Masjid Ikonik di Jogja Dirundung Sengketa, Seperti Apa Duduk Perkaranya?

"Fakta hukum yang ada sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya 2 alat bukti yang dibutuhkan dalam perkara ini."

Oleh : msn

YOGYAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Masjid Suciati Saliman telah menjadi rumah ibadah yang ikonik di Yogyakarta. Masjid tiga lantai yang berdiri di lahan 1.600 meter persegi ini didesain bergaya Timur Tengah dan kerap menjadi destinasi religi. Dengan arsitekturnya yang megah dan unik, masjid ini akan menarik perhatian siapapun yang melintas di Jalan Gito Gati, Pandowoharjo, Sleman, DIY.

Namun siapa sangka di balik kemegahannya Masjid Suciati Saliman dirundung masalah dalam pengelolaannya. Masjid yang diresmikan pada 2018 ini didirikan oleh Suciati Saliman yang dikenal sebagai pengusaha sukses di bidang pemotongan ayam. Sepeninggal Suciati yang wafat pada 15 Maret 2022 di usia 69 tahun, para pewaris masjid ini justru bersengketa.

Pada 16 Desember 2022, Rianda Sulistyaningrum, anak kedua Suciati Saliman membuat laporan polisi dengan nomor LP-B/476/XII/2022/SPKT/POLRESTA SLEMAN/POLDA DIY atas dugaan terjadinya tindak pidana memberikan keterangan palsu dalam akta autentik sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 KUHP.

Terlapor di kasus ini yang juga anak Suciati Saliman diduga melakukan tindakan melawan hukum dengan menggunakan akta yang sudah tidak berlaku untuk kepentingan perubahan kepemilikan saham dan anggaran dasar perusahaan keluarga. Upaya penyelesaian secara musyawarah gagal dan perbuatan tersebut dilaporkan ke Polresta Sleman.

Namun, laporan tersebut dihentikan penyidikannya dengan keluarnya Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/Henti.Sidik/86a/XII/Res.1.9/2024/Reskrim tanggal 16 Desember 2024. Atas hal ini, ia melayangkan gugatan pra peradilan pada Polres Sleman melalui surat permohonan praperadilan dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2025/PN SMN yang keluar pada 28 April 2025.

“Gugatan praperadilan diajukan sebagai salah satu proses yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan yang tengah diperjuangkannya,” ujar Setyoko, selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Rianda, Rabu (30/4).

Menurutnya, pada awalnya proses penyelidikan yang dilakukan Polresta Sleman berjalan lancar sehingga perkara tersebut dinaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan. “Dengan naiknya status laporan menjadi penyidikan, mengindikasikan jika polisi sendiri yakin dan berkesimpulan bahwa memang ada dugaan telah terjadi tindak pidana dalam kasus tersebut,” paparnya.

Namun, seiring waktu tidak ada lagi perkembangan penyidikan sehingga pelapor melayangkan beberapa surat untuk mempertanyakan sejauh mana proses penyidikan. Hingga, di tahun 2024, Polresta Sleman melakukan gelar perkara yang berujung pada kesimpulan bahwa perkara tersebut dihentikan penyidikannya.

Pada gelar perkara tersebut, menurut Setyoko, penyidik beranggapan perkara ini bukan tindak pidana berdasar keterangan ahli. Padahal, 2 saksi ahli dari pelapor yang sudah diperiksa, menyatakan bahwa jelas terjadi indikasi pidana. Oleh ahli pidana telah dinyatakan dengan jelas bahwa dalam perkara ini ada tindak pidana dan oleh ahli perseroan dijelaskan telah terjadi pelanggaran yang bisa berkonsekuensi pidana sekaligus perdata dan administrasi.

Agar pemeriksaan lebih objektif, pemeriksaan ulang dapat dilakukan kembali dengan secara bersama-sama mendengarkan keterangan para ahli, baik ahli yang diajukan pelapor dan terlapor, bahkan ahli yang diajukan penyidik. Kemudian, keterangan para ahli bisa diperiksa secara bersama-sama dalam sidang terbuka untuk umum, sehingga semua orang dapat menilai secara objektif bagaimana pendapat ahli mengenai perkara ini.

“Kami mengajukan praperadilan ini sebagai bentuk ikhtiar untuk mengembalikan marwah hukum agar setiap tindak pidana, sekecil apa pun, ditangani secara adil, objektif, dan transparan. Fakta hukum yang ada sudah lebih dari cukup untuk membuktikan adanya 2 alat bukti yang dibutuhkan dalam perkara ini,” jelas Setyoko.

Menurutnya, sidang praperadilan kasus ini diharapkan menjadi momentum koreksi atas keputusan penghentian penyidikan yang prematur dan membangun kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum yang tercoreng.

“Kami menilai bahwa penghentian perkara ini penuh dengan bau yang tidak sedap, apakah itu intervensi kekuasaan atau intervensi lain, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip due process of law,” tegas Setyoko.

Menurut Setyoko, sebelum menempuh jalur hukum, kliennya telah berulang kali mengajak terlapor untuk duduk bersama dan menyelesaikan persoalan warisan keluarga secara damai dan kekeluargaan. Apalagi mendiang Ny. Hj. Suciati Saliman memiliki wasiat penting bahwa keberlanjutan Masjid Suciati Saliman seharusnya dijalankan oleh kedua anaknya.

Upaya penyelesaian masalah secara musyawarah telah berulang kali diupayakan. Namun, upaya ini kandas karena pihak terlapor memilih langkah sepihak yang mengabaikan kesepakatan dan menggunakan dokumen yang sudah tidak berlaku untuk mengubah struktur kepemilikan saham keluarga dan mengabaikan wasiat terkait keberlanjutan Yayasan Masjid Suciati Saliman. Hingga akhirnya dilakukanlah laporan terhadap kepolisian. (rilis)

Lainnya Dari Telegraf