Telegraf, Jakarta – Festival jazz terbesar di Indonesia yang rutin diadakan setiap tahun, Java Jazz, kembali digelar pada 3 sampai 5 Maret yang lalu. Tahun ini adalah kali ketigabelas festival ini digelar. Daftar penampil yang kebanyakan tetap diisi oleh musisi dari berbagai genre sepertinya akan menjadi ciri khas yang kontradiktif dari festival yang mengusung genre “jazz” pada namanya tersebut. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, special show yang biasanya hadir pun ditiadakan, jadi semua kalangan dapat menikmati segala gelaran dari semua artis yang tampil.
Walau demikian, antusiasme penonton yang berasal dari segala penjuru Indonesia (dan mungkin dunia) tidak kunjung surut, malah kian ramai dari hari pertama hingga ketiga, demi melihat musisi favoritnya tampil secara langsung. Berbagai musisi — mulai dari yang veteran hingga para musisi lintas genre pendatang baru tahun ini berkesempatan untuk tampil dalam satu dari total 14 panggung empat di antaranya berlokasi di luar ruangan yang disediakan untuk memaksimalkan sajian musik dari salah satu festival jazz terbesar di dunia ini. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kolaborasi dadakan maupun yang sudah direncanakan antar para musisi lokal dengan internasional masih menjadi sesuatu yang tetap dinanti setiap tahunnya. Selain kolaborasi, Java Jazz tahun ini juga diisi oleh berbagai penghormatan untuk mengenang para musisi besar lokal dan internasional yang telah tiada, seperti Whitney Houston, Riza Arshad hingga Al Jarreau.
Hari Pertama – Jumat, 3 Maret 2017
Hujan yang turun di utara Jakarta pada sore hari tidak menyurutkan semangat para penonton demi menikmati hari pertama Java Jazz. Untuk musisi internasional, nama-nama seperti Mezzoforte dan Harvey Mason berkolaborasi dengan Tony Monaco, Kirk Whallum dan Perry Hughes pun siap mengentak Jakarta. Berbagai musisi lokal seperti Tulus, Danilla, Rendy Pandugo, hingga Tompi juga turut meramaikan hari pertama Java Jazz ini.
Tulus yang sore itu mengenakan sarung dan bertelanjang kaki pun berduet dengan penyanyi legendaris Sundari Soekotjo, salah satunya dalam lagu “Teman Hidup”. Berbagai hit miliknya juga dimainkan, seperti “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, “Ruang Sendiri”, hingga “Sewindu”. Lalu di panggung Demajors, ada Danilla, seperti biasa, penampilannya selalu tanpa cela dan terasa intim, diselingi dengan celetukan jenakanya yang terkadang mengundang tawa penonton. Selain membawakan lagu-lagu macam “Wahai Kau” dan “Terpaut oleh Waktu” dari album debutnya, Telisik, ia juga membawakan salah satu lagu dari albumnya mendatang yang berjudul “Entah Ingin Kemana”.
Rendy Pandugo, salah satu musisi pendatang baru yang disebut-sebut sebagai “John Mayer versi Indonesia” juga menjadi salah satu daya tarik dari daftar penampil hari ini dengan lagu debutnya, “I Don’t Care”. Enrico Octaviano, adik dari drummer Barasuara, Marco Steffiano, turut membantu mengisi posisi drummer. Penampilannya cukup rapi meskipun penonton yang hadir di panggung Gazebo stage tersebut cukup pasif dalam menanggapi interaksi dengan sang penyanyi.
Sekitar pukul delapan malam, Tompi menghibur para penggemarnya di The Quincy Jones stage (A2) dan menjadi musisi lokal dengan penonton paling banyak hari itu. Seluruh bangku yang ada penuh terisi, dan yang tidak mendapat tempat duduk tetap berdiri di samping juga belakang area penonton. Dalam penampilannya hari itu, Tompi membawakan lagu-lagu hitnya seperti “Sedari Dulu”, “Menghujam Jantungku”, dan “Selalu Denganmu”. Ia juga memberikan kejutan saat tiba-tiba gitaris Incognito, Jean-Paul “Bluey” Maunick, naik ke panggung dan berduet dengannya dalam lagu “Bawa Daku”.

