Jakarta, Telegraf – Kemitraan petani kopi Lampung Barat dengan pengepul belum baku dan berkembang, melainkan hanya sebatas ‘sama-sama untung’. Sistem kemitraan dijalankan dengan saling percaya dan seperti barter kebutuhan sehari-hari petani dengan kopi hasil panen. Pengepul menyediakan sembako (Sembilan bahan pokok), dan petani bayar bukan dengan cash, tapi dengan kopi. “Rata-rata (sistem kemitraan) seperti itu. Beberapa petani sudah merasa comfortable, karena (sistem barter) tanpa bunga (pinjaman). Kalaupun pinjaman uang, juga tanpa bunga,” anggota Komunitas Petani Kopi Lampung Barat, Dedi Suprihadi mengatakan kepada Telegraf.
Pengembangan hubungan kemitraan petani – pengepul kopi juga belum sampai pada sistem Inti – Plasma. Hubungan kemitraan belum sampai pada penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi. Petani juga tidak pernah dapat kesempatan untuk penguasaan, peningkatan teknologi pada pengolahan dan produksi kopinya. “Kami justru berharap dari asosiasi seperti AEKI, GAEKI untuk ikut membangun sistem kemitraan bertingkat tinggi. Tapi tidak ada asosiasi kopi di Lampung Barat. Petani juga butuh penyuluhan misalkan proses pengeringan kopi yang baik,” kata Dedi saat ditemui di Temen Café di Premiere Park Moderland, Tangerang.
Kelompok tani juga tidak bisa langsung bermitra dengan usaha pasar swalayan, supermarket. Petani akan kesulitan kalau management supermarket menerapkan persyaratan dan kualitas produk atas dasar kesepakatan. Lahan perkebunan kopi juga jauh dari jangkauan beberapa pasar swalayan dan supermarket. Kelompok petani biasanya tinggal di perbukitan, pegunungan. Mereka turun ke kota dengan menempuh perjalanan 30 – 60 menit. “Perjalanan menuruni gunung bisa sampai satu jam. (situasi) tergantung ada tidaknya tumpangan kendaraan. Kalau naik motor, bisa setengah jam. Tapi kalau tunggu tumpangan, agak lama.”
Di luar kemitraan, pola kerjasama petani – pengepul juga bertumpu pada kualitas kopi. Selama ini pengepul dan supplier bersedia bayar mahal kopi, asal proses pengeringan kopi dengan baik. Beberapa petani kopi Lampung Barat masih lekat dengan sistem tradisional, turun temurun. Banyak petani menjemur kopi seadanya, yakni di atas ubin. Kendatipun bukan kopi ‘aspal’ tetapi kualitas kopi tersebut dianggap ‘asalan’. Istilah ‘aspal dan asalan’ yakni permasalahan pada kualitas kopi akibat proses pengeringan biji kopi dengan buruk.
Sebagaimana, petani-petani kopi tradisional seperti di Sumatera Selatan, Toraja (Sulawesi Selatan) cenderung masih melakukan proses pengeringan yang salah. Mereka sering mengeringkan kopi di atas aspal, dan dilindas ban mobil. Sehingga beberapa kali, potret petani dengan kopi aspal/asalan menjadi sorotan industri kopi di luar negeri. “Ini ibaratnya chicken – egg relationship. Petani sangat tergantung pengepul, supplier. Kalau mereka mau bayar dengan harga mahal, petani akan memproses (pengeringan) dengan baik. Tapi kalau supplier bayar dengan harga seadanya, petani juga terus-terusan dengan metode ‘asalan’. Petani kan juga tidak mau ribet dengan proses (pengeringan) yang baik.” (S.Liu)
Photo credit : Antara/Anis Efizudin