Telegraf, Jakarta – Beberapa pemilik gedung di kawasan kota tua Jakarta Barat mengaku belum dapat informasi mengenai kelanjutan program kerja Jakarta Old Town Revitalization Corp. (JOTRC). Pemilik gedung pada prinsipnya tidak keberatan untuk ikut mengembangkan kembali Kota Tua. “Saya tidak tahu JOTRC atau bukan. Tetapi arsitek-arsitek asal Belanda sekitar dua tahun lalu sempat datang ke sini (gedung tua di Jl. Kali Besar Timur Nomor 3 – 4),” Eddy Sadeli, pemilik gedung tua yang sudah berusia sekitar 300 tahun, mengatakan kepada Telegraf.
JORTC merupakan konsorsium swasta yang bertujuan mengembangkan Kota Tua dengan fasilitas Zona Ekonomi Khususnya. JOTRC menggalang sektor swasta, kolaborasi dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk pengembangan Kota Tua. Berdasarkan surat yang dimandatkan oleh Gubernur DKI Jakarta nomor 741/-1.853.15 tertanggal 17 Juni 2013, JOTRC di bawah SD Darmono sebagai Board of Advisor ditunjuk sebagai inisiator. “Arsitek-arsitek Belanda tersebut melakukan pendataan, pengecekan, pengukuran gedung kami. Karena gedung ini sudah berusia sekitar 300-an tahun. Saya juga sudah ‘tangan’ ke-lima (pengelola). Kebetulan saya juga berkantor di gedung tua ini.”
Lepas dari upaya JOTRC, Eddy mengeluarkan biaya yang relative besar untuk renovasi. Bagian yang paling crucial yakni konstruksi atap. Karena kalau hujan besar, beberapa kali terjadi kebocoran. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kekuatan konstruksi kayu. Selain itu, perawatan juga intens dengan pencegahan rayap. “Kalau hujan, sering bocor. Saya ganti gentengnya dengan asbes karena lebih murah. Kalau ada dana, saya mau ganti dengan (konstruksi) baja ringan.”
JOTRC sempat mengadakan sosialisasi, pendekatan kepada para pemilik gedung di Kota Tua. Salah satu ruas jalan, yakni Jl. Kali Besar Timur yang masih eksis gedung-gedung tuanya. Selain itu, kegiatan perdagangan, perkantoran juga masih berlangsung di gedung-gedung tua. JOTRC sempat juga menggunakan pendekatan integrative, untuk menerapkan konsep internasional untuk Kota Tua. Selain itu metodologi kegiatan promosi, perlindungan bangunan cagar budaya memberi banyak manfaat untuk masyarakat Jakarta, pada khususnya. “Kalau area turisme, kegiatan promosi keragaman budaya, bahkan investasi sudah sangat nyata di sini (Kota Tua). Karena gedung kami juga sudah beberapa kali digunakan untuk shooting film, video klip iklan dan lain sebagainya. Kami biasanya charge Rp 3 juta per hari (sewa tempat untuk shooting). Permasalahannya, kadang mereka bawa mobil genset. Kalau mau masuk, agak sulit karena koridor gedung nggak muat.”
Eddy menyediakan ruangan untuk studio wayang kulit. Dalangnya, Aldy Sanjaya juga bisa mendalang dengan bahasa Inggris. Sehingga turis mancanegara juga bisa ‘nyambung’ mengikuti alur cerita (wayang). Eddy mengaku tidak memasang tariff untuk beberapa penyewa gedung. Gedungnya relative besar, dan sebagian masih dengan konstruksi kayu. Sehingga ia menyekat dengan partisi untuk setiap ruangan, dengan tariff sewa sebatas ‘sumbangan’. Untuk studio wayang saja, sebagai perbandingan, biaya listrik bisa mencapai Rp 2,5 juta per bulan. Karena gedung tua dengan konstruksi langit-langitnya bisa sampai tiga meter. Sehingga penggunaan AC (air conditioner) menjadi sangat boros. “Tapi kadang Aldy (dalang) sumbang Rp 3 juta. Itu sudah bersih (termasuk kebersihan, perawatan gedung, listrik). Kadang kami rugi, tapi subsidi silang dari usaha saya (kantor konsultan hukum dan bisnis).”
Sementara itu, Aldy Sanjaya, dalang wayang kulit mengaku optimis dengan respons pengunjung khususnya turis mancanegara. Karena lokasinya berada di tengah kota tua, sebagian besar pengunjung adalah turis mancanegara. Kadang beberapa agent perjalanan, pusat informasi kota tua terlebih dahulu menghubungi Aldy. Jumlahnya tidak banyak, antara 3 – 6 orang. “Nggak selalu penuh. Saya ambil (rombongan) tiga sampai empat orang saja. Ada yang dari Belanda, Filipina, Amerika dan lain sebagainya,” Aldy mengatakan kepada Telegraf.
Usai pertunjukan, biasanya penonton memberi sumbangan. Mereka cukup memasukan uang ke kotak dana yang sudah disiapkan. Alur cerita perwayangan versi Aldy tetap bersinggungan dengan kekinian. Misalkan ada rombongan turis dari Amerika, alur cerita dengan sisipan politik hasil Pilpres (Pemilihan Presiden) di Amerika. “Saya memang menyisipkan sebagian kecil (cerita) mengenai apa yang sedang hot di Amerika. Misalkan hasil Pilpres bulan lalu, kan Donald Trump menang. Saya singgung sedikit, supaya penonton tergugah. Tetapi saya tidak mendominasi (cerita) dengan politik.”
Kendatipun menempati ruangan yang relative sempit, tetapi Aldy tetap bisa memberi penampilan terbaik. Ruang berukuran kurang lebih 3 x 6 meter persegi dipenuhi dengan berbagai koleksi wayang. Selain itu, panggung juga dibangun seadanya. Tetapi hal yang sangat mendominasi keindahan seni pertunjukan wayang antara lain pencahayaan. Ketika Aldy memainkan wayang dengan kedua tangannya, pengaruh silhouette sangat besar. Bahkan usai pertunjukan, ada wayang ukuran besar seperti kipas yang menjadi andalan. Ketika pertunjukan berlangsung, pencahayaan relative minim. Ia mengambil senter dan menyoroti pada wayang tersebut. “Silhouette terlihat indah, dengan corak tokoh dan makna perwayangan.” (S.Liu)
Photo credit : Telegraf/Andry F. Siregar