Rilisan 20 Album Metal Internasional Terbaik 2016

Oleh : KBI Media

Telegraf, Jakarta – Metal menyediakan soundtrack kegelisahan nan sempurna untuk sebuah tahun penuh agitasi. Apakah frustrasi adalah kritikan pedas Meshuggah atas ketidakmampuan Eropa memperlakukan para pengungsi secara manusiawi dan visi distopia Megadeth dari “Post-American World”; atau sesuatu yang lebih eksistensial, seperti James Hetfield berteriak “We”re so fucked” dan Neurosis menyatakan “the end is endless.” Takut dan kemarahan diekspresikan dalam kejang tak terduga dari Dillinger Escape Plan, ancaman jazzy ala Virus dan gempuran gempa bumi Crowbar. Berikut adalah album metal internasiona terbaik di tahun ini.

20. Black Sabbath, ‘The End’ EP


Segala sesuatu tentang The End adalah sebuah anomali. Ini adalah album mini yang hanya tersedia dalam format CD; berisikan empat lagu terdampar yang belum pernah dirilis sebelumnya dari sesi termasyhur kembalinya  Black Sabbath pada 2013 di album 13, serta ditambah beberapa rekaman live. Ini hanya tersedia bagi para penonton yang hadir di tur perpisahan mereka. Yang paling mengejutkan, ternyata album ini sangat baik: Setiap lagu di sini seharusnya dirilis bertahun-tahun lalu. Nomor pembuka “Season of the Dead” berisi satu rif paling doom dari Tony Iommi untuk beberapa dekade lamanya dan bagian tengah lagunya mengingatkan dengan groove-groove fantastis dari beberapa album Sabbath era akhir’70-an yang bercampur dengan rif-rif lokomotif mereka di era ‘80-an bersama Dio.  Nomor suram berjudul “Cry All Night” mengandung gitar solo blues yang brilian; “Take Me Home” menyandingkan bebunyian gitar Flamenco dengan rif-rif distorsi yang parau; dan “Isolated Man” bagai mendekati era psikedelia Beatles namun melalui saringan kegelapan khas band ini. Ini layaknya Black Sabbath tengah mengucapkan salam perpisahan sembari memutar pisau – dari semua suara lagu-lagu di album ini, mereka seharusnya rekaman lebih banyak lagi. K.G.

19. 40 Watt Sun, ‘Wider Than the Sky’


Pada rilisan kedua 40 Watt Sun, trio Inggris, yang dipimpin oleh mantan vokalis Warning sekaligus gitaris Patrick Walker ini sepakat rehat dari cap doom-metal yang dibebankan ke band setelah pada 2011 merilis album debut The Inside Room. Enam lagu yang sering kali sangat panjang di album ini tone-nya tergolong bersih, tidak terlalu padat dan lebih luas dibanding apa pun di The Inside Room, sehingga hasilnya terdengar bagai lebih sakit dan melankolis – belum lagi indah – dibanding doomy. Metal hanya tinggal nama saja di sini, condong beratnya ke sentimen dibanding sound. Hasilnya sangat menakjubkan pada nomor-nomor seperti “Another Room ” yang terasa seperti adanya jurang ruang kosong di antara masing-masing aksen instrumental. Dengan menampilkan elegi gitar solo 16 menit lebih pada nomor pembuka “Stages” dan Anda akan memiliki sesuatu yang menyerupai versi post-metal dari lagu “Cortez Killer” dari Neil Young. R.B.

18. Virus, ‘Memento Collider’


Ada saat-saat di Memento Collider, album penuh keempat dari grup avant-garde Norwegia, Virus, di mana kedengarannya seolah-olah tiga anggota band ini memainkan tiga lagu yang berbeda. Kredit patut diberikan kepada trio ini karena musik mereka tidak pernah meledak di luar proporsinya. Sebagai gantinya penuh ingar-bingar, drum jazzy, bass line yang melesat dan kejanggalan bunyi gitar yang menjadi seluruh tenaga pendorong musik mereka. Pencapaian musik di album ini bervariasi – menindas apokaliptik ala Voivod, menusuk khas Talking Heads, motorik drum yang mendorong bagai Neu! – hingga semua itu di atasnya masih dihiasi gaya lirik setengah diucapkan yang impresionistik dari gembong band, Carl-Michael Eide, yang kadang terdengar bagai ocehan-ocehan puisi-penjara. R.B.