Grup musik asal Islandia yang mengusung genre jazz/funk fusion, Mezzoforte, sudah beberapa kali bermain di Java Jazz ini juga menjadi penampilan yang tetap ditunggu. Sederetan nomor jazz mereka seperti “Garden Party”, “Surprise, Surprise”, dan “Blast from the Past” pun sukses mereka bawakan dengan apik, mengundang tepuk tangan riuh penonton yang hadir di BNI Stage saat itu.
Penampilan lainnya yang ditunggu-tunggu adalah kolaborasi drummer legendaris Harvey Mason dengan berbagai musisi jazz veteran legendaris seperti Tony Monaco (organ), Kirk Whallum (saksofon), serta Perry Hughes (gitaris). Dee Dee Bridgewater juga awalnya akan menjadi penampilan spesial dalam pertunjukan Harvey Mason pada malam itu, namun karena mengalami cedera, penampilannya tersebut pun dibatalkan. Mereka membuka pertunjukan malam itu dengan lembut namun mantap dan bersemangat dengan lagu “I’ll Drink to That” yang dilanjutkan dengan “Bluesette” dan “OGD”. Setelah itu, Kirk Whallum yang juga pernah mengiringi Whitney Houston untuk lagu “I Will Always Love You” ini mempersembahkan tiupan saksofonnya untuk lagu tersebut untuk ibu Whitney Houston serta saudari, keluarga, serta penggemarnya yang ada di Indonesia. Alunan lembut lagu “I Will Always Love You” pun mengalun pelan serta sendu dari saksofonnya, menimbulkan perasaan merinding bagi semua yang hadir di situ. Suasana pun kembali bersemangat saat mereka memainkan “When Johnny Comes Marching Home”.
Masih tentang Whitney Houston, empat penyanyi wanita berkarakter kuat: Lea Simanjuntak, Kamasean, Dira Sugandi ditambah Rinni Wulandari dari duo Soundwave berkolaborasi mempersembahkan Tribute to Whitney Houston di BNI Stage. Lagu-lagu sang legenda seperti “Queen of The Night”, “How Will I Know”, “Greatest Love of All”, “All the Man that I Need” hingga “I Will Always Love You” pun bergantian mereka bawakan dengan bertenaga dan penuh perasaan, sehingga sukses menjadi penutup hari pertama yang manis dan tidak terlupakan.
Hari Kedua – Sabtu, 4 Maret 2017
Deretan artis yang akan bermain pun semakin padat dan menarik. Nama-nama seperti Afgan, Teddy Adhitya, Fariz RM Trio, simakDialog, Gugun Blues Shelter hingga Arturo Sandoval pun menjadi magnet yang menarik para penonton di hari kedua ini.

SimakDialog yang menjadi salah satu penampilan pembuka di hari kedua. Meskipun suasana sore itu masih belum terlalu padat, band yang tampil dengan formasi baru tersebut tampil begitu memukau dan magis, tidak lupa dengan melakukan penghormatan pada mendiang Riza Arshad, salah satu pendiri band yang berpulang pada pertengahan Januari silam. Awal berdiri pada 1993 dengan Riza Arshad sebagai pianis dan Tohpati Ario sebagai gitaris, simakDialog membuka penampilan dengan sebuah medley dari komposisi berjudul “Gong” yang terdiri dari empat bagian, semua ditulis oleh mendiang Riza Arshad sebelum ia tutup usia. Istri beliau yang juga hadir pada sore itu terlihat tidak bisa menahan haru. Sang gitaris Tohpati Ario pun tampil di penghujung penampilan mereka sekaligus menutup pertunjukan tersebut.
