Telegraf – Dewan Pers menggelar Diksusi Publik bertema “UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dari Perspektif Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi” secara virtual Sabtu (20/02/2021). Diskusi direncanakan bisa digelar 3-4 kali lagi, dan Dewan Pers akan merumuskan rekomendasi terhadap revisi UU tersebut.
Diskusi akan dilakukan dalam beberapa putaran dengan mengundang insan media, pakar, DPR, dan unsur masyarakat, agar bisa didapatkan pembahasan materi UU ITE yang lebih baik, sehingga rekomendasi yang dihasikan juga lebih komprehensif.
Anggota dan Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan mengatakan, Dewan Pers akan memformulasikan materi diskusi dari banyak nara sumber pakar dan berbagai pihak. Selanjutnya, Dewan Pers akan memberikan rekomendasi terkait revisi UU ITE.
“Kami berharap, kalau masukan ini bagus dan akan kita formulasikan. Kita harus tetap optimistis bahwa untuk membangun negeri ini, kita harus perjuangkan, tidak mudah memang ya. Salah satu kontribusi kita bersama ini adalah dengan mencoba memberikan masukan untuk Undang-Undang ITE ini,” ujarnya.
Sementara itu, dalam diskusi putaran pertama hari Sabtu tersebut, para pemateri menginginkan revisi akan menjadikan UU ITE menjadi sarana mencari keadilan yang seimbang bagi semua semua kelompok masyarakat dan menjadikan ruang digital lebih sehat bagi semua.
Wartawan senior dan mantan Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti berpendapat, dalam paparannya, mendorong adanya pembentukan tim dari Dewan Pers yang khusus mengawal proses revisi UU ITE.
Selain itu, Dewan Pers didorongnya membuat focus group discussion (FGD) untuk membuat draf usulan revisi UU ITE. Tujuannya agar revisi menjadikan UU tersebut benar-benar lebih bagus daripada sebelumnya.
“Rekomendasi saya ketiga adalah membentuk tim Dewan Pers untuk pengawalan proses revisi Undang-Undang ITE ini supaya lebih baik lagi. Jangan ada pengalaman yang kurang baik pada saat revisi tahun 2016. Walaupun bisa menurunkan hukumannya, tapi ternyata dampaknya di lapangan tetap saja ada penahanan jangka panjang,” kata Bambang.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Edmon Makarim menyampaikan, hal yang perlu ditekankan dalam rencana revisi UU ITE ada pada proses penegakan hukumnya. Hal ini terutama ditekankan bagaimana menafsirkan pasal-pasal secara parsial agar tidak multitafsir dan bukan revisi UU tersebut secara keseluruhan.
“Yang perlu ditekankan, diperbaiki, dikoreksi, lebih pada proses penegakan hukumnya, bagaimana menafsirkan pasal-pasal dalam menangani kasus-kasus hukum, tapi bukan pada regulasinya secara keseluruhan, atau urgensi penegakan hukum harus memilah mana delik aduan dan delik biasa. Khusus delik aduan, kemudian juga menekankan pentingnya pendekatan restorative justice,” tuturnya.
Restorative justice merupakan suatu pendekatan penyelesaian hukum yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku serta korbannya sendiri. Mediasi lebih diutamakan antara pihak yang berperkara, sebelum dilakukan melalui proses pengadilan.
Sementara itu, Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings sekaligus Pemimpin Redaksi Investor Daily Primus Dorimulu menyampaikan, rencana mengamendemen UU ITE lebih pada ranah media sosial dan bukan di media arus utama (mainstream).
“Di sosmed (social media) yang ujaran kebenciannya sudah luar biasa. Satu pihak yang merasa lebih baik dari yang lain melaporkan ke polisi. Dan dianggap, ini kok kalau laporan cepat diproses, sementara laporan lain yang juga sangat dahsyat argumentasinya kok enggak diproses. Begitu, larinya ke pasal karet,” tutur Primus.
