Telegraf — Pembentukan Danantara sebagai holding baru bagi BUMN strategis kembali menuai sorotan. Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arei Gumilar, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas keputusan pemerintah yang mengalihkan saham Seri B milik negara di Pertamina kepada Badan Koordinasi Investasi (BKI) dalam kerangka konsolidasi Danantara.
Dalam agenda halal bihalal dan kuliah umum di Jakarta, Arie menilai kebijakan tersebut berpotensi menggeser arah pengelolaan BUMN dari kepentingan publik menjadi lebih bernuansa kapitalistik. “Ini isu sangat penting. Undang-Undang No.1 Tahun 2025 melahirkan Danantara, dan bulan lalu diputuskan bahwa BUMN-BUMN, termasuk Pertamina, dikonsolidasikan ke dalamnya,” ujarnya.
Menurut Arie, Pertamina merupakan perusahaan strategis yang seharusnya tetap dalam kendali negara, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Ia menegaskan bahwa pengelolaan entitas vital seperti Pertamina tidak sepatutnya dilakukan dalam kerangka liberalisasi pasar. “Makna ‘sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’ tidak bisa dijalankan secara kapitalis. Pertamina harus tetap menjadi perusahaan negara,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan kembali sejarah liberalisasi sektor energi yang dimulai sejak tahun 2001 melalui revisi Undang-Undang No.8 Tahun 1971 menjadi Undang-Undang No.22 Tahun 2001. Menurutnya, perubahan regulasi ini membuka jalan bagi kepentingan swasta dalam sektor migas dan menjauh dari semangat konstitusi.
Arie menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah mengevaluasi keberadaan Danantara dan meninjau ulang rencana memasukkan BUMN strategis seperti Pertamina, PLN, dan Bulog ke dalam holding tersebut. “Jangan sampai Danantara hanya menjadi alat untuk melunasi utang negara. Kalau itu yang terjadi, negeri ini benar-benar tergadai,” ujarnya.
Senada dengan Arie, Ekonom Senior Ichsanuddin Noorsy juga menyampaikan pandanganya terkait pendirian Danantara. Noorsy menyoroti potensi moral hazard dan ketidakjelasan struktur pengelolaan aset BUMN dalam skema baru ini. “Saya tidak melihat bahwa Danantara menangani moral hazard. Justru Danantara bisa menghasilkan moral hazard baru,” ucapnya.
Noorsy menyederhanakan skema Danantara dalam dua fungsi utama: mencari uang dan menyalurkannya. Namun, ia mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas jika Danantara mulai berinvestasi pada BUMN strategis seperti Pertamina. “Investasi itu hasilnya untuk siapa? Untuk Danantara atau untuk BUMN yang diinvestasikan?” lanjutnya.
Mengutip data dari media nasional terkait Danantara,Noorsy enjelaskan entitas ini akan mengelola aset dari 844 BUMN. Dalam skema tersebut, Kementerian BUMN hanya berperan sebagai regulator, sementara Danantara bertindak sebagai operator bisnis dan investasi. “Pengelola Danantara tak cukup hanya punya kompetensi. Mereka juga harus jujur,” tegas Noorsy.
Ia juga menyoroti potensi meningkatnya biaya operasional akibat bertambahnya struktur organisasi. “Awalnya hanya pegawai BUMN yang digaji, sekarang ada pegawai Danantara juga. Gaya bisnis bertambah, cost bertambah,” tutupnya. Noorsy menekankan bahwa masa depan BUMN strategis kini sangat ditentukan oleh kejelasan arah kebijakan dan integritas pengelolaan dalam struktur Danantara yang baru.