17. Crowbar, ‘The Serpent Only Lies’


Dua puluh enam tahun eksis, dan sound Crowbar kini terdengar bagai dibunuh oleh gorila dibanding sebelumnya. Pada album penuh ke-11 mereka, kuartet sludge-metal asal NOLA ini sepakat kembali untuk membentuk nada-nada beatdown pesimistis yang akan mengingatkan kita dengan kegemilangan album klasik mereka rilisan 1998, Odd Fellows Rest. Rif master Kirk Windstein menjerit, mengerang, hingga menggeram penuh semangat, sementara bagian gitarnya yang eksplosif diperbarui bobotnya berkat kembalinya sang bassis pendiri Todd “Sexy T” Strange. Band-band metal tertentu, bagai sebuah panci besi, hanya berkembang semakin baik seiring bertambahnya usia dan kerja keras. C.K.

16. Gorguts, ‘Pleiades’ Dust’

15. Darkthrone, ‘Arctic Thunder

14. Frontierer, ‘Orange Mathematics’


Dirilis sebagai sensasi Bandcamp pada akhir 2015, kemudian dirilis ulang dalam format CD jumlah terbatas ditambah bonus lagu, combo mathcore pan-continental Frontierer membuktikan bahwa masih banyak lahan perawan lainnya untuk dijelajahi di luar wilayah kekuasaan musik Dillinger Escape Plan dan Meshuggah. Selain percikan kembang api mathcore, Frontierer melapisi album debut mereka, Orange Mathematics, dengan tingkat penyimpangan distorsi yang lebih dekat dengan kebisingan dan daya listrik. Gitaris Pedram Valiani memiliki pendekatan yang unik terhadap instrumen musiknya, sehingga mampu terdengar merengek, berdengung dan berderu seperti alat-alat listrik yang digantung di udara dan kemudian berbunyi kencang di dalam kepala kita. Siapa yang tahu kemana mereka akan pergi setelah bergolak selama perjalanan 52 menit ini, apakah menjadi lebih jelek, lebih berat, atau menuju metal yang lebih ekstrem: Frontierer merekrut drummer dan pada tahun depan akan segera tampil live untuk konser kedua mereka setelah selama ini. C.W.

13. Abbath, ‘Abbath’


Setelah berpisah dengan band black metal mirip pegulat Immortal dan kehilangan hak atas nama band, putera kegelapan asal utara, Abbath, akhirnya mengikuti jejak Ozzy dan Diamond Dave dengan membuat album solo guna membuktikan bahwa frontman tidak hanya ada untuk terlihat cantik. Debut solo Abbath ini menawarkan kombinasi musik gergaji khas Immortal dengan sisi thrash Abbath, untuk menggantikan api neraka Norwegia dengan pisau cukur bermata berat yang menarik para penggemar baru dan di saat bersamaan ikut menyenangkan orang-orang klasik yang masih mencintai rif-rif old-school. Meskipun album ini memanjakan para pendengar dengan banyak blastbeat pada lagu-lagu seperti “Fenrir Hunts” dan “Eternal,” namun lagu-lagu dinamis seperti “Winter Bane” dan “Ocean of Wounds” niscaya bisa membuat Abbath tersimak kurang ekstrem. C.K.

12. Nails, ‘You Will Never Be One of Us’


Di album ketiga mereka, trio asal California, Nails, hanya fokus mengekspresikan satu-satunya perasaan mereka – amarah – dan melakukannya secara murni dan intens termasuk ke dalam sound. Hasilnya adalah 10 guncangan singkat death metal-hardcore rusak, yang rata-rata datang di bawah dua menit panjangnya, dan masing-masing memiliki potensi pukulan KO yang sama. Apa yang membuat album ini lebih dari sekadar latihan serangan fisik yang membabi buta, bagaimanapun juga adalah hook: Vokalis, gitaris dan pencipta lagu Todd Jones telah lama terbukti memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat sesuatu yang catchy, dan pada You Will Never Be One of Us dia mampu mengalahkan dirinya sendiri. “Violence is Forever” adalah tipikal lagu berkecepatan tinggi untuk meraung-bersama, dan penutup yang relatif epik “They Come Crawling Back” adalah sebuah groove, atmosfer yang menargetkan refleks headbang pada setiap lagu metal di tahun ini. B.G.