Musisi lokal pendatang baru yang beraliran soul, Teddy Adhitya, sukses menghipnotis penonton dengan mantap dan emosional di lagu “Gone” dan “All of ‘Em”, keduanya diambil dari album terbarunya, Nothing is Real, yang baru dirilis akhir Februari silam. Bergeser ke Transvision Stage, ada penampilan menarik Fariz RM Trio yang berkolaborasi dengan Iwan Wiradz (perkusi) dan Eugen Bounty (saksofon). Musisi jazz ini membawakan berbagai nomor emasnya seperti “Barcelona”, “Nada Kasih”, dan “Sakura”.
Masih di panggung yang sama, Gugun Blues Shelter (GBS) yang tampil sekitar pukul 18:30 WIB tampil lincah dan bersemangat dengan lagu-lagu mereka macam “Kandas” dan “Set My Soul on Fire”, di mana Bowie, sang drummer, sampai berdiri di atas bangkunya sambil tetap menggebuk drum. Mereka juga membawakan “Hitam Membiru”, sebuah lagu dari album terbaru mereka. Tiba-tiba, GBS juga memberi kejutan berupa penghormatan kepada Jimi Hendrix dengan memainkan medley “Crosstown Traffic” dan “Spanish Castle Magic”.

Menjelang malam, ada Tribute to Al Jarreau oleh Manna Trio berkolaborasi dengan Jacky Bahasuan di Tebs Stage. Saksofonis yang mengiringi Al Jarreau semasa hidupnya, Michael Paulo, juga hadir malam itu mengenakan batik dan topi blangkon. Antusiasme penonton terlihat dari penuhnya semua tempat duduk yang ada, dan mereka yang berdiri di pinggir juga berdansa pada lagu-lagu legendarisnya seperti “Cold Duck”, “Mornin'”, dan “Roof Garden”. Penampilan menarik lainnya adalah dari Arturo Sandoval, legenda terompet dan flugelhorn dunia yang juga merupakan seorang komposer. Dalam salah satu lagunya, “Be Bop”, ia berhasil menunjukkan keahliannya menirukan berbagai bunyi alat musik dengan mulutnya sendiri.

Afgan mungkin menjadi salah satu penampilan yang paling ditunggu. Ia berkolaborasi dengan saksofonis Kirk Whallum dalam “Versace on the Floor” milik Bruno Mars dan “Jalan Terus”. Tiupan saksofon Whallum terdengar harmonis dengan vokal Afgan yang terkenal sangat prima. Interaksinya yang hangat dengan penonton membuat hampir seluruh penonton tidak meninggalkan tempat duduknya selama sejam lebih. Padatnya penonton yang memenuhi BNI Stage kala itu membuat penampilan Afgan terkesan seperti sebuah konser mini. Lagu hit lain seperti “Knock Me Out” dan “Panah Asmara” juga berhasil ia bawakan tanpa cela. Ia juga menyelipkan single terbarunya yang ditulis oleh Rian d’Masiv, berjudul “Ku Dengannya Kau dan Dia/Bawalah”.
Hari Ketiga – Minggu, 5 Maret 2017
Keesokan harinya, jumlah penonton yang memadati JIExpo Kemayoran pun semakin banyak. Di hari terakhir ini, sejumlah musisi dan band yang penampilannya asyik untuk dinanti adalah Barasuara berkolaborasi dengan Ron King Horn Section, Monita Tahalea, Endah N’ Rhesa berkolaborasi dengan DUADRUM, Armand Maulana, Dewa Budjana Zentuary, Iwan Fals berkolaborasi dengan Maurice Brown dan Kirk Whallum, hingga nama-nama besar seperti Ne-Yo, Stanley Jordan, Sergio Mendes hingga Chick Corea Elektric Band.
