Telegraf, Jakarta – Sebanyak 1.200 mahasiswa Universitas Terbuka (UT) hadir dalam upacara wisuda periode I tahun 2017 yang dilaksanakan pada 10-11 April 2017. Seminar dan upacara wisuda yang dilaksanakan di Universitas Terbuka Convention Center (UTCC) kali ini mengangkat tema “Merajut Nilai-Nilai Kebhinekaan Melalui Pendidikan Inklusif”.
Hadir pula Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan agama Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Agus Sartono yang mewakili Menko PMK Puan Maharani saat memberikan sambutan di Pondok Cabe, Tanggrang Selatan, Jakarta. Agus memaparkan, UT merupakan universitas yang telah berhasil memanfaatkan perkembangan teknologi dalam sistem pembelajarannya, hal ini menjadikan UT sebagai pemain lama dalam konsep pendidikan inklusif.
“UT merupakan perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang pendiriannya didasari oleh keinginan untuk memberikan layanan pendidikan tinggi dengan jangkauan seluas-luasnya dan kepada siapa saja dengan tidak melihat batasan umur dan latar belakang sosial ekonomi. UT dirancang sebagai PTN yang terbuka dengan mengedepankan sistem pembelajaran jarak jauh, hal ini menjadikan UT sebagai perguruan tinggi Inklusif di Indonesia,” kata Agus.
Universitas Terbuka (UT) saat ini telah memiliki 80.000 mahasiswa, termasuk di antaranya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Arab Saudi yang jumlahnya mencapai 1.984 orang. UT tercatat telah melayani proses pendidikan belajar mengajar di 41 negara dan akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia di luar negeri.
“Saat ini kami memiliki 80.000 mahasiswa yang 300 di antaranya telah aktif menggunakan layanan-layanan yang telah kami sediakan. Pertumbuhan jumlah mahasiswa UT tergolong cepat, dari yang awalnya berjumlah 5.000 mahasiswa naik menjadi 80.000 mahasiswa dalam kurun waktu 10 tahun,” ujar Prof. Ir. Tian Belawati, Rektor Universitas Terbuka. Dengan keterbatasan sistem infrastruktur saja eksponennya sudah meningkat seperti ini, apalagi nanti jika pemerintah telah membenahi infrastruktur secara menyeluruh. Pihaknya yakin pertumbuhannya akan jauh lebih cepat dari ini.
Sistem inklusif yang ditawarkan dengan menerapkan fleksibelitas dalam proses belajar serta tidak menerapkan sistem DO menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon mahasiswa. UT dalam hal ini tidak memberikan batas kuota dalam sistem penerimaanya.
“Kami berusaha mensosialisasikan keberadaan UT kepada siapapun yang ingin mengenyam pendidikan tinggi tetapi terkendala ekonomi, waktu, dan lokasi. UT sebagai sistem mampu untuk menampung banyak mahasiswa, siapa pun bisa berkuliah di sini asal memiliki Ijasah SLTA atau sederajat. Kami juga sangat terbuka untuk mereka yang menempuh jalur paket C” tambahnya.
Saat ini pendidikan inklusif dinilai sebagai jalan alternatif dalam mengatasi kesenjangan pendidikan para pekerja di Indonesia. Sebagai tambahan, saat ini 65% pekerja Indonesia hanya mengeyam pendidikan SMP kebawah, 25% berpendidikan menengah dan hanya 10% pekerja yang mengenyam pendidikan tinggi. (Red)