Primus juga menyoroti penghinaan dan perdebatan yang berlebihan menyangkut suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Karena itu, UU ITE juga diharapkan bisa menekankan toleransi, selain tentu saja melawan konten negatif, korupsi, narkotika, serta terorisme dan radikalisme.
4 Pasal Karet
Bambang Harymurti juga berpendapat, ketika nanti diadakan revisi, pasal 27, 28, 29, dan 45 dalam UU ITE sebaiknya dihapus dan dikembalikan ke KUHP sebagai asal pasal-pasal tersebut. UU ITE sebaiknya dikembalikan ke asal mula niat pembuatannya khusus untuk mengatur informasi dan transaksi elektronik.
“Kenapa saya usulkan demikian, karena untuk masalah di pasal 27, 28, dan 29, itu sudah ada undang-undangnya, ada di KUHP,” usulnya.
Dia menjelaskan, sejak tahun 2013-2014, masyarakat sudah mulai saling membuat laporan dengan banyak memanfaatkan pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik sebagai delik aduan dan umum.
Pada 2016, pasal 27 UU ITE yang lahir tahun 2008 itu sudah pernah direvisi dan diturunkan ancaman hukuman pidana kurungannya dari enam tahun menjadi empat tahun dan denda juga diturunkan dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.
Namun, walaupun telah direvisi, malah terjadi kemunduran. Karena, hingga Oktober 2020, perkara yang diputuskan oleh pengadilan berdasarkan UU tersebut telah mencapai sekitar 324 orang.
Paling banyak diadili dengan pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik sebanyak 209 orang, nomor dua sebanyak 76 orang diadili dengan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian dan permusuhan SARA. Sebagian besar dari mereka yang tersangkut khusus karena pernyataannya di Facebook sebanyak 172 orang.
Sementara itu, pada pasal 45 UU ITE disebutkan, (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Senada, Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun juga sepakat pasal 27, 28, dan 29 sebaiknya dihapus dari UU ITE dan pengaturan pasal-pasal tersebut dikembalikan ke regulasi yang telah mengatur sebelumnya, yakni KUHP.
“Pasal 27, 28, dan 29, saya setuju sebaiknya dihapus dari UU ITE, dan kembalikan UU ITE ke khitahnya ketika dibuat yakni khusus untuk mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan mengatakan, jika tetap dipertahankan, pasal-pasal karet di UU ITE perlu diperjelas, sehingga dapat meminimalisasi tafsir, di antaranya tentang pencemaran nama baik.
“Selain itu, saya kira bagaimana memastikan polisi lebih bekerja secara profesional. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Temannya sendiri nggak segera diproses, tapi lawan politik secepat kilat diproses. Itu yang juga merusak implementasi dari UU ITE,” imbuhnya.
Kasus Wartawan
Sementara itu, Bambang juga kembali mendorong Dewan Pers agar melakukan audiensi dengan Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk mengingatkan kembali bahwa telah ada nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian RI (Polri) tentang kasus pers untuk ditangani dengan UU Pers dan bukan dengan UU ITE.
BACA JUGA
Lokataru: Masyarakat Indonesia Gagal Paham Praktik Kebebasan Berekspresi
Walaupun ada kesepakatan, di daerah, kenyataannya masih banyak wartawan dikriminalisasi dengan UU ITE karena pemberitaannya. Salah satu contohnya, Muhamad Asrul, wartawan beritanews.com di Palopo, Sulawesi Selatan, pada 2020.
Dia dilaporkan ke polisi dan ditahan karena pemberitaan yang ditulisnya terkait dugaan kasus korupsi Farid Judas Karim, salah satu anak wali kota Palopo. Ia dijerat ujaran kebencian dengan UU ITE pasal 28 ayat (2) dan pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946.
Maih pada 2020, kasus lain menimpa Mohammad Sadli, seorang wartawan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, divonis pengadilan dengan penjara selama dua tahun karena tulisannya dianggap mengkritik Pemkab Buton Tengah.
Tulisannya yang dimuat di media Liputanpersada.com berjudul Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat dianggap menimbulkan kebencian di masyarakat. Beritasatu
ILUSTRASI DN