Telegraf – Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia meningkat di tahun 2022, yakni 49,68% dibandingkan tahun 2019 yang hanya 38,03%. Hal sama juga terjadi pada indeks inklusi keuangan, yang juga meningkat menjadi 85,10% dari tahun 2019 sebesar 76,19%.
Dorong tingkatkan inklusi keuangan syariah Center for Digital Society (“CfDS”) Universitas Gadjah Mada (“UGM”) gandeng Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dan Fintech ALAMI Sharia (“ALAMI”) selenggarakan Digitalk.
Mengangkat tema “Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia” diharapkan masyarakat memiliki ilmu atau pemahaman terkait keuangan dan dapat terhindar dari risiko-risiko yang tidak di inginkan.
Direktur Pengawasan Financial Technology dari Otoritas Jasa Keuangan, Tris Yulianta, menjelaskan masyarakat Indonesia memiliki potensi ekonomi digital sebanyak USD 146 miliar di tahun 2025, dengan merujuk tingginya angka pengguna internet di Indonesia sebanyak 191 juta atau 69% yang merupakan pengguna media sosial aktif. Termasuk pada perkembangan industri fintech P2P Lending mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat.
“P2P Lending kita hadirkan untuk masyarakat kita yang unbankable. Munculnya P2P untuk masyarakat banyak dirasakan oleh UMKM, yang bisa menjadi alternatif pengganti pinjaman bank konvensional. Tantangan yang muncul di sini, dari OJK selalu mengupayakan pengawasan dan coba benahi, dengan tentunya dukungan peningkatan literasi masyarakat,” ungkap Tris.
Dikesempatan yang sama Direktur Utama ALAMI Sharia, Harza Sandityo mengatakan bahwa sebagai pelaku industri, ALAMI Sharia yang didirikan sejak tahun 2018 ini hadir dengan tujuan untuk membuat produk yang bisa berdampak dan digemari oleh pengguna.
“Inovasi produk, teknologi, dan solusi bisnis kami dibuat berdasarkan kebutuhan di masyarakat dan menjadi wadah kami untuk menebar kebermanfaatan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kami untuk menjaga kepercayaan dari para pengguna dengan menjalankan proses bisnis sebaik-baiknya, sehingga hasil yang diperoleh juga bisa optimal,” tutur Harza.
Lanjutnya hingga saat ini, peran kolaborasi dan ketatnya pengawasan oleh OJK menjadi salah satu elemen penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam melakukan transaksi di berbagai Fintech. Hal ini turut memberikan keyakinan bagi masyarakat sehingga lebih tenang untuk berinvestasi melalui P2P lending.
Faktor berikutnya yaitu transparansi dalam menyampaikan informasi kepada pengguna, serta kinerja operasional yang kuat meskipun dihadapkan pada tantangan ekonomi makro.
“Dukungan kuat terhadap prinsip syariah dalam setiap aspek bisnisnya juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi sebagai pendana di ALAMI,” tutup Harza.
Sementara itu Kusdhianto Setiawan, Siviløkonom., Ph.D., Dosen Manajemen FEB UGM mengatakan bagaimana model bisnis peer-to-peer (P2P) lending mulai tumbuh dan diminati oleh masyarakat Indonesia.
“Sasaran dari fintek adalah masyarakat yang melek digital. P2P menjadi solusi bagi mereka yang unbankable, namun bukan solusi yang murah. Perlu diketahui berapa jumlah biaya yang akan ditanggung kepada pengguna. Di sini masih ada banyak sekali hal yang dapat dikembangkan oleh para pemain dan industri fintek, baik dari segi teknologi yang digunakan, maupun finansial literasi yang dihadirkan harus dapat kita tingkatkan” ujar Kusdhianto.