Telegraf – Kepuasan publik terhadap pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) menurun signifikan, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 mengenai persyaratan batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres).
Hal ini diketahui dari hasil survei yang dilakukan oleh Indopol Survei, yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang rentang waktu survei 6-12 November 2023.
Direktur Eksekutif Indopol Survei, Ratno Sulistyanto mengungkapkan, dalam temuannya, persepsi publik kepuasan terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi, terutama di bidang hukum pasca-putusan MK Nomor 90, menurun signifikan.
Dikatakan, penurunan kepuasan publik sebetulnya terjadi di berbagai aspek. Namun, yang paling menjadi sorotan, adalah persepsi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
“Kinerja Pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatannya mendapatkan rapor merah. Khususnya di bidang penegakan hukum,” kata Ratno dalam keterangannya, Selasa (28/11/2023).
Kepuasan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia misalnya, mengalami penurunan angka 7,2 persen sejak bulan Juni 2023, turun dari 60,48 persen jadi 53,3 persen. Begitu pula dengan kepuasan terhadap pelaksanaan demokrasi yang mengalami penurunan sebesar 6,29 persen dari 74,11 persen menjadi 67,82 persen.
Kepuasan publik juga turun pada kinerja Pemerintah Jokowi-Makruf di bidang pembukaan lapangan kerja (49,76 persen) dan penanganan pengangguran serta kemiskinan (49,44 persen). Kepercayaan publik terhadap MK anjlok juga tergambar dari data survei Indopol. Dari 76,94 persen pada bulan Oktober 2023, turun drastis menjadi 58,54 persen pada bulan November 2023.
Menurunnya kepercayaan publik kepada MK dikarenakan 62,1 persen publik mengetahui putusan MK Nomor 90, dan mayoritas dari mereka yakni 51,45 persen menyatakan tidak setuju dengan keputusan tersebut. Demikian juga, kepuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mengalami penurunan sebesar 11,61 persen dari bulan Juni 2023 hingga November 2023, turun dari 64,68 persen menjadi 53,07 persen.
“Alasan utama penolakan adalah, putusan MK penuh dengan unsur politis, mencederai rasa keadilan hukum, mencerminkan praktik nepotisme, dan tidak etis dalam penyelenggaraan negara,” tandasnya.
Ratno menambahkan, kandidat potensial yang dapat memperbaiki dan mereformasi hukum dengan baik terepresentasi pada duet Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Paslon nomor urut nomor tiga itu punya rekam jejak dan pengalaman yang kuat dalam hukum, terutama mengingat kondisi hukum yang memprihatinkan usai putusan MK. “Faktor Mahfud yang punya pengalaman panjang dalam dunia hukum dan terakhir sebagai Menko Polhukam dia membentuk tim reformasi hukum,” tambahnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, menurutnya, dengan kondisi kepuasan publik di bidang hukum yang menurun, maka yang diuntungkan adalah duet yang dianggap dapat menyehatkan kembali hukum dan politik di Indonesia.
“Ganjar-Mahfud punya pengalaman dalam reformasi hukum, khususnya Mahfud yang dianggap mampu mendobrak kebobrokan hukum. Kita butuh orang yang berani ke depan,” kata Julius.
Sebagai pembanding, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut, kepuasan publik atau approval rating terhadap Presiden Jokowi justru stabil. Putusan MK tak memberi efek signifikan. Peneliti senior LSI Denny JA Adjie Al Faraby mengatakan, kepuasan publik ke Jokowi stabil dari Juni hingga November 2023.
“Pasca Mahkamah Konstitusi, isu demokrasi, dinasti politik, marak dilayangkan langsung ke Pak Jokowi. Namun approval rating Pak Jokowi justru naik tiga bulan terakhir,” kata Denny, Senin (20/11/2023) lalu.