JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Cepat dan pasti, negara kita dikuasai oligarki. Hal itu dipungkasi oleh pergantian konstitusi. Kini, semua pejabat negara kita berwajah memelas tetapi ganas; semua perwira kita bertampang pelindung tetapi mentung; semua guru-guru kita berbaju semesta tetapi acungkan pistol penuh peluru ganas luarbiasa; semua rokhaniawan kita berlagak dukun tetapi pikun.
Perlindungan rakyat tinggal mimpi. Keadilan sosial tinggal tulisan. Ketuhanan yang esa tinggal ratapan. Kerakyatan dan konsensus tinggal gurauan. Persatuan dan kemanusiaan tinggal kenangan.
Ini semua bermula dari relasi peng-peng (penguasa-pengusaha) yang membentuk komunitas oligarki dan negara swasta-predator. Tetapi, tanda terbaiknya adalah saat presiden Joko Widodo menyatakan bakal mengejar dan menghajar pihak yang menghambat investasi di Indonesia. Hal itu terkait dengan perlawanan rakyat yang tak setuju, perizinan yang lambat, birokrasi berbelit hingga dugaan pungutan liar plus aparat yang tak melindungi projeknya (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190714210826-32-412032/jokowi-soal-penghambat-investasi-saya-akan-kejar-dan-hajar).
Pidato itu jelas, tanda ia sudah lupa, tak paham, tak mengerti dan rabun konstitusi. Tanda ia bangga jadi pengkhianat rakyat. Tanda jadi maling kundangnya para pendiri republik. Tanda ia rela jadi gedibal konglomerat. Tanda ia senyum jadi “hit man” yang menjual murah kedaulatan manusia dan negaranya. Tanda tak merdeka!
Jika dirunut lebih jauh, tentu ini buah dari projek lanjutan kolonial yang menjelmakan praktek depedensi (dependency theory) dalam hubungan antar negara. Dus, yang dimaksud ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ipoleksosbudhankam negara bekas jajahan disetir oleh ekspansi bin invasi dari negara penjajah; singkatnya negara jajahan baru tersebut hanya berperan sebagai penerima akibat saja (Titonio Dos Santos, 1970).
Di negara postkolonial inilah program kolonialisme baru dititahkan: produksi masyarakat konsumeris, anti industri, anti proteksi, pro utang luar negeri, menyembah investasi, inward looking, westernisasi, pembangunanisme dan infrastrukturisme.
Sungguh. Tak ada lagi bangun jiwa, bangun spirit, apalagi perluasan kapasitas kecerdasan manusia dan theo-eko-antrocentris dalam tata kenegaraan. Tragis. Semua menuju anti epistemik jalur rempah yang kokoh.
Di mana rakyat dan kedaulatan negara? Dibuang ke selokan. Elitenya berlomba-lomba jadi penjahat kemanusiaan semesta. Lahirkah anak-anak haram perekonomian (5K): kemiskinan, kepengangguran, kesakitan, kebodohan dan ketimpangan.
Proses ini distrukturkan di pusat-pusat pemerintahan, sekolahan dan rumah ibadah. Lewat kurikulum, media dan agensi yang dikampanyekan setiap hari. Lahirlah komunitas epistemik rabun konstitusi, alpa pancasila. Terjadilah the end of ideology (Daniel Bell, 1960).
Ya. Kesaktian penjajah sudah tak tertandingi. Ideologi perlawanan sudah kalah, tunduk, menyerah dan mengamini keniscayaan global yang neoliberalistik. Penjajahan baru saat ini telah menggurita dan menghegemoni. Artinya, ideologi perlawanan telah mati dan tak berdaya. Tentu saja, runtuh dan gagalnya ideologi perlawanan (islamisme, komunisme, sosialisme, sinkretisme dll) dalam membangun negeri jajahan, memberikan ruang agresi yang jauh lebih luas bagi neoliberalisme untuk mendeklarasikan kepenguasaannya terhadap dunia.
Lalu, kurang lebih 29 tahun kemudian, Francis Fukuyama (1989) merumuskan dunia via bukunya menjadi The End of History. Yes. Selesai sudah cerita “perang dan pertempuran” untuk menjadi satu tata dunia terbaru: global kapitalisme. Lalu, kisah dari benturan peradaban dan perang global (clash of civilizations) telah selesai. Teori yang dikemukakan oleh ilmuwan politik Samuel P. Huntington (1992) sudah terbukti valid dan merealitas.
Di kita, semuanya menuju postulat “Republik Darurat Nasional; Republik Anti SDM Unggul; Republik Abai SDA Rempah-Herbal.” Apa itu RDN? Apa solusinya?
RDN adalah kondisi di mana ipoleksosbudhankam kita tidak bekerja maksimal untuk memastikan hadirnya nilai spiritualitas, humanitas, kebersatuan/kegotong royongan, musyawarah mufakat dan keadilan sosial. Sebaliknya, ciri utama RDN adalah semua hanya untuk uang, dari uang dan oleh uang. Ciri utamanya, “bekerja rasa bersama tetapi sesungguhnya untuk diri sendiri.”
Tak ada lagi kekuasaan untuk berbuat baik, nama baik, warisan baik, realisasi keidealan, ketuhanan dan kesemestaan. Itu semua tinggal kisah dan cerita purba. Dihapus dari kurikulum sekolah dan tradisi serta keagamaan. Moral hilang. Intelektual hilang. Spiritual hilang. Sejarah bersama hilang.
Bagaimana cara menghancurkannya? Adalah dengan menghadirkan postulat negara pancasila. Postulat ini dikerjakan lewat 3 hal: studi atlantik sebagai ontologi; studi nusantara sebagai epistemologi; studi indonesia sebagai aksiologi. Tanpa itu, negara pancasila tak akan ada. Yang ada hanya pengkianat pada tuhan, sesama dan alam raya. Adanya elite maling kundang.
Menghadirkan postulat negara pancasila bisa kita mulai dari percetakan dan persemaian patriot pancasila. Lalu mendata ulang kekayaan SDA dan SDM. Kemudian menciptakan pasar internasionalnya. Diakhiri dengan mentradisikannya di semua jenjang pendidikan.
Kita segera mulai. Mari kita wakafkan jiwa raga untuk Indonesia raya yang jaya, ultima menjadi mercusuar dunia. Kita pastikan kehadiran komunitas epistemik jalur rempah sebagai jaringan sekaligus aksi bersamanya.(*)