Riset MSC: 74 Persen Pelaku Social Commerce Indonesia Masih Andalkan Modal Pribadi

Oleh : Atti K.

Telegraf– Riset terbaru MicroSave Consulting (MSC) Southeast Asia menyoroti potret nyata social commerce di Indonesia yang kini menjadi penopang ekonomi jutaan pelaku usaha mikro. Laporan berjudul The Landscape and Financial Access of Social Commerce Sellers in Indonesia mengungkap mayoritas penjual, terutama perempuan, masih menghadapi keterbatasan akses pembiayaan, literasi digital, dan perlindungan usaha.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan di tujuh provinsi dengan memanfaatkan data Sakernas, sekitar 74 persen pelaku social commerce masih menggunakan dana pribadi untuk modal usaha. Hanya segelintir yang berhasil memperoleh kredit dari lembaga keuangan formal. Fakta ini menunjukkan bahwa meski perdagangan sosial berkembang pesat melalui platform WhatsApp, Facebook, dan TikTok, sistem pendukung formal belum banyak menyentuh pelaku usaha mikro.

Penelitian MSC juga menemukan bahwa perempuan lebih aktif berjualan melalui media sosial dibandingkan laki-laki. Namun, sebagian besar dari mereka lebih memilih jalur nonformal seperti arisan ketimbang pinjaman bank. Hal ini dipengaruhi faktor kepercayaan serta keterbatasan pengetahuan akan layanan keuangan digital.

“Saya tidak terbiasa dengan perbankan, lebih percaya dengan orang-orang yang saya kenal di komunitas. Karena itu saya ikut arisan untuk modal usaha,” kata Ratna, pengusaha kerajinan asal Jawa Barat. Temuan ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperluas literasi keuangan yang sesuai dengan karakteristik pelaku usaha perempuan.

Keterbatasan juga terlihat dari aspek digital. Kurangnya integrasi fitur katalog, pembayaran, dan logistik di media sosial membuat transaksi masih dilakukan secara manual, sehingga rawan risiko dan sulit tercatat. “Saya baru tahu fitur katalog di WhatsApp Business setelah diwawancara. Kalau ada pelatihan, saya ingin ikut supaya bisa lebih efektif berjualan,” ujar Jumiyah, pelaku usaha kuliner di Balikpapan.

Baca Juga :   Bank Jakarta Dukung Abang None Jakarta 2025, Dorong Generasi Muda Melek Finansial

Direktur MSC Southeast Asia, Grace Retnowati, menekankan pentingnya membangun ekosistem digital yang inklusif. “Social commerce bukan hanya soal transaksi online, tetapi menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk mengembangkan usaha sambil tetap menjalankan peran di keluarga. Sudah saatnya mereka mendapat dukungan dengan sistem yang sederhana, aman, dan mendorong partisipasi formal,” jelasnya.

Sejalan dengan itu, Deputi Usaha Mikro Kementerian UMKM, Riza Adha Damanik, menegaskan perlunya kebijakan yang tepat sasaran. “Kehadiran social commerce harus mampu melindungi UMKM, memperluas akses pasar, dan tetap dalam pengawasan agar tantangan seperti banjir produk impor dapat diantisipasi,” katanya.

Sebagai tindak lanjut, MSC bersama Kementerian UMKM menggelar webinar bertema “Akses Pembiayaan bagi Penjual Informal Perempuan dalam Social Commerce” pada 25 September 2025. Acara ini mempertemukan regulator, praktisi, pelaku UMKM, dan media untuk membahas langkah konkret memperkuat akses pembiayaan dan literasi digital.

Pemerintah sendiri telah menerbitkan Permendag No. 31 Tahun 2023 sebagai payung hukum perlindungan UMKM lokal agar tidak terpinggirkan oleh dominasi algoritma platform besar. Namun, riset MSC menegaskan masih dibutuhkan strategi lanjutan untuk meningkatkan kapasitas pelaku social commerce agar lebih mandiri dan kompetitif.

Dengan dukungan kebijakan berpihak, investasi berperspektif gender, serta kolaborasi lintas sektor, social commerce diproyeksikan menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi digital di Indonesia. Akses setara terhadap pembiayaan, pelatihan, dan perlindungan digital akan menjadi kunci agar pelaku usaha mikro tidak sekadar bertahan, tetapi mampu tumbuh dan berinovasi.

 

Lainnya Dari Telegraf