Telegraf, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti masih minimnya aparat penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pasal gratifikasi. Padahal, TPPU dan gratifikasi dapat membantu penegak hukum untuk memulihkan kerugian negara akibat korupsi dan memberikan efek jera terhadap koruptor.
Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo mendorong KPK untuk menjerat sejumlah mantan penyelenggara negara atau pihak lain yang memiliki pengaruh besar dengan TPPU, seperti mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Menurut Adnan, KPK seharusnya menjerat Ratu Atut dengan TPPU seperti halnya adiknya, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan yang telah menyandang status tersangka kasus pencucian uang sejak 2014 lalu.
Selain itu, ICW juga mendorong KPK menerapkan pasal pencucian uang kepada mantan Ketua DPR sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang kini menjadi terpidana kasus korupsi e-KTP.
“Kenapa Ratu Atut tidak dijerat juga. Karena itu kan satu paket (dengan Wawan). Begitu pun yang lain. Yang jelas-jelas super kaya. Setnov (Setya Novanto) misalnya. Itu kan juga tidak dijerat dengan TPPU sampai hari ini,” kata Adnan usai konferensi pers “Menakar Urgensi MLA antara Indonesia dan Swiss” di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (14/02/19).
Tak hanya Ratu Atut dan Setnov, Adnan menyatakan, penegak hukum seperti KPK seharusnya sudah memiliki standar untuk langsung menerapkan TPPU terhadap penyelenggara negara atau orang berpengaruh yang tersandung kasus korupsi. Hal ini lantaran orang-orang tersebut atau yang dikenal dengan istilah politically exposed person (PEP) memiliki kewenangan atau pengaruh dalam mengambil keputusan terkait sumber daya masyarakat.
“Politically exposed person ini adalah orang-orang yang punya kekuasaan dan kewenangan besar dalam mengambil keputusan dan dalam mengelola resources publik. Mereka ini suspect utama dari TPPU di sebuah negara yang korupsinya masih tinggi. PEP itu siapa saja? Ya banyak. Ada kepala daerah, anggota DPR, ketua umum partai, pejabat publik setingkat menteri segala macam. Nah semestinya sudah ada standar, kalau mereka yang kena kasus korupsi langsung sepaket dengan TPPU,” katanya.
Berdasar data penanganan korupsi sepanjang 2018 yang ditelusuri ICW, dari 454 kasus korupsi, hanya tujuh kasus yang menerapkan TPPU, yakni enam kasus TPPU ditangani KPK, dan satu kasus Kejaksaan. Sementara kepolisian tidak menerapkan TPPU.
KPK sendiri belum secara maksimal menerapkan TPPU dan gratifikasi terhadap kepala daerah yang ditangani mereka. Dari 28 kepala daerah yang ditangkap dalam OTT sepanjang 2018, hanya 17 persen yang dijerat pasal gratifikasi dan hanya tiga persen yang dijerat TPPU.
Akibat tidak menerapkan TPPU dan gratifikasi, kerugian negara yang bisa diselamatkan atau dikembalikan kepada negara pun masih terbilang minim. Penanganan korupsi sepanjang 2017 tercatat total kerugian negara mencapai Rp 29,4 triliun. Namun, dari jumlah itu hanya Rp 1,5 triliun yang berhasil diselamatkan atau dikembalikan ke negara atau hanya 5 persen dari total kerugian negara.
Ditegaskan Adnan, penegakan hukum terkait kasus korupsi yang tidak meletakkan asset recovery atau pemiskinan koruptor sebagai prioritas dipastikan tidak akan menimbulkan efek jera. Tanpa pemiskinan, koruptor masih memiliki kekuatan untuk hidup mewah, mengendalikan organisasi bahkan melakukan kejahatan kembali dengan menyuap petugas dan hal lainnya.