11. Khemmis, ‘Hunted’


Album kedua oleh grup doom asal Denver, Khemmis, menunjukkan bahwa masih ada tingkat kedalaman yang harus diselami guna mencapai surge stoner doom. Daripada memuntahkan ciri tipikal Black Sabbath tentang perang dan penyihir, kuartet pemberani ini justru menciptakan ambisi yang menampilkan pemutarbalikkan harmoni gitar dan gempuran drum yang lebih mengandalkan amarah dibanding bebunyian fuzz guna menyalurkan loyalitas mereka kepada generasi heavy metal old school. Lagu-lagu seperti “Candlelight”, “Three Gates” dan “Hunted” tergolong tebal, dikemas dengan cukup sihir dan ancaman agar menjaga rekaman ini tidak ketinggalan zaman. C.K.

10. Whores. ‘Gold’


“Good times, bad vibes” demikian jargon dari band Whores. asal Atlanta guna menjelaskan tentang diri mereka, dan album penuh debut mereka mencitrakan hal itu, dengan penuh keemasan. Dua album mini telah dihasilkan oleh trio keji, Amphetamine Reptilian noise-rock, nan angkuh, sinis, jenaka dan senang mencela diri sendiri ini. “Where’s the money? Where’s the fame? I was told by now they’d know my name,” demikian keluh-kesah vokalis-gitaris Kristen Lembach, ketegasan penuh amarah pada nomor pembuka “Playing Poor,” sementara pada judul lagu “I See You Are Also Wearing a Black T-Shirt” ia dengan lembut menyindir para abal-abal. Tapi untuk Whores. lelucon tersebut akhirnya tertuju bagi mereka sendiri – mereka tahu itu dan menikmati menabur garam ke luka mereka sendiri. “You can call it a trophy/I call it only the hole I poured my life into,” koar Lembach pada lagu “Participation Trophy.” Kami berharap mereka memiliki sikap kurang ajar yang sama ketika dimasukkan dalam daftar ini. B.G.

9. Cult of Luna dan Julie Christmas, ‘Mariner’


Ketika band post-metal Swedia, Cult of Luna, memulai proses menciptakan album kolaborasi mereka dengan penyanyi asal Brooklyn, Julie Christmas, mereka terinspirasi oleh konsep “perjalanan menuju wilayah yang tidak diketahui.” Setiap rekaman dari lima lagu dinamis di album ini membawa nuansa baru pada format musik keduanya, atmosfer ambient metal Cult of Luna maupun gaya vokal luwes Christmas – mulai dari jeritan ala Björk, bisikan yang menjurus jeritan mengerikan, seperti yang pernah ditampilkan sebelumnya di dua band Christmas, Made Out of Babies dan Battle of Mice. Berbeda dengan pendekatan band kerabat mereka, Neurosis, di album kolaborasi bersama mantan vokalis Swans yang menyerahkan urusan vokal sepenuhnya kepada Jarboe, vokalis Cult of Luna terus berteriak di album Mariner. Mereka menyelaraskan karakter vokalisnya dengan gaya senandung dan tangisan Christmas dalam cara yang membuat ia bagaikan anggota sepenuhnya dari band, dan bukan sekadar vokalis tamu semata. Ketika interaksi ketat diantara keduanya telah mencapai klimaks di nomor penutup “Cygnus,” sulit untuk menyangkal bahwa perjalanan menuju wilayah yang tidak diketahui ini telah berhasil mendaratkan mereka di sebuah lokasi yang sakral. B.G.

8. Gojira, ‘Magma’


Kuartet prog-metal Prancis tenar, Gojira, tiba-tiba berubah arah di album keenam mereka, mengenyampingkan teknik bermusik yang kompleks demi pendekatan yang lebih ramping dan ringkas. Mereka kini menebar banyak groove dengan gaya yang bagai perpaduan antara Pantera bertemu Pink Floyd di lagu-lagu seperti “The Shooting Star,” “Silvera,” dan “Magma,” secara jelas akan mengasingkan para penggemar lama mereka. Namun pukulan musik keras yang mendalam seperti ini diluar dugaan ternyata mampu menjadi kendaraan yang mengejutkan bagi karakter vokal katarsis dan lirik-lirik emosional Joe Duplantier (kabarnya ia terinspirasi dari peristiwa sakit dan wafatnya sang ibunda). Sementara atmosfer epik pada lagu “Lands Low” dan nuansa instrumental akustik pada “Liberation” sukses menutup album ini dengan persetujuan akan sebuah kebenaran hakiki melebihi segala sesuatu yang bersifat duniawi. D.E.

