Telegraf, Jakarta – Di tengah polemik yang kian memanas di tubuh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), muncul tindakan represif dan sewenang-wenang terhadap lembaga tersebut. Sejumlah anggota senator yang menolak kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) terancam oleh penahanan dana reses alias tak bisa dicairkan.
Sejumlah anggota DPD mengaku resah dengan beredarnya surat dari Pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) DPD kepada Anggota DPD yang salah satu isinya menyebutkan penahanan dana reses dan hak keuangan anggota DPD.
Surat tertanggal Selasa, 9 Mei 2017 itu sekaligus dilengkapi pernyataan yang diwajibkan untuk diisi anggota.
Senator asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi menyebut surat tersebut sudah kental nuansa politisnya karena seolah mereka dipaksa mengakui kepemimpinan yang tidak legitimed.
“Itu khan namanya kita diintimidasi dipaksa untuk mengakui pimpinan yang ilegal, karena dalam surat edaran pimpinan urusan rumah tangga itu cair adalah pengakuan kepada pimpinan yang ilegal,” kata Denty Eka Widi Pratiwi ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (12/5/2017)
“Pimpinan ini khan sedang proses diuji legitimasinya, sabar dulu sebentar supaya kita bisa memperoleh keputusan pengadilan yang mengikat supaya ada kepastian hukumnya,” sambungnya.
Lebih lanjut Denty menyarankan agar ada baiknya isi SE itu dipelajari dan di ekspose agar masyarakat luas tahu. Sekali lagi ini masalah hukum bukan DPD.
Selain sarat muatan politik, Denty juga menilai kesekjenan dalam hal ini sudah terlalu jauh masuk dalam ranah politik di DPD.
“Harusnya bisa membedakan yang disampaikan sekjen sebagai tertib administrasi, beliau sangat tidak paham. Masak uang reses atau uang negara yang akan disampaikan kepada rakyat dalam bentuk kegiatan di dapil oleh anggota yang diamanahkan dalam UU MD3, ditahan, ini namanya sekjen sudah berpolitik administrasi, dan itu sangat tidak boleh,” sambungnya.
Denty sangat menyayangkan keluarnya surat tersebut, Baru kali ini ada kejadian seperti ini selama DPD RI 13 tahun berdiri.
“Kami sebagai anggota sesuai MD3 mempunyai kewajiban politik salah satunya menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang di biayai negara.Dan tentunya setiap tahun dianggarkan dengan DIPA DPD. paparnya.
Posisi Sekjen itu hanya selaku pejabat administrasi pengguna anggaran yang seharusnya tidak boleh diintervensi siapapun termasuk pimpinan. Apalagi pimpinan yang belum diakui dan dianggap ilegal.
Biaya yang merupakan hak Anggota DPD RI tidak dapat diberikan secara berbeda dalam kegiatan yang sama, dan biaya kegiatan reses merupakan hak bagi seluruh Anggota DPD RI yang dilakukan secara bersamaan di masing-masing daerah pemilihannya.
Menurut Denty, jika ada sifat pertanggungjawaban DPD atas pelaksanaan kewajiban anggota misalnya ikut rapat, sidang, kunker dll yang tidak dipenuhi anggota, juga tidak serta merta dijugde.
Dalam pemahaman Anggota DPD RI, laporan Pertanggungjawaban reses semestinya tidak dapat dikonversi dengan kehadiran dalam rapat di Sidang Paripurna.
Ada sebuah mekanisme untuk diproses dan pembuktian misal lewat Badan Kehormatan. Tidak serta merta diputus lewat Sidang Paripurna.
Seperti diketahui, pelantikan paket trio, Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis menuai kontroversi berkepanjangan. Sejumlah anggota DPD tidak mengakui kepemimpinan OSO.
Pasalnya, sidang pelantikan OSO Cs dianggap ilegal karena didasarkan pada tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Seolah tak berkesudahan, perjalanan konflik itu tetap berlanjut. Saat DPD RI mengelar sidang paripurna ke-11 Senin, 8 Mei 2017, sejumlah anggota senator menggelar pamflet yang ditempelkan di samping foto pada dinding luar ruang kerja mereka,
Tulisan di dalam poster mewakili perasaan mereka terhadap kondisi Lembaga kamar kedua itu. Sebagian yang lain menuliskan alasan mereka tidak ikut sidang. (Tim)