Mengenal Dewan Sengketa Konstruksi: Upaya Nonlitigasi dalam Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Oleh : Idris Daulat
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Telegraf – Perkembangan sektor jasa konstruksi di Indonesia terus meningkat pesat. Seiring dengan itu, angka sengketa di bidang jasa konstruksi juga terus bertambah.

Berdasarkan data Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), perkara di sektor konstruksi yang ditangani BANI mencapai 27% sepanjang tahun 2014-2019.

Sengketa di sektor konstruksi dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain kurangnya pemahaman terhadap isi kontrak dan kendala lain yang terjadi di lapangan, sampai keadaan kahar seperti bencana alam atau bencana non alam seperti pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir.

Penyelesaian sengketa konstruksi pada prinsipnya diamanatkan untuk dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, namun dalam hal tidak tercapai mufakat, dapat dipilih cara penyelesaian sengketa lainnya, salah satunya adalah melalui Dewan Sengketa Konstruksi.

Keberadaan konsep dewan sengketa sudah cukup populer dan diakui di dunia internasional.

Sebagaimana dijelaskan oleh Cyril Chern dalam Chern on Dispute Boards, bahwa pada awalnya konsep dewan sengketa atau yang disebut dispute review boards pertama kali dikenalkan di Amerika Serikat dan telah digunakan selama lebih dari 30 tahun dengan tujuan untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa di bidang konstruksi dan sipil, terutama pekerjaan bendungan, pengairan, dan kontrak untuk pekerjaan bawah tanah.

Pada perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 1972, The National Committee on Tunneling Technology mempelajari pendekatan baru dalam upaya penyelesaian sengketa di Amerika Serikat.

Hal ini selanjutnya mengarah pada publikasi yang diterbitkan pada tahun 1974 berjudul “Better Contracting for Underground Construction” dengan menyorot pokok permasalahan seputar klaim, sengketa, dan upaya penyelesaiannya.

Sebagai hasilnya, pada tahun 1975, konsep dewan sengketa digunakan dalam pembangunan Terowongan Eisenhower di Colorado.

Dalam tulisannya, Sarwono Hardjomuljadi menceritakan perjalanan penting dewan sengketa di mana pada tahun 1992, The International Federation of Consulting Engineers (FIDIC) sebagai institusi konsultan konstruksi terkemuka di dunia, menerbitkan lampiran terkait dewan sengketa pada edisi keempat dari seri Conditions of Contract mereka.

Dukungan juga mengalir pada tahun 1995 dari Bank Dunia yang mewajibkan penggunaan dewan sengketa dalam semua proyek pendanaan Bank Dunia dengan nilai di atas 50 juta Dolar Amerika.

Saat ini, konsep dewan sengketa telah digunakan di banyak pekerjaan konstruksi di seluruh dunia.

Keberadaan Dewan Sengketa Konstruksi di Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang Jasa Konstruksi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konstruksi menggantikan mediasi dan konsiliasi.

Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu mengedepankan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi.

Dewan sengketa disebut mampu memberikan banyak manfaat seperti menghemat waktu dan biaya serta mencapai tujuan utamanya yaitu menjaga hubungan baik pihak pengguna jasa dan penyedia jasa.

Apa dan bagaimana sebenarnya cara kerja Dewan Sengketa Konstruksi tersebut?

Upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa konstruksi Dewan Sengketa Konstruksi dapat berupa perorangan maupun kelompok, maksimal terdiri dari 3 orang, dan dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak sejak awal pelaksanaan kontrak.

Bahkan keinginan untuk menggunakan Dewan Sengketa Konstruksi juga lazimnya dicantumkan sebelum pelaksanaan pemilihan penyedia (tender) pekerjaan konstruksi.

Dengan disebutkannya kesepakatan para pihak di awal kontrak, maka Dewan Sengketa Konstruksi utamanya bertugas untuk mencegah terjadinya perselisihan para pihak yang mungkin muncul di kemudian hari.

Dalam hal terjadi perselisihan, maka Dewan Sengketa Konstruksi membantu menyelesaikan perselisihan para pihak melalui pemberian pertimbangan profesional mereka sampai dengan mengeluarkan rumusan kesimpulan formal dalam bentuk putusan dewan sengketa.

