Pulau Flores Nusa Tenggara Timur ternyata tak hanya kaya dengan pesona kepulauan dengan laut yang sangat indah. Di pulau ini tersembunyi satu dari banyak ragam budaya Indonesia yang salah satunya ada pada masyarakat desa Waerebo yang tinggal menyendiri di sebuah lembah diantara pegunungan di Kabupaten Manggarai.
Terletak di bagian Desa Satarmese, Satarlenda Manggarai Nusa Tenggara Timur, masyarakat Waerebo memilih cara hidup yang cukup unik dengan tetap berada di sebuah lembah di tengah hutan. Jarak dengan desa terakhir yakni Denge pun cukup jauh yakni 6,5 kilometer dengan akses sebuah jalan setapak yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Seorang Jurnalis FX Harminanto menjajal langsung melakukan perjalanan menuju Desa Waerebo pada pertengahan Januari 2017 ini. Bagi orang yang tidak sering melakukan perjalanan alam, mungkin akses ke Waerebo bukanlah menjadi sesuatu yang mudah.
Medan menanjak dengan jalan setapak yang bersebelahan dengan jurang tentu menguras fisik dan mental. Tidak sedikit yang akhirnya memutuskan kembali ke Denge setelah tak kuat berjalan di track alam yang di sisi lain juga menawarkan pemandangan luar biasa indahnya.
Perjalanan ke Waerebo dari Denge kami tempuh dengan waktu kurang lebih tiga jam karena banyak diantara kami merupakan pejalan kaki pemula yang membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat. Teduhnya vegetasi di sepanjang perjalanan dengan musik alam kicauan burung bersama semilir angin sedikit membantu menemukan semangat untuk terus melangkah.
Sore hari sekitar pukul 16.30 WITA, perjalanan yang juga ditemani seorang guide warga Manggarai, Bendi akhirnya menemui titik akhir. Pohon kopi di kanan kiri jalan setapak menjadi penyambut kedatangan kami bebarengan dengan bunyian bambu yang kami bunyikan dari bukit terakhir sebelum masuk desa yang juga penanda kedatangan tamu bagi warga Desa Waerebo.
Rasa lelah berjalan naik turun perbukitan langsung tak berarti apa-apa saat tiba di Waerebo. Rumah adat Mbaru Niang dengan atap dari ijuk asap berwarna hitam mulai terlihat diantara lembah hijau yang menawan, membuat kami tak henti mengucap syukur atas hal luar biasa ini.
Setiap tamu yang datang ke Waerebo diibaratkan sebagai seorang warga asli yang melakukan perjalanan keluar desa dan lama tak kembali. Tetua adat di Waerebo pun mengumpulkan kami dahulu di rumah pusat Gendang untuk melakukan prosesi Kolebeo atau kembalinya anak ke kampung halaman, sungguh menjadi pengalaman spiritual tersendiri bagi kami.
Yang juga sedikit membuat kami tenang, tidak ada anak usia sekolah yang ada di desa tersebut. Mereka bersekolah di Denge dan hanya akan pulang ke Waerebo saat akhir pekan datang.
Para tamu dipersilahkan untuk bermalam di satu rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Konsep rumah ini begitu unik di mana kami tidur bersama melingkar di lantai dasar rumah adat berbentuk kerucut ini.
Beberapa tahun terakhir, Waerebo tak lagi menjalani hidup tanpa listrik. Panel surya dan sebuah genset didatangkan dengan bantuan swasta untuk menunjang kehidupan di delapan rumah Mbaru Niang di desa tersebut.
Warga Waerebo kini berprofesi sebagai petani kopi dan sayur-sayuran dengan lahan yang ada di sekitar desa. Kopi Waerebo ini bahkan telah diekspor hingga Amerika dan beberapa negara Eropa.
Lebih mengesankan, untuk menjual hasil kopi ini masyarakat Waerebo tetap harus berjalan kaki dan memanggul seluruh barang hasil produksi. Nanti setelah dijual, mereka akan membeli barang kebutuhan seperti beras, daging atau kebutuhan lainnya dan lagi-lagi dibawa menyusuri jalan setapak dengan dipanggul.
Blasius Monta, salah satu warga asli Waerebo yang memilih tinggal di Denge karena profesinya sebagai guru mengisahkan beberapa tahun terakhir tepatnya sejak 2006, warga Waerebo mendapat perhatian banyak pihak lantaran keunikan kehidupan sehari-harinya. Warga Waerebo tetap bisa mempertahankan nilai budaya dan tradisi yang ada sejak jaman nenek moyang.
“Sampai sekarang tetap tidak boleh ada orang datang ke kampung setelah pukul 18.00 karena upacara penerimaan tak bisa dilakukan pada malam hari. Tetap masih berjalan seperti itu hingga saat ini, jadi kalau ada tamu tiba malam harus menanti pagi untuk naik,” ungkapnya.
Saat kami datang, ada salah satu kerabat Waerebo yang meninggal dunia di Malaysia ketika tengah menjalani pekerjaan di sana. Blasius pun menceritakan bagaimana nantinya prosesi adat pemulasaraan arwah dilaksanakan di Desa Waerebo.
“Kami tetap harus naik semua dan menyelesaikan prosesi adat untuk orang meninggal meski kami makamkan jenazah di bawah. Kami wajib lakukan sebelum 14 November 2017 (hari besar Waerebo) atau kalau tidak kami tak bisa lagi dianggap sebagai warga Waerebo,” imbuhnya.
Untuk menuju Waerebo, wisatawan hanya bisa menempuh jalan darat dari Labuan Bajo yang menjadi pemberhentian pesawat terdekat. Jalanan yang cukup buruk mengharuskan siapapun untuk bersabar menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam.
Perbaikan akses ini pula yang begitu diharapkan Blasius dan warga lainnya segera dilakukan pemerintah terlebih dengan harga kebutuhan pokok yang menjadi lebih mahal karena sulitnya akses. Pun pula belum ada tenaga listrik yang menjangkau hingga Denge membuat warga cukup kesulitan menjalani kehidupan.
Photo credit : happyfitdiary