Petang itu, seperti biasa Barasuara menampilkan banyak lagu dari album debut pertama mereka. Bagi para Penunggang Badai, hal ini bisa menjadi sangat membosankan, namun mengingat Iga Massardi dan kawan-kawan yang selalu beraksi dengan total dan enerjik pada setiap penampilan mereka membuat segalanya tetap terasa menyenangkan. Ditambah lagi sang bassist, Gerald Situmorang, yang tak bisa diam meloncat kesana kemari. Membuka konser dengan “Nyala Suara”, mereka melanjutkan dengan “Samara” di mana mereka mulai diiringi oleh Ron King Horn Section hingga lagu “Taifun”, “Menunggang Badai” dan lagu baru berjudul “Masa Mesias Mesias” di mana Iga yang biasanya bermain gitar bertukar instrumen dengan GeSit menjadi pemain bass. Penampilan Endah N’ Rhesa dengan DuaDrum juga menjadi salah satu kolaborasi yang unik dan patut diperhitungkan. Duo drummer yang diperkuat Yandi Andaputra dan Yoiqball tersebut terlihat sangat nyaman di atas panggung, suara kedua drum mereka berpacu dengan vokal Endah yang bertempo cepat, menghasilkan sebuah kolaborasi yang apik dan dinamis. Lagu-lagu macam “Wish You Were Here”, “When You Love Someone” dan “Bergerak” (single milik DuaDrum dari album yang berjudul sama) membuat penonton malas untuk beranjak dari tempat hingga mereka menutup penampilannya dengan lagu “Liburan Indie”.
Di panggung lain, Monita Tahalea kembali menghibur para penggemarnya, turut berkolaborasi dengan TJ dan GeSit dari Barasuara. Hall C2 yang tidak terlalu besar tersebut terlihat penuh oleh penonton, bahkan banyak dari mereka yang duduk di lantai. Beberapa lagu miliknya seperti “Bisu” dan “Saat Teduh” ia nyanyikan dengan hangat dan akrab sambil sesekali berinteraksi dengan penonton.

Menjelang pukul 19:00 WIB, Ne-Yo akhirnya hadir di BNI Stage. Riuhnya keadaan saat itu mungkin bisa disamakan saat Afgan kemarin manggung, bahkan lebih penuh. Ribuan penonton saling berebut tempat demi melihat musisi R&B asal Amerika tersebut menyanyi secara langsung. Tampil selama satu jam penuh, Ne-Yo membawakan berbagai lagu hitnya dengan enerjik, seperti “Because of You” dan “Champagne Life”. Ia juga menirukan gaya raja pop dunia, Michael Jackson, dengan ber-moonwalk saat lagu “Because of You” dinyanyikan. Ratusan cahaya ponsel dan teriakan histeris penonton pun terlihat menghiasi panggung saat lagu hitnya, “So Sick”, dinyanyikan di panggung.
Sergio Mendes, musisi legendaris asal Brasil yang terkenal dengan hit “Mas Que Nada” tersebut mungkin menjadi salah satu penampil paling favorit di hari terakhir ini. Membuka pertunjukannya dengan lagu “Magalenha”, penyanyi berusia lanjut tersebut masih mampu mengajak seluruh penontonnya bergoyang asyik meskipun tidak memahami arti dari lirik lagunya yang kebanyakan berbahasa Latin tersebut. Diikuti dengan lagu “Ela é carioca” dan “Agua de Beber”, sang penyanyi lalu menyapa penontonnya dalam bahasa Indonesia. “Selamat malam. Saya senang berada di sini. Apakah kalian siap?” Tidak hanya itu, ia juga mengutarakan ungkapan asal Indonesia yang sempat tenar di kancah dunia beberapa waktu lalu, “Om Telolet Om”. Ulahnya tersebut seketika mengundang tawa riuh penonton.