Biaya ditanggung oleh kedua belah pihak. Pembiayaan Dewan Sengketa Konstruksi dibebankan pada kedua belah pihak yang berkontrak, yaitu sebesar masing-masing 50%.

Selain itu, terkait persyaratan, jumlah, dan biaya untuk anggota Dewan Sengketa Konstruksi ini ditentukan oleh kedua belah pihak sebelum melakukan penandatanganan kontrak.

Sebagai simulasi, terdapat perhitungan biaya penyelenggaraan Dewan Sengketa Konstruksi berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Petunjuk Teknis Dewan Sengketa Konstruksi.

Di mana untuk pekerjaan konstruksi dengan nilai 330 miliar rupiah yang berlangsung selama 3 (tiga) tahun dan terdiri dari 3 (tiga) orang anggota Dewan Sengketa Konstruksi.

Total biaya yang dihabiskan mencapai 2 miliar rupiah atau tidak sampai 1% dari nilai kontrak pekerjaan.

Artinya, dalam pekerjaan konstruksi skala besar, penggunaan Dewan Sengketa Konstruksi cukup menguntungkan para pihak dibandingkan biaya yang akan dikeluarkan apabila menyelesaikan sengketa yang timbul melalui litigasi atau arbitrase.

Namun demikian, perhitungan tersebut masih merupakan hitungan kasar dan dapat berubah sesuai dengan jumlah anggota Dewan Sengketa Konstruksi serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan misalnya biaya kunjungan lapangan dan rapat dengar pendapat.

Oleh karena itu, nampaknya perlu ditetapkan batasan minimal biaya pekerjaan konstruksi yang dapat menggunakan Dewan Sengketa Konstruksi, utamanya berkaitan dengan kesanggupan para pihak dalam membayar biaya dewan sengketa dewan konstruksi.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam penggunaan Dewan Sengketa Konstruksi adalah terkait sifat final dan mengikatnya putusan Dewan Sengketa Konstruksi ini yang tidak ditemukan aturan lebih lanjut tentang eksekusinya.

Tentu saja, apabila dibandingkan dengan arbitrase di Indonesia yang sifatnya sama-sama final dan mengikat, telah diatur pelaksanaan eksekusinya dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Lebih lanjut, dalam hal terjadi keberatan atas sebagian putusan formal Dewan Sengketa atau terhadap keseluruhan isi dari putusan formal Dewan Sengketa, dijelaskan bahwa pihak pengguna jasa dan/atau penyedia dapat menempuh upaya hukum lebih lanjut sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Hal demikian justru mendatangkan ketidakpastian akan kredibilitas Dewan Sengketa Konstruksi serta bertentangan dengan prinsip digunakannya Dewan Sengketa sebagai upaya penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan murah.

Pada akhirnya, kemungkinan untuk kembali mengulang tahapan penyelesaian sengketa selain Dewan Sengketa masih sangat dimungkinkan bagi pihak yang belum puas atas hasil putusan formal Dewan Sengketa Konstruksi.

Penggunaan Dewan Sengketa Konstruksi pada beberapa sisi tentunya mendatangkan manfaat dan banyak keuntungan apabila melihat dari mitigasi risiko yang dilakukan oleh Dewan Sengketa Konstruksi dalam pencegahan terjadinya sengketa dan penyelesaian sengketa.

Pemilihan anggota Dewan Sengketa Konstruksi yang terdiri dari para ahli di bidangnya seharusnya dapat menghasilkan kebijakan dan putusan yang baik dan berkualitas serta mencapai “win-win solution”.

Namun demikian, tetap ada beberapa hal yang harus diatur lebih lanjut terkait keberadaan Dewan Sengketa Konstruksi ini agar kedepannya penggunaannya dapat memberi manfaat sebesar-besarnya dan tentunya memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.


Oleh: Siti Zulaika Wulandari, S.H. – Jafung Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Ahli Pertama Kementerian PUPR

Lainnya Dari Telegraf