Reforma Agraria Sebagai Jalan Mewujudkan Hak Atas Pangan dan Gizi

hak atas pangan dan gizi telah dijamin dan diakui dalam Konstitusi Indonesia dan hukum positif Indonesia

Oleh : msn

JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID –Dalam konteks internasional, pasca Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, disepakati Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada 16 Desember 1966. Kovenan tersebut mendorong perwujudan ideal pemenuhan hak asasi manusia melalui pemenuhan hak untuk bebas dari ketakutan dan kemiskinan yang hanya mampu dicapai pemenuhannya apabila hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak sipil dan politik setiap orang terpenuhi. Negara dimandatkan mengambil langkah-langkah untuk mencapai realisasi pemenuhan hak tersebut. Hak atas pangan diakui dalam Pasal 11 ayat (1) kovenan tersebut. Dinyatakan bahwa kovenan tersebut mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.

Pasal 11 ayat (2) Konvensi EKOSOB 1966 tersebut mengharuskan negara-negara yang menyepakati kovenan—Indonesia meratifikasi kovenan tersebut melalui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)—untuk mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan dan diharuskan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk di dalamnya adalah agenda reforma agraria. Sayangnya, Pasal 11 kovenan tersebut direduksi dalam transliterasi Bahasa Indonesia menjadi hanya sekadar untuk mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian. Padahal, dalam konteks yang lebih mendasar, setiap orang berhak untuk mendapatkan makanan yang cukup secara kualitas dan kuantitas, yang sehat dan sesuai budaya (baik secara individu maupun kelompok masyarakat), dan berhak untuk mendapatkan pangan secara berkelanjutan dan bermartabat. Kondisi berkelanjutan dan bermartabat tersebut hanya mampu diupayakan apabila setiap orang memiliki haknya atas pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria baik tanah maupun perairan.

Secara umum, hak atas pangan dan gizi telah dijamin dan diakui dalam Konstitusi Indonesia dan hukum positif Indonesia . Terdapat 41 peraturan setingkat undang-undang dan 29 peraturan dibawah undang-undang yang memiliki keterkaitan erat dengan hak atas pangan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan tersebut dapat dikelompokkan dalam dimensi pengakuan hak atas pangan sebagai berikut:
● Pengakuan secara eksplisit dan langsung pada hak atas pangan;
● Pengakuan secara implisit hak atas pangan melalui pengakuan hak secara luas, (misalnya, hak hidup, hak atas penghidupan yang layak, perlindungan kepada kelompok tertentu; perempuan anak, petani, nelayan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan korban bencana);
● Pengakuan hak atas tanah, reforma agraria, hak atas sumberdaya alam; hak atas pekerjaan, dan hak untuk mendapatkan upah minimum; dan
● Pengakuan atas pentingnya perlindungan lahan pertanian, hak konsumen, keamanan pangan, perdagangan; perlindungan panen tanaman pangan.
Reforma agraria disebutkan sebagai realisasi pemenuhan hak asasi serta sebagai bagian dari hak asasi itu sendiri. Negara memiliki mandat untuk memastikan bahwa setiap orang dapat mengakses sumber nafkah secara berkeadilan. Sumber nafkah yang dimaksud: (1) modal alam, (2) modal finansial, (3) modal manusia, dan (4) modal sosial politik . Hal tersebut termasuk bahwa pemerintah harus memberikan akses masyarakat pada penguasaan dan pemilikan atas tanah sebagai basis utama produksi.

Selain dalam penataan aset dan akses, Negara telah menyatakan komitmen melindungi produsen pangan yaitu petani dan nelayan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Kedua kebijakan nasional ini menjadi penting sebagai salah satu kebijakan untuk menunjang produsen pangan dalam melakukan aktivitas kegiatan pertanian dan perikanan mulai dari pra produksi, saat produksi hingga pasca produksi. Namun, sepanjang Pemerintahan Joko Widodo, tidak ada kebijakan turunan untuk menjadi panduan dalam operasional kebijakan tersebut baik di tingkat nasional bagi kementerian dan lembaga, hingga tingkat daerah termasuk tingkat desa. Lebih jauh, Undang-Undang Cipta Kerja menambah kebijakan kontradiktif salah satunya Bank Tanah yang tidak sejalan dengan kepentingan reforma agraria khususnya bagi rakyat produsen pangan. (rilis)

Lainnya Dari Telegraf