Akhirnya, tiba saatnya untuk menikmati suguhan jazz fusion dari Chick Corea Electric Band. Dimanjakan dengan sederetan musisi jazz veteran legendaris seperti Eric Marienthal (saksofon), Dave Weckl (drum), Frank Gambale (gitar), Nathan East (bass), dengan Chick Corea sendiri di piano dan keyboards, bersama-sama mereka pun berhasil menampilkan sebuah suguhan utuh satu setengah jam lebih. Teriakan riuh menggema ketika mereka meminta pihak Java Jazz untuk tetap menyalakan lampu yang menerangi penonton saat pertunjukan dimulai. “Keep the lights on, we wanna see you”, ujar Corea. “Charged Particles” pun mereka gunakan untuk membuka penampilan mereka, diikuti dengan “Trance Dance”, “Beneath the Mask” dan “Silver Temple”. Gebukan drum bertenaga Weckl, lincahnya jemari Corea, petikan rumit dari permainan bass East dan gitar Gambale serta tiupan saksofon berliku Marienthal, saat dipadukan bersama, sukses menghasilkan sebuah kolaborasi yang tidak terlupakan. Tak heran, ribuan penonton, baik yang duduk, berdiri, maupun lesehan di lantai — semuanya melakukan standing applause ketika Chick Corea dan kawan-kawan mengakhiri kolaborasi emas mereka.

Sebagai penutup manis keseluruhan hari terakhir Java Jazz ini, musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals, tampil di BNI Stage sekitar pukul 11 malam, berkolaborasi dengan Kirk Whallum di saksofon dan Maurice Brown pada terompet. Ia menjadi musisi Indonesia kedua di Java Jazz 2017 yang berkolaborasi dengan Whallum, setelah kemarin Afgan berhasil menciptakan sebuah perpaduan manis dengan saksofon Whallum. Tampil dengan topi, kaus putih serta syal yang melilit lehernya, Iwan berucap, “Saya merasa bangga di sini. Musik mempersatukan biru, merah, kuning, dan hitam, macam-macam bahasa.” Nuansa merah pun menyelimuti panggung yang langsung hening ketika lagu “Yang Terlupakan” dimainkan. Penonton pun sesekali ikut menyanyikan lirik dari lagu-lagu legendaris milik Iwan berikutnya, seperti “Ijinkan Aku Menyayangimu” dan “Asik Ngga Asik”.

Saat lagu “Bongkar” dimainkan, Iwan berusaha untuk membakar semangat semua yang hadir di situ. “Kita harus mengubah cara pandang kita. Revolusi harus terjadi, perang ini perang abadi. Musuh kita adalah diri kita sendiri. Selamat berjuang kawan. Bongkar!,” teriaknya di tengah-tengah lagu. Aksinya belum berhenti sampai di situ. Suasana kembali riuh ketika ia memanggil Maurice Brown dan Kirk Whallum ke atas panggung untuk berkolaborasi dengannya dalam lagu “Hio” dan “Kuda Lumping” yang sekaligus mengakhiri penampilannya tersebut.
Daftar penampil yang semakin terasa familiar dan tidak terdiri atas jazz saja tahun ini semakin menyiratkan bahwa festival ini bukanlah hanya milik para pecinta jazz, namun juga para penikmat blues, soul, serta banyak lainnya. Jazz pun tidak lagi dilihat sebagai genre ‘orang tua’, karena jumlah anak muda yang datang ke festival ini juga terbilang sebanding dengan jumlah orangtua yang ada. Meminjam ungkapan Iwan Fals, musik memang sudah seharusnya mempersatukan kita semua yang datang dari berbagai macam latar belakang dan preferensi dalam bermusik, sehingga sajian musik menarik dari musisi segala usia yang berturut-turut ditampilkan selama tiga hari penuh ini sudah seharusnya diperuntukkan bagi penikmat musik dari segala usia pula, demikian review JJF 13 seperti yang dilansir oleh Rolling Stone. (Red)