Telegraf – Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang mengatakan pelabelan risiko Bisfenola A (BPA)—bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan—adalah bentuk nyata perlindungan pemerintah atas potensi bahaya dari peredaran luas galon guna ulang di tengah masyarakat.
“Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarat. Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi,” kata Rita dalam sebuah webinar bertajuk “Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK” pada Kamis, 2 Juni.
Rita menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.
“Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum,” kata Rita menyebut sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Dia bilang saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, katanya, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
“Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat),” katanya menyebut jenis kemasan plastik bebas dari BPA. “Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang.”
Rita juga menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, katanya, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.