Selain itu, pemulihan kerugian negara akibat korupsi dengan pendekatan tindak pidana pencucian uang jauh lebih efektif dibandingkan menggunakan pendekatan pidana korupsi berbentuk suap. Adnan pun mencontohkan kasus mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin. Saat ditangkap KPK, Fuad Amin disangka menerima suap sekitar Rp 700 juta. Namun, dengan penerapan TPPU, KPK menelusuri aset Fuad Amin hingga Rp 400 miliar untuk dikembalikan ke negara.
“Itu sebenarnya logika dari TPPU yang sebenarnya membantu penegak hukum untuk mempercepat upaya-upaya pengembalian aset. Kalau kasus suap, paling denda, pidana dan uang penggantinya berapa. Padahal secara natural mereka yang melakukan korupsi itu adalah sesuatu yang dilakukan rutin sehingga sifatnya akumulatif. Aset yang mereka kumpulkan itu pun akhirnya akumulatif,” paparnya.
ICW juga mengkritik KPK yang lamban menuntaskan kasus pencucian uang Wawan yang telah ditangani lembaga antikorupsi sejak 2014 atau lima tahun lalu. Padahal, KPK sudah menyita ratusan kendaraan berbagai jenis, mulai dari supercar, mobil mewah, sepeda motor gede, hingga truk molen.
“Mosok (Masa) enggak ada progresnya kalaupun (Wawan) dijerat (TPPU),” terang Adnan.
Lambannya penanganan kasus ini menimbulkan prasangka terhadap KPK. Apalagi, KPK juga belum menyentuh aset-aset lain miliki Wawan seperti properti. KPK juga belum menjerat perusahaan miliki Wawan yang disebut mencapai puluhan.
Diungkapkan Adnan, lambannya penanganan kasus pencucian uang ini membuat Wawan masih memiliki pengaruh untuk mengendalikan politik atau bahkan proyek. Tak hanya itu, dengan uang yang masih dimilikinya, Wawan menyuap petugas bahkan Kepala Lapas Sukamiskin untuk mendapat fasilitas dan akses yang luas selama mendekam di lapas khusus koruptor tersebut.
“Pelaku korupsi yang masih punya uang banyak bisa mengendalikan siapapun. Aparat sipir di penjara dikasih Rp 2 juta sehari juga pasti akan memberi akses seluas-luasnya,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, Jubir KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya mencermati setiap kritik yang disampaikan, termasuk masih minimnya penerapan TPPU dan gratifikasi. Febri menjelaskan, KPK tidak bisa memaksakan seluruh perkara menggunakan TPPU jika tidak memiliki bukti yang kuat.
“Karena itu kami menangani kasus-kasus tersebut awalnya berkembang gratifikasi misalnya, ada yang mungkin suapnya ratusan juta rupiah atau 1 miliar tapi gratifikasinya bisa jauh lebih banyak puluhan miliar bahkan 100-an miliar. Kalau ada bukti kami telusuri, kalau tidak ada (bukti) tidak boleh,” katanya.
Demikian pula halnya penerapan TPPU atau gratifikasi terhadap Ratu Atut dan Setya Novanto. Febri menegaskan, KPK dapat menerapkan pencucian uang sepanjang ditemukan bukti yang cukup. “Kalau penanganan perkara harus berdasarkan kecukupan bukti itu yang jadi poin krusial,” katanya.
Terkait lambannya penanganan kasus pencucian uang Wawan, Febri mengatakan, kasus ini masih berjalan di tahap penyidikan. Terdapat sejumlah hal yang perlu dirampungkan tim penyidik.
Febri menjelaskan terdapat karakter khusus dalam penanganan kasus pencucian uang Wawan. Salah satunya terkait status Wawan sebagai pihak swasta.
Dalam kasus pencucian uang yang melibatkan penyelenggara negara, KPK dapat memilah aset atau penghasilan yang sah dan yang diduga berasal dari tindak pidana. “Kalau swasta tetap harus dilihat satu per satu,” katanya. (Red)
Photo Credit : Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar yang merupakan tersangka kasus korupsi proyek pengadaan E-KTP. ANTARA