Telegraf – Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, bahwa sampai saat ini peran perempuan di ranah politik masih sangat sedikit. Menurutnya dari target jumlah kuota 30% di legislatif, perempuan tidak pernah mencapai target kuota tersebut, hanya mengisi sekitar 21% saja.
“Dikasih kuota 30% enggak pernah melampaui hanya 21%. Ini ada yang salah, partai politik gimana ini,” katanya pada acara diskusi Refleksi Akhir Tahun Perempuan Hebat bertema “Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kebangsaan”, yang digelar oleh Seknas PMP, di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (22/12/2021).
Menyikapi hal tersebut Siti pun mendorong partai politik (parpol) untuk mempertimbangkan dan mengakomodasi peran serta perempaun agar bisa semaksimal mungkin bisa terakomodir dalam dunia politik, ia pun meminta pada PDI Perjuangan agar proaktif mencari kader perempuan.
“Jadi jangan perempuan yang hebat itu melamar tapi dilamar. Jadi mungkin dari organisasi perempuan, dari kampus sehingga Indonesia ini mempunyai keberpihakan. Partai-partai politik di Indonesia itu punya keberpihakan untuk merekrut perempuan dengan cara menjemput,”ungkapnya.
Ia juga menegaskan, bahwa perempuan mempunyai kecerdasan setara dengan laki-laki, punyai empati yang sangat tinggi, detail dan ikhlas. Sehingga kehadirannya bisa mengawal tidak hanya sebagai pemilih ketika kebijakan dibuat oleh pemerintah baik tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/kota.
“Ini yang kita perlukan, apakah kebijakan itu berpihak pada perempuan atau tidak. Itu alasan kaum perempuan harus terjun ke politik juga. Baik itu menjadi caleg (calon legislatif) yang ada di eksekutif maupun di yudikatif,” imbuhnya.
Menurutnya, tantangan perempuan ketika mereka berkiprah di rana politik maupun publik antara lain adalah stigma terhadap perempuan. Dalam hal ini, ada asumsi-asumsi yang keliru terhadap perempuan.
“Perempuan secara subjektif dilihat sebagai pekerja domestik. Enggak nyaman banget,” bebernya.
Siti menegaskan bahwa perempuan harus berperan ganda domestik dan publik. Pasalnya, domestik tidak dapat hidup tanpa partisipasi perempuan. Sayangnya, sampai saat ini belum terwujud karena dianggap tidak mampu sebagai pembuat keputusan.
“Perempuan masih dibatasi oleh tradisi adat dan budaya sehingga tidak dapat membebaskan diri dari beban domestik sehingga berdampak pada produktif peran perempuan di ranah publik,” pungkasnya.
Photo Credit: Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro saat mengisi acara diskusi Refleksi Akhir Tahun Perempuan Hebat bertema "Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Kebangsaan. TELEGRAF