Telegraf, Jakarta – Persoalan yang terjadi antara Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Green Pramuka City, Cempaka Putih, Jakarta Pusat melawan pengembang PT Duta Paramindo Sejahtera dan pengelola apartemen PT Mitra Investama Perdana seolah tidak menemui titik terang. Terakhir, PPRS apartemen tersebut didampingi Tim Kuasa Hukum DPD Partai Golkar DKI Jakarta melaporkan sedikitnya tiga dugaan pidana yang dilakukan pengembang maupun pengelola rusun tersebut ke polisi. Laporan PPPSRS terdaftar dalam Tanda Bukti Lapor Nomor: TBL/746/X/2016/BARESKRIM di Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri.
Menurut perwakilan dari penghuni, Asta, perjuangan mereka untuk mendapatkan hak sebagai penghuni Rusun sebagaimana dilindungi Undang-Undang sudah sangat lama. Mereka sudah melaporkan kasus tersebut ke DPRD, Pemda, Dinas Perumahan, bahkan anggota DPRD, tapi selalu menemui jalan buntu. Padahal protes penghuni kepada pengelola maupun pengembang apartemen ini sudah terjadi sejak 2013. Sebabnya mulai dari tuntutan penghuni terkait area hijau di lingkup apartemen, hingga pemberlakuan tarif parkir bagi penghuni sebesar Rp4.000 per jam, sekalipun penghuni sudah membayar biaya parkir bulanan.
“Alhamdulillah, sekarang sudah ada kemajuan. Kasus ini sekarang sudah dilaporkan ke Bareskrim Polri. Kami berharap hak-hak kami segera terpenuhi,” ujar Asta dalam Konperensi Pers di Kantor DPD Golkar DKI Jakarta kemarin.
Hadir dalam konperensi pers tersebut Ketua Golkar DKI Jakarta Fayakhun Andriadi, Ketua Tim Advokasi Golkar Muslim Jaya Butar-Butar, Sekretaris Tim Advokasi Golkar Basri Baco dan beberapa pengurus Golkar Jakarta dan perwakilan PPRS.
Muslim Jaya Butar-Butar yang juga Ketua Kuasa Hukum penghuni rusun mengatakan, pengelola berpotensi melakukan tindak pidana sedikitnya pada tiga hal. Pertama tidak ada Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pada menara-menara di Rusun Green Pramuka City, kedua pengelolaan rusun secara ilegal dan ketiga alih fungsi benda bersama menjadi lahan komersial.
“Laporan warga Green Pramuka City disertai bukti potensi tindak pidana oleh pengembang dan pengelola,” kata dia.
Sejumlah masalah yang selama ini dialami warga rumah susun itu di antaranya adalah Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) secara sepihak, penerapan parkir komersial, Pajak Bumi Bangunan (PBB) serta hal yang menyangkut pengelolaan rumah susun. Pihak pengembang maupun pengelola juga tak mengakui keberadaan PPPSRS Green Pramuka City. “Kami akan mendampingi kawan-kawan PPRS sebagai saksi dalam pemeriksaan polisi,” jelas Jaya.
Rencananya, selain pelaporan ke Bareskrim Polri, Tim Advokasi juga akan melakukan audiensi dengan Komisi 3 DPR RI dalam rangka meminta bantuan dan perlindungan hukum.
Sementara itu Ketua DPD Golkar DKI Fayakhun Andriadi mengatakan kasus antara penghuni dan pengelola Rusun Pramuka Green City murni kasus hukum. Warga meminta bantuan hukum kepada Tim Advokasi Golkar karena mereka menemui jalan buntu setelah meminta bantuan banyak pihak. “Kami sangat bersimpati terhadap kesewenang-wenangan yang diterima penghuni rusun Pramuka Green City. Kami memberikan bantuan hukum atas nama kemanusiaan,” katanya.
Meski Golkar adalah partai politik, kata Fayakhun, tapi pihaknya tidak melakukan tindakan politik. Golkar murni memberikan bantuan hukum sampai persoalan ini tuntas. “Tugas kami memberikan bantuan, perlindungan, dan advice hukum. Dan semua itu kami lakukan tanpa meminta bayaran sepersen pun, gratis,” demikian Fayakhun.
Sebelum Partai Golkar, PPRS sudah bertemu Fraksi PKS
Sebelumnya, pada Mei lalu, PPRS sudah bertemu dengan Fraksi PKS sudah menerima aduan dari puluhan warga yang tergabung dalam PPPSRS Green Pramuka City di Ruang Pleno Fraksi PKS DPR RI. Aduan tersebut berkaitan dengan adanya status badan pengelola Green Pramuka City yang ilegal, penundaan sertifikat hak milik satuan rumah susun, hingga pengintimidasian terhadap warga hingga ke penjara.
Salah seorang pemilik Green Pramuka City Benyamin Purba menilai persoalan di GPC bukan sekadar kewajiban membayar biaya parkir per jam untuk para penghuni atau pemilik (komersialisasi). Melainkan, juga ada tindakan kesewenangan pengelola kepada para penghuni atau pemilik.
“Saya baru pindah pada tahun 2015, saya merasa kesulitan, di rumah sendiri tidak mendapatkan parkir. Ternyata, lebih banyak problem di balik itu. Kalau orang beli rumah, bonusnya bisa rumah atau mobil. Tapi, kami yang di GPC, bonusnya bisa penjara. Ternyata ada 4 warga kami yang dipenjara karena kami melakukan aksi damai yang di-setting menjadi ricuh,” jelas Benyamin ketika itu.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Komisi V Yudi Widiana menilai persoalan utama terletak pada persoalan perizinan yang dilakukan oleh pengembang. Jadi, penindakan secara tegas harus dilakukan kepada pengembang Green Pramuka City. Sehingga, masyarakat mendapatkan kembali hak-hak yang seharusnya.
“Saya menduga ini ada problem perizinan yang belum selesai. Maka kami akan telusuri lebih dalam, termasuk juga kami akan berkoordinasi dengan Fraksi PKS DPRD DKI, untuk segera menyelesaikan dengan eksekutif, yaitu Pemprov DKI,” tegas Yudi.
Senada, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil berkomitmen akan terus berkomunikasi dengan pihak Polres Jakarta Pusat. “Mudah-mudahan, saya akan mencoba bicara dengan pimpinannya tentang hal ini. Semoga ada tanggapan positif dari kapolri,” jelas Legislator asal Daerah Pemilihan Aceh ini.
Entah bagaimana perkembangannya, hingga saat ini persoalan antara penghuni dan pengelola Green Pramuka City tak kujung usai. (red)
Foto : Aksi demo warga Green Pramuka City. | Ist Photo