Detektor Dini Disleksia Berbasis Teknologi Karya Siswa MTsN 2 Kota Surabaya

Oleh : dikmaliq

TERNATE, TELEGRAF.CO.ID – Dua siswa berbakat dari Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya berhasil menciptakan alat detektor dini disleksia, yang menjadi terobosan penting dalam upaya mendeteksi gangguan ini. Disleksia merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, dan menurut Dyslexia Center Indonesia (2019), sekitar 10 persen anak di Indonesia mengalami disleksia tanpa terdeteksi.

Peneliti muda dari MTsN 2 Kota Surabaya, Fathi Zahiya dan Nur Maisyah Ilmira, yang bertajuk “Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensefalografi pada Aplikasi Mobile Deteksi Disleksia (DMD) berhasil masuk ke babak final Madrasah Young Researcher (MYRES) 2024, yang diselenggarakan di Ternate, Maluku Utara.

Fathi Zahiya menjelaskan bahwa otak manusia memiliki berbagai gelombang, seperti alfa, beta, delta, gamma, dan theta, yang dapat dideteksi menggunakan elektroensefalografi (EEG). “Pada penderita disleksia, pola gelombang beta dan gamma tidak beraturan. Dari sinilah kami dapat menyimpulkan adanya gangguan disleksia,” jelas Fathi.

Lebih lanjut, hasil temuan ini diuji menggunakan metode epoch sebanyak 20 kali dan berhasil mencapai akurasi hingga 100 persen. Temuan ini berpotensi menggantikan metode tes manual yang biasa dilakukan psikolog, yang sering kali memakan waktu lama dan melelahkan.

Alat ini memungkinkan deteksi disleksia secara instan hanya dengan menempelkan sensor di kepala anak yang dites, lalu dibaca oleh EEG. “Hasil tes langsung menunjukkan grafik gelombang otak dengan akurasi tinggi,” ungkap Fathi.

Guru pembimbing penelitian, Vira Wardati menyampaikan bahwa terdapat sebagian kecil penderita dileksia di kelasnya. “Di kelas berisi 30 anak, biasanya terdapat 2-3 yang sebenarnya menderita disleksia, namun banyak yang tidak terdeteksi,” ungkap guru pembimbing penelitian ini.

“Biasanya, mereka terlambat bicara saat kecil dan saat di sekolah menghadapi kesulitan belajar menulis,” tambahnya.

Vira Wardati menambahkan bahwa sejauh ini, metode deteksi disleksia berbasis EEG ini belum digunakan oleh para psikolog, yang masih mengandalkan tes manual. Inovasi ini dikembangkan oleh kedua siswa MTsN 2 Kota Surabaya dalam waktu dua bulan dengan biaya Rp5 juta.

“Alat ini merupakan detektor, bukan terapi, namun sangat penting untuk mendeteksi disleksia sejak dini agar terapi dapat dilakukan lebih tepat,” tambah Vira.

Dengan intervensi dini, anak-anak disleksia memiliki peluang lebih besar untuk berhasil melalui terapi yang sesuai, seperti terapi wicara, terapi multisensori, program membaca, hingga terapi yoga. Semua bentuk terapi ini diyakini dapat membantu meningkatkan kemampuan otak bagi anak-anak dengan gangguan seperti disleksia, ADHD, dan dispraksia.

Lainnya Dari Telegraf