Jelang Pilpres 2019 Poros Ketiga Semakin Kuat Realisasinya

Oleh : KBI Media

Telegraf, Jakarta – Merujuk pada koalisi Jokowi yang kian menggemuk, muncul wacana menolak calon tunggal di Pilpres 2019. Maklum, calon tunggal disebut-sebut tidak ada bedanya dengan Uni Soviet atau China atau Korea Utara. Karena itu perlu ada poros ketiga, yang merupakan alternatif dari koalisi Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Di sini Partai Demokrat mulai menggalang koalisi poros ketiga bersama dua partai pendukung pemerintah, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) pada Kamis (08/03/18).

Lobi antar ketiga partai ini bertujuan untuk menyiapkan pemilihan presiden semakin kencang menjelang pembukaan pendaftaran calon pada awal Agustus mendatang. Terlebih Mahkamah Konstitusi menguatkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Saat ini lima dari tujuh partai pendukung pemerintah telah mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi. Hanya PKB dan PAN belum menentukan sikap. Di luar kubu pemerintah, Partai Gerindra merencanakan pencalonan kembali ketua umum mereka, Prabowo Subianto. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mendukung rencana tersebut.

Mencari penantang Jokowi, tentu tidak ada yang tidak mungkin. Pasalnya, potenti capres alternatif di Pilpres 2019 sangat besar. Sejauh ini banyak tokoh nasional yang mulai bermunculan menampilkan diri sekaligus menunjukkan keinginan menjadi capres. Calon-calon pemimpin baru yang dua-tiga bulan lalu tidak terlihat sekarang itu mulai muncul di berbagai survei-survei Pilpres 2019. Di sinilah capres alternatif itu ada.

Namun untuk memperoleh tiket parpol sifatnya elitis dan tertutup. Sekarang tinggal keputusan pimpinan-pimpinan partai, apakah mereka membuka jalan kepada calon-calon pemimpin baru yang bermunculan atau punya hitungan pragmatis.

Belakangan ini beberapa tokoh nasional sudah mendeklarasikan maju dalam bursa capres. Misalnya, Rizal Ramli yang beberapa waktu lalu mengumumkan keinginannya maju ke bursa capres 2019. Lalu ada Muhaimin Iskandar yang tadinya berbicara soal cawapres, sekarang sudah bicara soal capres.

Zulkifli Hasan juga mulai terlihat gelagatnya. Kemudian ada Anis Matta yang sekarang balihonya di mana-mana. Tidak hanya itu, ada juga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang namanya selalu dielu-elukan sebagai penantang kuat Jokowi dan Prabowo. Selain itu, ada nama Anies Baswedan.

Terakhir, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). AHY bahkan sekarang sangat intens menemui sejumlah tokoh penting. Setelah bertemu Jokowi di Istana Negara, AHY melanjutkan safarinya menemui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

Semua calon-calon yang bermunculan ini sebenarnya dalam proses kompetisi alamiah. Ada dua logika kompetisi yang berbeda. Pertama, lebih kepada pemilih, kedua kepada elit yang tertutup dan tidak terbuka.

Susah-susah Gampang Poros Ketiga

Keberadaan poros ketiga dimungkinkan untuk memberi pilihan alternatif bagi masyarakat di Pilpres 2019. Poros ini terbuka untuk partai-partai lain, selain Demokrat, PKB, dan PAN. Pesan pentingnya, makin banyak pilihan partai maka makin bagus.

Wacana untuk membentuk poros baru dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019 di luar poros yang sudah ada, diharapkan bisa untuk memberikan alternatif calon presiden cadangan untuk dapat bersaing melawan pasangan Joko Widodo dan pasangan Prabowo Subianto jika mereka resmi maju kembali sebagai capres pada Pilpres 2019 mendatang.

Dalam pertemuan ketiga partai tersebut, belum ada pembahasan sosok calon presiden. Tetapi lebih mengintensifkan komunikasi antar tiga partai. Namun demikian, arah membentuk poros ketiga sudah ada. Pembicaraan sangat terbuka dilakukan untuk menggodok kemungkinan terbentuknya poros ketiga ini.

Seperti diketahui, poros pertama yang dipimpin PDIP mencalonkan kembali Jokowi. Di sini ada Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP. Sedang poros kedua dipimpin Gerindra dan PKS dengan kemungkinan terbesarnya mengusung Prabowo. Kedua poros ini sudah memenuhi ambang batas bawah kursi parlemen dan suara.

PDI bersama partai pendukungnya memiliki 51,66 persen kursi di DPR. Gerindra memiliki 73 kursi dan PKS 40 kursi di parlemen. Dengan total 113 kursi maka Prabowo telah mengantongi 20,17 persen kursi di DPR.

