YOGYAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Produk kelapa sawit Indonesia mendapat banyak tantangan, terutama lewat kampanye hitam dan hambatan aturan Uni Eropa. Indonesia pun melawan supaya sawit tak tinggal kenangan seperti komoditas unggulan gula dan karet.
Demikian mengemuka dalam diskusi dan bedah buku “Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan” terbitan Indonesian Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) di gedung Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada (MM UGM), Kamis (26/9/2024).
“Dari hulu ke hilir, industri sawit menyerap banyak tenaga kerja. Sawit mengurangi kemiskinan, menyejahterakan banyak tempat, mengurangi kesenjangan pendapatan, bahkan mengurangi dampak perubahan iklim. Kontribusi sawit untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) besar sekali,” ujarnya.
Dengan arti strategis sawit tersebut, Indonesia mesti mengamankan pasar global sawit dengan mengembangkan industri agribisnis ini secara berkelanjutan. “Kita telah memperkuat sustainability (keberlanjutan). Kita tidak omdo (omong doang) dengan menciptakan ekosistem yang baik,” tandasnya.
Ia menyebut Indonesia tak ingin nasib sawit seperti sejumlah komoditas yang dulu pernah berjaya namun kemudian pasarnya surut, seperti gula, teh, dan karet. “Jangan sampai sawit kita tinggal kenangan,” ujarnya.
Langkah tersebut mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tak ingin melihat sawit Indonesia menguasai pasar. Kampanye hitam pun dilayangkan. “Industri sawit kita diserang isu lingkungan, deforestasi, isu kesehatan, human traficking, sampai mempekerjakan buruh anak. Padahal ini persaingan dagang,” katanya.
Namun saat ini citra negatif sawit itulah yang banyak beredar. Apalagi pada akhir 2024, Uni Eropa akan memberlakukan secara penuh European Union Deforestation Regulation (EUDR). Melalui aturan ini, berbagai komoditas termasuk sawit akan dihalangi masuk Uni Eropa kecuali mampu memenuhi aturan tentang bebas deforestasi melalui skema ketertelusuran.
“Ini sulit dipenuhi petani sawit kita sehingga mereka terusir dari rantai pasok yang berujung pada kemiskinan. Eropa maunya pokoke (harus). Kita akan melawan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Mulyanto menambahkan kelapa sawit sebenarnya bukan berasal dari Indonesia, melainkan dari Afrika. “Tapi sawit menemukan rumah terbaiknya yakni di Indonesia,” ujarnya.
Ia menjelaskan saat ini sedikitnya ada 160 produk turunan dari kelapa sawit. Efek bergandanya sangat besar. Kelapa sawit bahkan layaknya mesin besar penyerap emisi karbon. Jadi kalau ada yang bilang sawit penyebab emisi karbon, itu sangat salah,” tandasnya.