7. Deftones, ‘Gore’


Dengan vokalis Chino Moreno dan bassis Sergio Vega (sebelumnya dari Quicksand) memimpin kendali penciptaan lagu, Gore pun akhirnya bergerak ke arah lebih gelap dan nyeni pada spektrum musik Deftones. Namun gitaris utama Stef Carpenter masih menemukan ruang untuk melepaskan beberapa agresi serius seperti pada nomor “Doomed User,” dan gitaris Alice In Chains Jerry Cantrell sempat mampir untuk mengisi di lagu “Phantom Bride.” Sebuah hasil rekaman moody yang sering berubah tanpa peringatan sebelumnya, dari groove metal keras menuju eksplorasi arena rock hingga menjelajahi angkasa shoegaze, Gore adalah satu lagi karya indah dari sebuah band yang nyaris tiada memiliki cacat pada diskografi mereka. D.E

6. Megadeth, ‘Dystopia’


Setelah gembong Megadeth, Dave Mustaine, menyaksikan setengah dari bandnya tiba-tiba mundur pada 2013 menyusul tur album berhaluan lebih komersial, Super Collider, ia menjawabnya dengan merekrut  drummer Lamb of God, Chris Adler dan mantan gitaris Angra, Kiko Loureiro untuk merekam beberapa nomor thrash serius dan ganas. Nomor-nomor ketat seperti “The Threat Is Real dan “Death From Within” menyerang dengan efisien (dan memiliki solo gitar yang nikmat serta memukau dari Loureiro), sedangkan “Fatal Illusion” akan mengingatkan kita pada gaya-gaya rif jumpalitan Megadeth di era Killing Is My Business… And Business is Good. Dominasi solo gitar di ujung lagu “Dystopia” sekilas akan mengingatkan kita dengan lagu klasik “Hangar 18” di album Rust in Peace. Sebuah penemuan kembali yang tak terduga dan mengagumkan. R.B.

5. Neurosis, ‘Fires Within Fires’


Selama dua dekade terakhir, Neurosis telah berupaya memperbaiki dan bereksperimen dengan gaya khas rif dan groove seperti di album cemerlang rilisan ’90-an mereka, Through Silver in Blood, terkadang dengan menyisipkan tekstur musik folk maupun sample orkestra yang menakutkan. Rilisan terakhir mereka, Fires Within Fires, tidak jauh berbeda: Keduanya berbisik dan meratap dengan mengawang-awang berkata, “The end is endless.” Tapi apa yang membuatnya menonjol adalah presentasi paling singkat sejak rilisan Neurosis pada 1999, Times of Grace. Sebuah lima nomor bencana alam suara selama 40 menit – nanodetik dalam waktu bagian Neurosis – yang keseluruhannya membangun nuansa grinding nan lambat saat mendekati akhir lagu “Reach.” Band ini memang selalu bercita-cita untuk membuat karya seni yang indah, bukan metal – inilah nuansa yang hilang pada semua band peniru yang mencoba menjiplak sound mereka dalam beberapa tahun terakhir – dan dengan Fires Within Fires, Neurosis berhasil menciptakan sebuah karya yang layak disejajarkan dengan para maestro lawas. K.G.

4. The Dillinger Escape Plan, ‘Dissociation’


Setelah hampir dua dekade menebar kekacauan mathcore, Dillinger Escape Plan akhirnya memutuskan untuk membubarkan diri – meskipun sebelum berpisah mereka meninggalkan kita dengan sebuah tembakan mematikan. Segalak apapun yang band ini telah lakukan di masa lalu, Dissociation adalah sebuah jalan tol memutar yang menampilkan keteraturan hardcore, kesalahan elektronika, kesemrawutan jazz-metal dan kepalan hard rock dengan hook-hook asik yang kerap menyembul pada saat pembantaian terjadi. Dan kemudian ada lagu “Dissociation” yang bersifat sajak sedih menggambarkan inti keseluruhan album (dan karier rekaman DEP hingga kini) dengan enam menit denyut ketukan elektronika, orkestra pemakaman dan vokalis Greg Puciato menyenandungkan lirik “Finding a way to die alone”  seperti mantra. Sebuah aksi pamit yang lebih anggun dibanding bunyi banting pintu yang mengejutkan. D.E.

