Telegraf, Jakarta – Business Indonesia Singapore Association (BISA) akan setarakan kegiatan promosi kabupaten Bintan dengan Batam, Prov. Kepulauan Riau (Kepri) terutama untuk gaet turis asal Singapura. Estimasi dari pemasukan yang bisa diraup dilihat dari rata-rata spending (pengeluaran uang) selama kunjungan turis Singapura ke Bintan. “Spending setiap kali kunjungan, dua malam tiga hari (yakni) sekitar 500 US Dolar. Itu hitungan untuk weekend visit. Kalau weekdays, hanya sepertiganya,” CEO BISA Stephanus Titus Widjaja mengatakan kepada Redaksi.
Pesona alam Kepri termasuk Bintan tidak melulu keindahan pantai yang frontal dengan laut lepas. Pemerintah kabupaten Bintan dan pemerintah pusat terus meningkatkan infrastruktur kegiatan pariwisata. Turis bisa menikmati keindahan Masjid Raya Sultan Riau dengan segala keunikannya. Dinding dibuat dari perekat putih telur. Selain itu, Pulau Bintan memiliki keturunan warga Tionghoa terbanyak di Indonesia. Salah satu Wihara di Bintan merupakan terbesar di Asia Tenggara. Belasan patung Budha bersanding dengan patung Dewi Kuan Yin. Patung di dalam ruangan berbobot 40 ton dan berlapis emas 22 karat. Vihara ini juga memiliki bangunan yang megah dengan taman indah yang bisa digunakan untuk lari-larian. “Kami gelar acara Moonrun atau lari pada malam hari. Peserta bisa sambil lari menikmati pantai, taman indah di bawah sinar bulan purnama. Targetnya, lima ribu peserta, belum berikut konser music dan lomba foto panoramic & natural beauty Bintan.”
Keunikan lain sebagai daya tarik wisata Bintan yakni budaya Melayu. Riau dan kepulauannya sudah sangat dikenal dengan budaya Melayu. Sehingga logat masyarakatnya hampir sama dengan logat orang Malaysia. Sebagaimana daerah tujuan wisata dengan daya tarik budaya sangat potensial berkembang. Sehingga pemerintah kabupaten dan BISA mengombinasikan daya tarik pantai dan sejarah pemerintahan kerajaan Melayu Riau. Adat istiadat berkembang di Kepri yang kental budaya Melayunya. Berada di tengah negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia, menjadi alasan utama Pulau Bintan sebagai pulau strategis. Pergerakan perdagangan tersebut turut berpengaruh pada perkembangan budaya. “Kami tidak head to head menarik wisatawan asing. Singapura menarik turis asing, tetapi kami menarik orang Singapuranya sendiri. Respons orang Singapura sangat tinggi, Karena weekend, banyak turis Singapura ke Bintan. Tiket ferry penuh, jarak antara Bintan dan Singapura hanya satu jam. Sarana di Bintan tidak kalah dengan yang ada di Bali termasuk lapangan golf di pulau Tropis.”
Sementara itu, Komunitas Getek Indonesia menyesalkan batalnya kegiatan wisata getek di sela ajang international traditional sports & games (TSG) demonstration beberapa hari yang lalu. Getek sebagai alat transportasi tradisional bisa sebagai daya tarik wisata. “Kalau ditelusuri sejarahnya, getek sebagai alat transportasi yang turun temurun bisa menjadi objek wisata. Khususnya di Bogor, banyak peninggalan foto-foto getek. Karena sungai Ciliwung dulunya urat nadi transportasi pedagang asal Bogor di Jakarta. Pedagang menggunakan getek sampai di ujung, tepatnya di Angke (kecamatan Tambora, Jakarta Barat),” kata sumber Redaksi tanpa mau menyebutkan namanya.
TSG demonstration merupakan bagian the 6th TAFISA World Sport for All Games di Jakarta. Panitia gelar TAFISA di tiga tempat yakni Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta Timur), JIExpo (Kemayoran, Jakarta Pusat) dan Ancol (Jakarta Utara). Tetapi sumber tersebut menilai bahwa acara TAFISA sangat minim penonton. Rencana awal, panitia akan gelar parade seluruh negara peserta TAFISA di koridor Jl. Sudirman – Thamrin. Parade tersebut memanfaatkan keramaian masyarakat pada Car Free Day. “Tetapi acara tersebut juga batal. Masyarakat tidak tahu apa itu TAFISA. Pre-launching batal, demonstrasi getek juga batal. Padahal getek bisa menarik wisatawan asing untuk lihat langsung bagian sejarah transportasi zaman dulu di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Bogor – Jakarta.”
Selain itu, getek masih digunakan di sebagian besar wilayah Kalimantan. Beberapa lokasi seperti Sungai Arut, dimana mayoritas masyarakat Pangkalan Bun masih melestarikan dan memanfaatkan getek. Bahkan di Tangerang, Banten yang sudah modern, masyarakat masih menggunakan getek untuk penyebrangan sungai Cisadane. “Kali (sungai) di Jepang tidak menggunakan perahu karet, tetapi getek dengan kualitas bamboo yang bagus. Festival getek sempat digelar di Jepang. Festival tersebut menarik banyak pengunjung. Kalau di Indonesia, getek dari daerah tertentu bisa dibarengi dengan pengenalan budaya masyarakat setempat.”
Getek di Jakarta hampir tidak mungkin lagi. Kendatipun semasa pemerintahan mantan gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso pernah mau membangun water-way di kali Ciliwung. Water-way dengan rute Mangarai sampai Sudirman hampir terealisasi. Pemprov DKI sudah sempat membangun beberapa dermaga di titik-titik pengangkutan penumpang. “Tetapi perahunya sudah dipindahkan, karena proyek tersebut mandeg. Kalau getek bisa dijadikan pengganti perahu, mungkin bisa jadi icon Jakarta khususnya alat transportasi.” (S. Liu)