Telegraf, Jakarta – Dana yang berada di perbankan bukan tidak ada, justru jumlahnya banyak. Namun perbankan seolah enggan menyalurkan kredit. Semua itu tidak lain karena sikap pemerintah sendiri yang menyedot likuiditas di pasar dengan menerbitkan surat utang negara (SUN) untuk menutup defisit APBN.
Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan perbankan seolah bersaing memperebutkan likuiditas yang semakin terbatas ini dengan pemerintah yang menggunakan portofolio surat berharga negara (SBN). Karena pemerintah dengan gencar menerbitkan surat utang untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dengan imbal hasil (yield) yang ditawarkan pemerintah relatif tinggi sekitar 8-9%.
Sehingga, lanjutnya, perbankan juga harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk bisa menyerap sumber dana yang ada. Bahkan tekanan likuiditas di pasar semakin berat ketika pemerintah berencana melakukan kebijakan pembiayaan di awal (prefunding) untuk menutup kebutuhan belanja fiskal pada Januari 2017 sebesar Rp116 triliun.
Bhima menyebutkan, belanja tersebut meliputi pembayaran gaji pegawai, transfer dana alokasi umum (DAU), dan beberapa belanja yang sudah dijadwalkan untuk bulan pertama tahun depan. Dalam merealisasikan prefunding tersebut, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp63,5 triliun. Di saat yang sama, surutnya likuiditas di akhir tahun ini juga akan dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran uang tebusan tax amnesty tahap II serta kebutuhan refinancing juga pembayaran pajak oleh swasta.
“Biaya bank untuk menyerap likuiditas di pasar jadi tinggi karena bersaing dengan bunga yang ditawarkan pemerintah di SBN. Dengan demikian, upaya pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan BI sepanjang 2016 akan menjadi sia-sia ketika tidak sejalan dengan kebijakan yang ditempuh otoritas fiskal (pemerintah). Buktinya penurunan suku bunga deposito tidak sebanding dengan penurunan suku bunga kredit,” ujarnya.
Selain itu, Bhima menyatakan, di tengah tekanan yang dihadapi perbankan berupa risiko kredit yang meningkat dan pelemahan permintaan kredit akhirnya turut menyuburkan praktik pengembangbiakan dana perbankan melalui portofolio surat berharga seperti SBI dan SPN. Sepanjang Januari-Agustus 2016, terjadi lonjakan penempatan dana bank dalam surat berharga, dari Rp699,5 triliun per Januari tahun ini menjadi Rp833,8 triliun per Agustus 2016.
Bahkan, dana perbankan yang ditempatkan di surat berharga mengalami pertumbuhan 29,33% (year on year) per Agustus 2016. Kenaikan tertinggi pada penempatan di SBI yang tumbuh sebesar 72,68% pada periode tersebut. Sedangkan dana perbankan yang diparkir pada instrumen SPN tumbuh 2,56% (yoy).
Sementara itu, per 9 November 2016 diketahui perbankan memiliki SBN yang dapat diperdagangkan sebesar Rp435,13 triliun atau naik 12,99% dibanding 4 Januari 2016 (year to date). Porsi kepemilikan SBN rupiah oleh bank mencapai 24,73% dari total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.
Besarnya dana perbankan yang diendapkan pada surat berharga, kata dia, menimbulkan tanda tanya di tengah upaya mendorong fungsi intermediasi perbankan. Jika ditelaah mengenai rasio penempatan dana perbankan di surat berharga terhadap total DPK (dana pihak ketiga), maka terjadi tren kenaikan yang signifikan yakni dari 15,95% pada Januari menjadi 19,17% pada Agustus lalu.
“Ini membuktikan dana masyarakat yang telah dihimpun perbankan ternyata masih banyak yang mampet, tidak disalurkan ke sektor riil. Dana yang mengendap di surat berharga itu sangat bertolak belakang dengan penyaluran kredit,” ucapnya.
Bhima menambahkan, gejala ini menunjukkan bukti tengah berlangsungnya disintermediasi perbankan sehingga pemerintah dan otoritas moneter juga tidak boleh membiarkan begitu saja. “Sebab jika kondisi ini terus dipelihara, maka artinya pemerintah dan otoritas moneter secara sadar turut menyiapkan liang kubur industri perbankan, yang hakikatnya berfungsi sebagai organ pemompa darah likuiditas yang sangat dibutuhkan untuk aktivitas riil perekonomian,” jelasnya. (Red)
Photo credit : Reuters/ Beawiharta