Likuiditas Mengering Tersedot Tax Amnesty

Oleh : KBI Media

Telegraf, Jakarta – Sepanjang 2016 merupakan tahun yang berat buat perbankan karena harus berebut likuiditas. Dan likuiditas semakin mengering karena tersedot oleh program pengampunan pajak (tax amnesty) pemerintah.

Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan likuiditas perekonomian semakin menghadapi tantangan karena terjadi perang likuiditas masih terus berlanjut.

Semua berawal dari terpilihnya Presiden AS, Donald Trump, yang berdampak pada respon pasar surat utang dengan kenaikan yield atau imbal hasil yang cukup tinggi. Di bawah kepemimpinan Trump, beberapa program seperti belanja infrastruktur yang besar, pemotongan pajak diprediksi mendorong naiknya inflasi. Proyeksi kenaikan inflasi direspon dengan meningkatnya bunga obligasi.

“Sepanjang tahun ini merupakan masa paceklik industri perbankan. Pertumbuhan dana pihak ketiga atau simpanan terus melambat bahkan terus di bawah pertumbuhan kredit. Bahkan hingga Agustus 2016, kondisi perbankan justru membahayakan karena terus menunjukkan tren DPK yang menurun drastis,” kata Bhima.

Padahal, lanjutnya, pada periode yang sama tahun 2015, pertumbuhan DPK masih di atas pertumbuhan kredit. Menurut dia, kondisi tersebut bisa memicu semakin sulitnya sektor riil mendapatkan pembiayaan yang murah dari perbankan.

“Penyebab keringnya likuiditas itu karena terpengaruh dari program pengampunan pajak. Pada November-Oktober itu karena banyak yang ikut tax amnesty, lalu ada Natal dan Tahun Baru banyak nasabah tarik perbankan. Tapi saya kritisi yang paling menarik adalah tax amnesty,” ujarnya.

Baca Juga :   Bersih-Bersih Migas: Serikat Pekerja Dukung Langkah Hukum Kejagung

Ia mengungkapkan, pada bulan tersebut banyak nasabah yang bayar uang tebusan amnesti pajak, yang hampir terjadi di seluruh bank, baik bank BUKU I, II, III, dan BUKU IV. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tidak semua bank dipilih jadi bank persepsi, sehingga dana tersebut beralih ke bank persepsi yakni bank BUKU III dan IV.

“Nah, kondisi inlah yang kita anggap membahakayan. Likuditasnya sangat ketat. Dana repatrisi pun ternyata sampai saat ini belum teralisasi penuh. Karena tidak semua cash. Ada properti dan kendaraan. Artinya butuh waktu lama untuk dijual dan direpatriasi. Ini sebabkan perang suku bunga,” jelasnya.

Sementara itu, Bhima menuturkan, perbankan juga harus berebut likuiditas dengan pemerintah yang gencar dan agresif menerbitkan SUN dengan tingkat imbal hasil yang tinggi sekitar 8-9%. Sehingga mau tidak mau perbankan juga harus memberikan yield yang lebih tinggi ketika menerbitkan obligasi dibanding bunga SBN.

“Likuditas ketat itu juga kadang-kadang waktunya bersamaan ketika perbankan terbitkan obligasi dan penerbitan surat utang pemerintah. Ketika bank terbitkan obligasi maka bunganya harus lebih menarik dibanding bunga SBN. Ini memacu kondisi likuiditas perbankan,” ucapnya.

Ia menambahkan, kebijakan prefunding atau pembiayaan di awal sebelum tahun anggaran berjalan 2017 saja pemerintah sudah merealisasikan Rp116 triliun. Dalam merealisasikan strategi prefunding tersebut, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp63,5 triliun. (Red)

Photo credit : Antara/Yudhi Mahatma


Lainnya Dari Telegraf