3. Sumac, ‘What One Becomes’


Tastemaker independen Aaron Turner dengan santainya menjelajahi jalur musik noise dan menjadi lebih ambient sejak pembubaran band post-metal terkenal miliknya, Isis. Namun album kedua Sumac, kolaborasinya dengan drummer pembangkit tenaga hardcore Nick Yacyshyn telah mengantarkan rentetan art-metal selama lebih dari setengah dekade. Ada beberapa kemiripan dengan karya sebelumnya, yang dapat ditelusuri dari jejak-jejak vokal serak menggeram Turner yang kerap diulang-ulang. Namun What One Becomes sesungguhnya sangat eksperimental dan eksploratif, penuh dengan semburan distorsi sludge, pukulan cepat mathcore, nuansa gurun khas Morricone versi metal, denyut getaran ala Swans dan ruang terbuka untuk berimprovisasi. Ruang lingkup mereka tampaknya tak terbatas, dan bahkan meluas ke era album mini keren, Before You Appear, yang menampilkan aksi elektronik menggila James Ginzburg dari Emptyset, veteran noise Kevin Drumm dan masih banyak lagi. C.W.

2. Meshuggah, ‘The Violent Sleep of Reason’


Kesempurnaan bionik telah menjadi sifat kedua Meshuggah, tetapi untuk membuat lompatan kuantum terbaru, band metal veteran asal Swedia ini perlu merangkul sisi manusiawi mereka. Demi album The Violent Sleep of Reason, band ini merekam secara live di studio untuk pertama kalinya selama lebih dari 20 tahun. Mereka semakin dekat dari sebelumnya guna mengontrol kerja keras drummer Tomas Haake dalam mengendalikan lorong labirin rif ultra-cepat band ini. Sementara itu, lagu-lagu terkenal bergaya Bizantium dari band ini tak pernah terdengar begitu gila seperti sebelumnya: Nomor ritmis “Born in Dissonance” sekilas akan mengingatkan kita dengan lagu “Bleed,” sementara lagu berliku tanpa henti “By the Ton” telah membuat kuintet ini sukses menjelajahi perbatasan baru dari keseluruhan komposisi. Seluruh subgenre metal, djent, sekarang dibangun di atas kerja keras bebunyian yang dibangun sebelumnya oleh Meshuggah, tapi Violent Sleep sekali lagi membuktikan bahwa sang pencetus masih menjadi aktor utama pengatur kecepatan. H.S.

1. Metallica, ‘Hardwired…to Self Destruct’


Meskipun band terbesar metal di dunia ini menikmati menjadi salah satu genre yang paling tak terduga (tidak ada yang pernah berharap mereka berkolaborasi dengan Lou Reed), Metallica selalu menjadi yang terbaik ketika mereka membiarkan diri mereka hanya menjadi Metallica. Album ke-10 mereka, Hardwired… to Self-Destruct – sebuah psikodrama dua tindakan pewarisan kemanusiaan – menampilkan Metallica tengah menggabungkan sound beberapa album rekaman pertama mereka: tempo ala senapan mesin, rif-rif penghancur dan lirik-lirik apokaliptik yang disampaikan dalam teriakan khas militer. Lagu berbahaya yang menjadi nomor pembuka, “Hardwired,” menyajikan fatalisme James Hetfield pada level paling dramatis (“We’re so fucked!”) sementara lagu penutup sekaligus yang paling menonjol di album ini, “Spit Out the Bone” adalah sebuah tuduhan berat kepada teknokrasi. Gaung dari album-album penting seperti Metallica dan Master of Puppets bergema di keseluruhan album ini, begitu pula pengaruh awal mereka seperti groove-groove dari Black Sabbath, orkestrasi ala Mercyful Fate dan teaterikal Iron Maiden, menjadikan album ini sebuah representasi pengalaman terbaik Metallica selama bertahun-tahun. Terbaik dari semuanya, mereka bahkan tidak mau repot-repot menulis lagu balada. K.G. (Red)

Photo credit : Getty Images/ Frazer Harrison


Lainnya Dari Telegraf