Telegraf – Angka-angka indikator perekonomian yang dipublikasikan pemerintah perlu disikapi secara kritis. Ada kejanggalan-kejanggalan di tengah, klaim pemerintahan atas pertumbuhan di sejumlah sektor. Daya beli masyarakat terbukti lemah sehingga pertumbuhan perekonomian 2025 besar kemungkinan lebih kecil ketimbang target pemerintah.
Hal itu ditekankan oleh dua orang ekonom, masing-masing Nailul Huda dan Muhammad Nalar Al Khair, saat berbicara dalam Forum Diskusi Terbatas bertopik “Berebut Celah, Rebut Siasat di Arena Reglobalisasi Ekonomi” yang digelar Agenda 45 di Tebet Jakarta Timur, Sabtu (15/11/2025).
“Ekonomi kita itu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nailul Huda saat memulai pemaparannya.
Secara terus terang Huda meragukan angka-angka yang diajukan para pejabat bidang perekonomian pemerintahan Prabowo Subianto. Dalam perhitungannnya pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan mencapai 4,7% atau malah lebih rendah. Sedangkan pemerintah yakin setidaknya di atas 5,2%.
Salah satu yang menjadi sebab keraguannya itu terletak pada klaim pemerintah pertumbuhan di sektor industri, Huda dalam penelitiannya menemukan hal yang berkebalikan. Temuannya menyebutkan bahwa industri tekstil kini hanya berjalan pada 50% dari seluruh kapasitas terpasang, penjualan kendaaraan menurun, demikian pula tingkat laba dan likuiditas perbankan. Fakta lain lagi adalah Kemenaker menyebutkan tingkat pengangguran mencapai 32%.
Kondisi memprihatinkan juga terjadi dalam pengelolaan APBN, pengelolaan anggaran 2025 lebih buruk ketimbang tahun 2023, 2024 dan 2022. Realisasi pajak hanya mencapai 59% dari target. Sedangkan dana sektor pendidikan dan kesehatan malah digunakan untuk pelaksanaan program Makan Siang Gratis (MBG). Ini melanggar ketentuan yang ada termasuk aturan yang ada dalam konstitusi.
“Di akhir diperkirakan rasio difisit anggaran akan mencapai 2,7% sehingga beban utang negara makin besar,” ujarnya.
Kesulitan di dalam negeri diperburuk oleh perang dagang di tingkat global. Para pemimpin dan pelaku ekonomi terlalu banyak mengeluh dalam menghadapi tantangan dari luar yang memang tak mudah tersebut. Padahal, lanjut Huda, seharusnya kita perlu memperkuat kualitas produk domestik, membenahi tingkat efisiensi ekonomi yang makin buruk.
Hal terakhir ini nampak nyata dalam perencanaan dan praktik Program MBG dengan tingkat korupsi yang buruk. Seharusnya hal seperti itu dilakukan agar kita tak terheran heran melihat fakta kenapa keluarnya dana investasi dari China lebih banyak berlabuh di Vietnam ketimbang ke Indonesia.
Setidaknya hal terakhir nampak mengherankan pada kasus investasi Apple dimana pasar atau konsumen produk teknologi komunikasi itu justru jauh lebih besar di Indonesia.
Rekayasa
Berbicara pada kesempatan berikutnya Muhammad Nalar Al Khair mengawali sikap kritisnya atas data perekonomian pemerintah di sektor ketenagakerjaan. Klaim pemerintah yang mengatakan terjadi penurunan tingkat pengangguran pada Agustus 2025 mestinya tidak diterima begitu saja.
“Kita jangan melupakan bahwa sesungguhnya ada pengangguran terselubung, yakni orang bekerja tapi sebenarnya tidak dibayar,” ujar Nalar.
Jumlah kelompok pekerja tak dibayar itu mencapai 18 juta orang. Data ekonomi yang ditampilkan sebenarnya untuk menarik investasi namun pada kenyataannya kerap berlawanan dengan fakta di lapangan.
Bila data direkayasa tentu tingkat kepercayaan orang terpengaruh. Akibatnya masyarakat ragu dan tingkat kepercayaannya kepada pemerintah menurun demikian pula para investor.
Pemerintah seharusnya jujur atas data riil pereknomian, bagaimanapun para investor tentu bukan orang yang bodoh dalam melihat situasi ekonomi domestik dan regulasi investasi.
Pemerintah misalnya telah menyatakan tak akan ada impor beras dan gula. Tentu hal ini sulit karena terjadi kekurangan produksi. Kalaupun terjadi penurunan impor beras ketimbang masa sebelumnya kenyataan tetap saja terjadi impor bukannya taka ada sama sekali.
Penurunan produksi sektor industri menjadi tanda adanya deindustrialisasi. Kondisi ini terjadi juga di negara lain, namun belum tentu bisa disamakan dengan yang dialami Indonesia. Misalnya dibandingkan dengan gejala serupa di China, perekonomian negeri Tirai Bambu itu telah amat maju sebelumnya sehingga efeknya tak seburuk yang kita alami.