tersebut sejauh ini dapat sedikit meredam, sebab selama ini belum ada formula jitu untuk pengatasi serangan, termasuk penyemprotan anti hama.
Disampaikan jeruk Siam Madu yang ditanam merupakan hasil okulasi agar lekas berbuah. Jeruk asal daerah tersebut sangat disukai sebab punya kekhasan, yang diantaranya kulit buah tebal dengan warna kekuningan dan rasa manis asam. ” Tanaman jeruk boleh sama, tetapi hasilnya akan beda antara yang ditanam di Karo dan di daerah lain. Pasti enak dari Karo,” dia berpromosi.
Untuk rasa, kata dia petani tidak khawatir dalam persaingan termasuk dengan jeruk impor. Hanya saja yang jadi kendala adalah persaingan harga. Jeruk impor harga lebih murah, sementara jeruk lokal sulit untuk turun harga mengingat biaya produksi sangat tinggi. Pemerintah harus tegas melarang atau membatasi jeruk impor sebagai bentuk perlindungan komoditas lokal.
Bila terus berlangsung maka budidaya jeruk lokal akan bangkrut. Jeruk Siam Madu hanya akan menajadi sebuah cerita. ” Harga jeruk lokal berkisar Rp 10 ribu sampai Rp 16 ribu sedangkan impor di bawahnya,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo Sarjana Purba mengatakan jeruk Siam Madu dari Karo mulai ditanam petani pada tahun 70an. Luasan lahan kini mencapai 10.000 hektare, jauh berkurang dibanding sekitar enam tahun lalu yang mencapai 16.000 hektare.
Serangan lalat buah dan beberapa penyakit lain seperti tumor pohon menyebabkan petani malas meneruskan usaha perkebunan jeruk, mereka beralih seperti ke kopi atau tanaman lain. ” Penanganan penyakit ini hanya butuh ketelatenan dan kekompakkan, bukan butuh teknologi canggih,” katanya.
Pangsa pasar jeruk sendiri, katanya tidak menjadi kekhawatiran sebab telah tercipta seperti pasar-pasar modern dan tradisional, termasuk ke luar negeri. Yang diperlukan adalah mempertahankan atau meningkatkan kualitas jeruk.
“Pemasaran jeruk banyak di Jawa atau kota besar lain, jadi yang penting meningkatkan atau mempertahankan kualitas komoditas,” katanya sembari mengatakan produktivitas jeruk 4 ton per 1 hektare.
Dikatakan dari 17 kecamatan yang ada di Karo, 14 kecamatan yang cocok untuk budidaya jeruk. Petani juga membuka perkebunan jeruk yang dimilikinya untuk dijadikan destinasi wisata. ” Ini langkah baik, kebun jeruk menjadi destinasi wisata, kami mendukungnya, dan secara berkelanjutan diadakan pembinaan,” katanya.
Asisten Administrasi Setda Temanggung Sigit Purwanto mengatakan studi banding tersebut untuk meningkatkan komunikasi dan studi tentang potensi pertanian dan wisata. Kebetulan antara Temanggung dan Karo memiliki letak geografis yang sama sehingga budidaya jeruk dapat dikembangkan di Temanggung.
“Karo dapat belajar budidaya kopi dan tembakau, di Temanggung. Kami belajar jeruk di Karo,” katanya.
Di Temanggung yakni di lereng Sindoro, katanya dahulu pernah ditanam jeruk tetapi lalu dimusnahkan untuk ganti tanaman lain karena budidaya jeruk dinilai kurang menguntungkan. Dengan belajar di Karo diharapkan ada semangat dan harapan baru untuk bertanam jeruk yang dipadu wisata. (Red)