Tren Baru Digital Commerce di Indonesia

Oleh : KBI Media

Telegraf, Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang mengalami keterlambatan dalam adopsi digital dengan penetrasi internet yang relatif rendah oleh 264 juta penduduknya. Namun, dengan jumlah populasi Indonesia yang diprediksi akan bertambah sebanyak 13,4 juta pada 2022 maka Indeks Konsumen Digital diprediksi akan meningkat cepat dengan setengah dari populasi Indonesia memiliki akses ke internet.

Dari total populasi yang sudah memiliki akses internet, 43,5% merupakan pembeli digital. Jumlah tersebut diprediksi akan melonjak hingga 65,4% pada 2022. Pengeluaran belanja digital per kapita masih relatif rendah sebesar US$ 31,70 per pembeli. Namun, jumlah tersebut diprediksi akan bertambah lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.

Sebanyak 72% konsumen Indonesia berbelanja daring untuk menghemat waktu dibandingkan untuk menghemat uang. Kenaikan signifikan ekonomi digital diperkirakan akan didukung oleh ekspansi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan PDB diprediksi berada di rata-rata 5% tiap tahun, memberikan dasar yang kuat untuk investasi baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat kelas menengah (salah satu kelas terbesar di dunia).

“Faktor pendukung lainnya adalah generasi muda di mana 50% di antaranya termasuk generasi millennials. Dengan pengguna ponsel pintar yang menghabiskan rata-rata 181 menit per harinya (jumlah waktu tertinggi di dunia), peluang bisnis perdagangan ponsel semakin terbuka lebar,” ujar Mohammed Sirajuddeen, Managing Director & Digital Commerce Lead for APAC, Africa, Middle East & Turkey, Accenture.

 

Strategi Route-to-Market

Berdasarkan potensi pasar di kawasan Asia Pasifik khususnya Indonesia, sangatlah penting untuk memiliki pemahaman tentang pembeli, unit apa yang dibeli, kapan, di mana dan  bagaimana pembelian itu terjadi. Hal itu disebabkan karena para pemenang di dunia baru ini adalah perusahaan yang memiliki strategi RTM yang sesuai dengan tujuan bisnis di tengah lanskap yang dinamis. Route-to-Market pada dasarnya adalah pengetahuan untuk memahami perilaku pembeli dan jenis gerai tertentu.

Lima pertanyaan utama dalam menganalisa Route-to-Market (RTM) adalah:

  1. Siapakah konsumen yang tepat: Seberapa efisien pelaku bisnis menjangkau dan melibatkan konsumen baru ini?
  2. Di mana mereka: Bagaimana memastikan bahwa kita memiliki produk yang tepat bagi konsumen dan di saat yang bersamaan mampu menyeimbangkan pertumbuhan serta biaya berbisnis?
  3. Apa yang akan mereka beli?
    1. Produk apa yang sesuai dengan keinginan konsumen?
    2. Apa yang harus kita jual kepada konsumen sehingga margin keuntungan menjadi optimal?
  4. Dimana mereka akan membeli: Apa yang harus diselaraskan dengan ‘Channel mix / options’ berdasarkan kategori dan kelompok konsumen yang memiliki pendapatan yang sesuai? Strategi RTM seperti apa yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen di saat yang tepat?
  5. Bagaimana mereka akan membeli: Bagaimana kita memberikan pengalaman omni-channel yang dapat meningkatkan ketertarikan konsumen untuk melakukan pembelian?

Untuk mulai melakukan analisis RTM, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengkategorikan atau mengelompokkan pedagang dan konsumen yang unik. Pasar perlu mengidentifikasi model bisnis dan kebutuhan konsumen. Kemudian tindakan selanjutnya adalah pemetaan masing-masing jenis konsumen dengan pelaku bisnis.

Ilustrasi identifikasi pasar dan konsumen

Apakah Belanja Daring Akan Menggantikan Belanja Offline?

Pada 2017, untuk lebih memahami pola belanja konsumen Indonesia, Accenture melakukan penelitian konsumen di Indonesia mengenai perilaku dan preferensi konsumen dengan menggunakan data dan analisis dari Snapcart yang meliputi lebih dari 8 juta transaksi konsumen di lebih dari 6.500 gerai perdagangan modern di seluruh bangsa.

Metodologi inovatif Snapcart, yang menggunakan tanda terima belanja yang diunggah oleh pengguna ke aplikasi Snapcart, mengidentifikasi transaksi konsumen termasuk waktu pembelian dan komposisi produk yang dibeli. Munculnya teknologi digital telah menimbulkan banyak pertanyaan terkait masa depan ritel. Untuk mengungkap dan memahami hal ini lebih jauh lagi, Snapcart melakukan survei yang melibatkan lebih dari 3.700 responden di Indonesia selama bulan April 2017.

Eko Wicaksono, Country Sales and Operations Director, SnapCart mengungkapkan bahwa shopper berbelanja ke channel berbeda untuk tujuan berbeda. Pertama, sebanyak 55% shopper berbelanja di channel Hypermarket (57% di Supermarket) untuk belanja bulanan dan/atau memenuhi stok di rumah (planned behavior).

Kedua, sebanyak 48% shopper berbelanja di Minimarket untuk membeli kebutuhan yang bersifat mendesak dan/atau belanja harian (immediate/impulse behavior). Ketiga, sebanyak 79% shopper yang berbelanja di e-commerce untuk tujuan mencoba (experiential behavior), dengan daya tarik berbagai promosi. (Red)


Photo Credit : Indonesia dianggap sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang mengalami keterlambatan dalam adopsi digital dengan penetrasi internet yang relatif rendah oleh 264 juta penduduknya. | Shutterstock

Lainnya Dari Telegraf