Sementara tiga partai lainnya belum menentukan pilihan, yakni Demokrat, PAN, dan PKB. Jumlah kursi mereka di DPR jika digabungkan mencapai 27,94 persen. Ini artinya, mereka bisa mencalonkan capres sendiri dengan membuat poros baru atau poros ketiga. Ketua Majelis Kehormatan PAN Amien Rais dengan pedenya menyebut sebentar lagi ada deklarasi dari poros ketiga. Dari pertemuan ketiga partai tersebut, Amien belum menjelaskan secara pasti seperti apa keputusannya. Namun dia memastikan akan mematahkan kemungkinan adanya calon tunggal di Pilpres 2019.

“Saya kira tidak mungkin saya memberikan komentar karena persoalannya, persoalan kepemimpinan kolektif, saya biarkanlah kepemimpinan PAN dengan PKB, nanti akan ada hasil pertemuannya. Dan saya berusaha di sini di belakang layar bahwa sudah ada pertemuan-pertemuan itu, jadi dalam waktu dekat Insyaallah sudah ada deklarasi,” ujar Amien setelah menghadiri acara Silaturahmi Menuju Pilpres 2019, di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (08/03/18).

Tidak dirinci deklarasi apa yang dimaksud, apakah akan muncul sosok capres di poros ketiga. Sebab, menurutnya sejumlah nama saat ini sudah dalam bursa capres alternatif. PAN sendiri tidak ingin buru-buru menentukan calon yang diusulkan.

Pasangan calon harus lebih baik dan bisa menarik masyarakat. Amien menyebut nama yang masuk bursa capres penantang Jokowi, seperti Ketum PAN Zulkifli Hasan hingga Gatot Nurmantyo. Poros baru ini sebenarnya merujuk pada hasil Rapat Kerja Nasional PAN yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat pada Agustus 2017 lalu. Ketika itu, rekomendasi Rakernas mengusulkan Zulkifli menjadi capres di Pilpres 2019. Meski demikian, PAN tak mungkin mengusung Zulkifli sendirian dalam Pilpres 2019.

Karenanya, saat ini PAN tengah intensif melakukan komunikasi dengan partai politik lainnya yang belum menentukan arah dukungan politik, seperti Demokrat dan PKB. Soni mengatakan, PAN masih melakukan lobi agar Zulkifli bisa diusung menjadi capres, bahkan oleh partai lain yang sudah menyiapkan nama kandidat Pilpres 2019.

Sementara PKB kemungkinan besar juga akan membentuk poros baru bersama Demokrat dan PAN. Hal ini didasarkan pada keputusan, jika ketua umum mereka, Muhaimin Iskandar, tak dipinang Jokowi. Selama ini baliho Muhaimin sudah banyak beredar sebagai cawapres dengan harapan agar dipilih oleh Jokowi. Namun kondisi politik sangat dinamis, sehingga sangat mungkin nantinya pelabuhan PKB akan berubah.

Wakil Sekretaris Jenderal PKB, Daniel Johan, menegaskan pihaknya sekarang ini sedang keliling ke kiai-kiai Nahdlatul Ulama meminta pertimbangan. Menurut dia, hingga saat ini sikap para kiai cenderung tetap mengusung petahana. Tapi gagasan pembentukan poros ketiga di Pilpres 2019, didukung kader di tingkat bawah. PKB hingga kini masih terus menjajaki poros ketiga sembari melobi kubu Jokowi atau Prabowo. Sebab hingga kini, Cak Imin belum mendapatkan lampu hijau sebagai cawapres kedua tokoh tersebut.

Untuk Demokrat, penjajakan poros baru bersama PAN dan PKB sudah dirancang sejak lama. Bahkan, hal itu bisa terlihat dari Pilgub DKI. Sementara dalam Pemilu 2014, Demokrat berhasil mengumpulkan suara sebesar 10,19%.

Karena itu peluang poros baru ini akan bergantung pada peta politik jelang Pilpres 2019. Demokrat terus melakukan perhitungan untuk menjalin dengan partai apa koalisi akan dibentuk. Bagaimana Demokrat memilih kawan, dan bagaimana menemukan konsepsi perjuangan politik dengan visi dan tujuan yang sama. Dari Demokrat sendiri tentu berniat memajukan AHY dalam Pilpres 2019. Sebab AHY merupakan figur negarawan yang visioner dan memiliki kecakapan dalam kepemimpinan serta wawasan. Namun semua itu tergantung dari kesepakatan antar parpol.

Wacana Partai Demokrat membentuk poros ketiga pada pilpres 2019 mungkin bisa terjadi. Syaratnya, Demokrat, PAN, dan PKB berkomitmen mewujudkan rencana itu. Dikatakan pengamat pemilihan umum (pemilu), Girindra Sandino, pembentukan poros baru ini wajar terjadi meski ia mengakui akan sulit terwujud.

“Politik itu dinamis. Ini sebuah alternatif, pemusnah kejenuhan politik. PKB dan PAN sudah menuju ke arah situ. Saya kira sudah betul arah politik PKB dan PAN membangun poros ketiga alternatif politik untuk rakyat,” kata Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia ini di Jakarta, Jumat (09/03/18).

