Telegraf, Jakarta – Pemilu 2019 sudah di depan mata. Banyak Partai Politik maupun caleg-caleg secara telah melakukan kampanye. Isu-isu mengenai kampanye negative dan kampanye hitam mulai merebak saat ini, khususnya ketika elit-elit politik negeri ini bicara tentang boleh atau tidaknya melakukan kampanye negatif bagi lawan politik. Relawan Angkatan Pembaharuan Indonesia (RAPI) dalam Rapat Harian Pengurus Kolektif Nasional (PKN) RAPI bersama Dewan Pengarah RAPI (15/10/18) tegas menolak berkembangnya wacana Kampanye Negatif. Kampanye adalah alat atau cara mendapatkan dukungan dari masyarakat, kampanye bisa dalam bentuk rapat-rapat umum, brosur, spanduk, flyer dan lain sebagainya.
“Coba dibayangkan bagaimana jika isi kampanye Partai Politik atau Tokoh-tokoh politik dipenuhi semuanya oleh kampanye negatif? Tak terbayang bangsa ini menjadi bangsa yang tidak beradab,” tegas Syah Abduh El’Wahid Ketua PKN RAPI.
Brosur, spanduk, banner dan media kampanye sifatnya tertulis maupun iklan-iklan cetak, elektronik dan online dihiasi dengan kampanye negatif. Hal itu dilihat atau didengar oleh anak-anak kecil.
“Tak terbayang rusaknya generasi-generasi muda penerus bangsa kedepan yang akan memimpin negara ini. Kampanye negatif walaupun isinya benar, bukanlah hal pokok dalam kampanye. Ini bukan persolan benar salah, tapi ini persoalan baik buruk. Kita berbangsa dan bernegara ini untuk membangun sebuah peradaban yang luhur untuk umat manusia,” papar Syah Abduh El’Wahid.
Kita berbangsa dan bernegara ini bukan sekedar meraih kekuasaan saja, tapi bagaimana kekuasaan yang ada di negara ini dapat diterjemahkan sebagai hal-hal baik bagi dunia ini. Kita mau dikenang sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan yang adi luhung seperti yang ditinggalkan para leluhur kita. Sahut Abduh yang juga mantan aktivis mahasiswa UNPAD ini.
Lebih lanjut lagi, Benny Sijabat Ketua Dewan Pengarah RAPI menjelaskan juga. Bangsa kita ini, bangsa nusantara yang memiliki banyak sekali ragam budaya dari sabang sampai merauke. Kita jarang sekali menemukan bahasa-bahasa langsung menjelekkan pihak lawan. Kita sudah terbiasa mengungkapkan hal-hal yang benar tapi sifatnya tidak baik jika disampaikan ke khalayak umum dengan bahasa-bahasa perumpamaan, bahasa majas dan sindiran halus ataupun dalam bentuk kesenian lainnya. Kalau kita lihat secara cermat keagungan sebuah peradaban adalah bagaimana bentuk protes atau kritik dilakukan secara elegan dan berbudaya.
“Rusaknya atau keroposnya sebuah bangsa dapat dinilai dari budaya dan bahasanya. Saling menghargai, saling membesarkan pihak lawan dalam budaya komunikasi nenek moyang kita dulu adalah hal lazim yang diungkapkan. Kalaupun mau melakukan kampanye negatif cukuplah dalam bahasa sindiran atau majas dalam rapat-rapat umum saja bukan diseluruh bentuk kampanye.” Ungkap Benny.
“Sekarang ini sering merebak bahasa-bahasa vulgar dalam bentuk meme di media online (daring) kampanye-kampanye negatif yang tidak memiliki nilai etika dan estitika. Acapkali kita menemukan serangannya sifatnya hal sangat pribadi sekali. Contohnya presiden kerempeng, jomblohlah, anak ini, anak itulah dan lain sebagainya. Jika kampanye negatif seperti itu yang mau kita tampilkan, mau jalan kemana arah bangsa ini,” imbuhnya.
Tegasnya RAPI sebagai relawan milenial pendukung Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin sangat menolak bentuk kampanye negative. Mari kita bangun kampanye adu argumentasi, adu visi misi dan adu program.
“Bukankah para pendiri republik ditengah persaingan antar mereka menjadi pemimpin pergerakan kemnerdekaan telah memberikan contoh dengan adu konsep dan adu gagasan mengenai Indonesia Merdeka? Sudah seharusnya kita sekarang bicara tentang Indonesia Emas 2045, bukan kampanye negative yang membicarakan keburukan orang per orang.” pungkas Benny. (Red)
Photo Credit : FILE/Dok/Ist. Photo