Telegraf, Batam – Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Batam, Prov. Kepulauan Riau (Kepri) mendesak pemerintah pusat untuk mengetahui kedudukan permasalahan pembangunan di Batam, kalau perlu dengan pemahaman ‘hadits’ Nabi yakni ‘tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China/Tiongkok.’ Tapi hadits lain yang mengena untuk solusi permasalahan pembangunan di Batam yakni ‘Jangan ada dua harimau di satu bukit.’ Dalam hal ini, ada tumpang tindih kepemimpinan kelembagaan pengembangan pulau Batam. “Banyak pemimpin di dunia memahami filosofi Tiongkok (China) tersebut. Tetapi yang terjadi di Batam, terus saja ada lebih dari dua lembaga yang menguasai Batam. Sehingga pengurusan perizinan investasi seperti main bola ping-pong. BP (Badan Pengusahaan) Batam, Pemko Batam, Pemerintah Pusat saling claim kewenangan (perizinan),” Wakil Ketua ISEI Batam, Beni Bevly mengatakan kepada Redaksi.
Pemko sendiri membentuk Tim 9 (sembilan) untuk meninjau langsung kegiatan pembangunan termasuk perizinan. Tetapi ISEI dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam belum melihat hasil kerja Tim 9 tersebut. Beberapa kegiatan seperti forum group discussion, audit dan lain sebagainya sudah dilakukan. “Tetapi kami belum dengar hasilnya. Siapa yang berkuasa terkait pengurusan perizinan. Semuanya tumpang tindih,” kata Beni yang juga pengurus Kadin Batam.
Ada investor yang sedang mengerjakan kegiatan cut and fill pada lahan miliknya. Kalau perizinan tidak terbit, lahan tersebut juga menjadi percuma. Tumpang tindih buhan hanya antara BP dan Pemko Batam, tetapi juga pemerintah pusat. Misalkan lahan tersebut dinyatakan ‘clear’. Tetapi kementerian kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri (Permenhut) yang menegaskan bahwa lahan tersebut adalah hutan lindung. “Pada BP sendiri ada tiga department yang punya pendapat berbeda mengenai Permenhut dan Peraturan Presiden (Perpres).”
Kini kepemimpinan baru di Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) telah memasuki bulan ke-enam dan kepemimpinan baru Pererintahan Kota Batam (Pemkot Batam) memasuki bulan ke-tujuh. “Kami ibaratnya merenungi filosofi Tiongkok tersebut, sampai kapan bisa mengena pada para pejabatnya. Kami juga berharap tindakan langsung Presiden Jokowi (Joko Widodo). Jangan penyelesaian masalah Batam grey area. Filosofi ‘ harimau ini menempati satu bukit’ untuk bersama-sama melakukan perubahan untuk kebaikan kota Batam.”
Kepala dan Pengurus BP Batam ditunjuk dari pemerintahan pusat melalui Menteri Koordinator Perekonomian, dan Walikota dan wakilnya dipulih langsung oleh rakyat Batam. Kedua badan pemerintahan ini memimpin Batam yang merupakan daerah Free Trade Zone (FTZ).
Sebelum kepemiminan baru BP Batam dilantik bulan April lalu, gejala carut-marut yang sebelumnya memang sudah cukup semeraut di pulau yang paling berdekatan dengan Singapura dan Malaysia ini telah bersileweran melalui pernyataan para aparat pemerintah di Jakarta. Mulai dari pergantian kepemimpinan BP Batam, perubahan status FTZ, sampai akan ditiadakannya Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). “Inilah yang kami maksud ‘dua harimau di satu bukit.’ Hal ini terbalikan dengan pepatah kuno dari Tiongkok yang mengatakan, “Jangan ada dua harimau di satu bukit.”
Gejala carut-marut karena respons dari pengusaha, pemerintah existing (BP Batam dan Pemkot), kalangan akademis, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat secara umum menunjukkan harapan, kebingungan dan keresahan dalam waktu yang bersamaan.
Perubahan yang membawa kemajuan ekonomi Batam tidak tertutup kemungkinan bisa menyalib Singapura. Sikap progresif para pengusaha di Batam jangan sampai menjadi kontraproduktif di mata orang Singapura dan Malaysia. “Kadang mereka memandang rendah kita. Perubahan yang akan mensejajarkan kota Batam dengan kota-kota lain di negara-negara maju di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan di dunia internasional.”
Setelah melalui berbagai proses, termasuk usaha pihak swasta yang ingin membantu peralihan kepemimpinan di BP Batam dan memberi masukan tentang jenis status daerah khusus apa yang cocok untuk Batam, pergantian BP Batam tetap bergulir tanpa mengakomodasi masukan-masukan tersebut. Sekelompok orang yang boleh dikatakan telah pensiun didudukan di BP Batam dan pengurus lama diberhentikan.
Proses dan pergantian kepemimpinan ini agaknya tanpa melalui waktu transisi, tanpa melibatkan para ahli atau tokoh lokal yang seharusnya bisa memberikan masukan positif untuk kepengurusan BP Batam yang baru.
Ketidak-pastian hukum semakin tidak pasti dan dualisme kepemimpinan di Batam semakin tajam. Dualisme kepemimpinan antara BP dan Pemkot Batam masih tidak terselesaikan. Pengusaha harus mengurus perizinan kepada kedua instansi ini. Begitu juga investor asing, mereka bingung dengan sistem yang diterapkan. “Selain investor harus menjumpai BP Batam, Pemkot juga tidak mau dilangkahi begitu saja.” (S.Liu)