Parpol-parpol yang ingin membangun poros ketiga, kata Sandino, pasti sudah membaca peta politik dan dinamika perilaku pemilih Indonesia. Pemilih selalu merasa euforia terhadap hal-hal baru yang mengedepankan harapan baru. Akan tetapi, sebelum terbentuk, banyak isu penting yang harus dijawab kelompok poros ketiga. Pertama, siapa yang bakal menjadi capres/cawapres poros ini? Dari tokoh-tokoh yang diusung ketiga partai ini, belum memiliki tingkat keterpilihan tinggi sebagai capres. Apalagi AHY dan Cak Imin belum memenuhi kriteria sebagai capres bila ditarungkan dengan Jokowi atau Prabowo. Mereka masih selevel cawapres saja.

Persoalan kedua, elektabilitas tokoh-tokoh yang diusung poros ketiga ini masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo. Sehingga, bila ingin mengalahkan Jokowi dan Prabowo, poros ketiga harus mengusung kandidat dari luar partai. Seperti mantan panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo yang memiliki elektabilitas melebihi para jagoan parpol.

Sebelumnya pada survei yang dilakukan pada 1-9 Februari 2018, elektabilitas Jokowi dan Prabowo Subianto mengalami penurunan. Di sisi lain, elektabilitas tokoh alternatif mengalami peningkatan.

Responden yang memilih Jokowi jika pemilihan presiden digelar saat ini sebesar 35,0 persen. Angka ini turun dibandingkan survei pada Oktober 2017, di mana Jokowi dipilih 36,2 responden. Sementara, responden yang memilih Prabowo sebesar 21,2 persen.

Angka ini juga turun dibandingkan survei Oktober 2017 di mana elektabilitas Prabowo 36,2 persen. Sementara itu, calon presiden alternatif yang menjadi penantang kedua tokoh mengalami peningkatan elektabilitas.

Mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo memperoleh 7,3 persen suara, naik dibandingkan Oktober lalu yang hanya 2,8 persen. Sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga elektabilitasnya naik tipis dari 4,4 persen ke 4,5 persen.

Dalam proyeksi konfigurasi politik, memang harus dicermati dan diantisipasi oleh kubu-kubu yang mengklaim kubunya paling kuat dalam Pilpres 2019. Pembentukan koalisi politik tandingan bukan sekadar ‘politik kosong’ melainkan sebuah pilihan strategis yang harus benar-benar dipertimbangkan.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai poros ketiga akan menjadi rumit karena masing-masing ketua umum dari partai tersebut memiliki kepentingan yang berbeda.

Menurut Qodari, katakanlah jika Demokrat menjadi pemimpin koalisi karena memiliki jumlah kursi paling banyak maka penentuan wakilnya akan menjadi rumit. “Misalnya, mau mengajukan calon presiden Agus Harimurti Yudhoyono. Kemudian, siapa wakilnya? Apa Zulkifli Hasan atau Muhaimin Iskandar? Kalau Zulkifli jadi wapres, mau tidak Muhaimin gabung, atau sebaliknya? Itu rumitnya,” sebut Qodari.

Yang terjadi justru partai-partai tersebut akan merapat ke kandidat partai yang memiliki elektabilitas tinggi. Pilihannya kubu Jokowi atau Prabowo. Saat ini partai Islam telah merapat ke kedua kandidat tersebut. Sebut saja PPP yang merapat ke Jokowi dan PKS yang kemungkinan tetap bergabung dengan Gerindra. Tentunya tinggal PKB dan PAN. Kalau bergabung keduanya tidak cukup memenuhi syarat 20 persen kursi.

Wacana memunculkan capres cadangan juga diharapkan timbul dari koalisi parpol Islam. Sudah ada keinginan dari banyak kalangan kepada partai-partai Islam agar membentuk poros baru untuk dapat mengusung capres sendiri. Walau dirasakan tidak mudah terwujud, bahkan beberapa nama pun sudah dimunculkan untuk tampil sebagai capres poros ini seperti Gatot Nurmantyo, Tuan Guru Zainul Majdi, Anies Baswedan, sampai Mahfud MD.

Partai Bulan Bintang (PBB) menilai jika peluang untuk munculnya poros islam di pemilihan presiden 2019 nanti akan sulit untuk terwujud. Hal tersebut dikarenakan masih besarnya ego di antara partai Islam yang masih sangat tinggi.

Dincontohkan pada Pemilu 2014, semua kekuatan politik Islam selain PKB bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dengan mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun KMP justru kalah dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memang menang tipis.

“Sebagai sebuah upaya untuk membentuk kekuatan politik menghadapi pilpres isu poros Islam selalu muncul. Namun, hal tersebut tidak pernah terwujud,” kata Sukmo Harsono, Ketua Bidang Pemanang Pemilu PBB di Jakarta, Sabtu (10/03/18). (Red)


Photo Credit : Jelang Pilpres 2019 wacana untuk membentuk poros baru sangat dimungkinkan, hal tersebut adalah upaya untuk membuat politik menjadi dinamis dan sekalian untuk menolak calon tunggal pada Pilpres. | File/Dok/Ist. Photo

Lainnya Dari Telegraf