Telegraf – Anggota Majelis Penasehat Organisasi Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Idrus Marham meminta Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) segera menggelar percepatan muktamar dari seharusnya pada akhir tahun 2026.
Idrus menilai percepatan muktamar merupakan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik internal yang saat ini mengemuka di tubuh organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
“NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” kata Idrus, melansir Antara, Jumat (28/11/2024).
Dia berpendapat gejolak internal yang berkembang tidak hanya sekadar persoalan figur, tetapi penanda bahwa prinsip kepemilikan bersama dalam NU mulai tersisihkan oleh logika fraksionalisme.
Berdasarkan eskalasi yang terus menanjak, Idrus menegaskan percepatan muktamar merupakan langkah paling efektif dan paling konstitusional, lantaran muktamar bukan sekadar forum pemilihan kepemimpinan, melainkan sarana penyatuan orientasi perjuangan NU.
Menurut dia, muktamar merupakan ruang kembali bersama, ruang pembersihan, serta ruang penyatuan orientasi, sehingga jika tidak segera dilakukan, maka konflik tersebut justru akan melebar dan memperdalam fragmentasi.
Ia juga menekankan pentingnya menghadirkan para figur perekat, bukan sosok yang mendorong polarisasi. Dirinya pun berharap seluruh kader NU bisa menahan diri dari manuver politik yang dapat memperuncing ketegangan internal.
Di sisi lain, Idrus menekankan desakan percepatan muktamar bukan merupakan agenda politik, melainkan panggilan moral agar NU tidak terseret dalam konflik berkepanjangan yang berpotensi merusak muruah organisasi dan mengikis kepercayaan jutaan jamaah.
“Gagasan percepatan muktamar adalah solusi konstitusional dan sesuai dengan nilai-nilai keumatan dan kebangsaan, nilai-nilai pendirian NU yang berorientasi pada kemaslahatan umat,” ujarnya.
Muktamar, lanjut dia, merupakan ujian ketulusan dan keikhlasan untuk berkorban demi kebesaran NU sekaligus pernyataan komitmen keluarga besar NU untuk bersama pemerintah melakukan akselerasi dan transformasi pembangunan di segala bidang.
Dia pun mengajak seluruh pengurus dan warga NU kembali ke prinsip awal organisasi, di mana NU merupakan milik umat, bukan milik elite kecil, sehingga cara menyelamatkannya kembali ke forum tertinggi, yakni muktamar.
Ketegangan internal PBNU meningkat setelah beredarnya salinan risalah rapat Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 yang menyatakan pemberhentian Ketua Umum Tanfidziyah Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Dokumen itu ditandatangani Rais Aam PBNU beserta beberapa anggota Syuriyah. Surat Edaran kemudian menyusul, yang menetapkan bahwa per 26 November 2025, Gus Yahya tidak lagi menjabat sebagai ketum.
Situasi tersebut memecah respons di lingkungan NU, karena itu ada sebagian yang mengajak pada keteduhan dan islah, namun sebagian lainnya menilai penyelesaian secara informal tidak memadai.
Adapun Katib Syuriyah PBNU Kiai Haji Sarmidi Husna menyatakan Surat Edaran (SE) Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang intinya menyatakan Gus Yahya tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum PBNU tetap benar dan sah.
“SE PBNU Nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025 yang ditandatangani oleh Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir dan Katib Syuriyah PBNU KH Tajul Mafakhir adalah benar dan sah,” kata Sarmidi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, menjawab keabsahan surat akibat sabotase sistem persuratan digital di PBNU.
Sarmidi mengatakan surat tersebut juga merupakan SE yang bersumber dari hasil rapat Pengurus Syuriyah PBNU yang membahas soal kekosongan jabatan Ketua Umum PBNU, dimana kepemimpinan Pengurus Besar NU sepenuhnya berada di tangan Rais Aam selaku pimpinan tertinggi NU.
“Surat edaran itu menjadi penting untuk menjelaskan yang intinya menyatakan bahwa KH Yahya Cholil Staquf tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum PBNU sejak terhitung mulai 26 November 2025 pukul 00.45 WIB,” ujar Sarmidi.