Telegraf, Jakarta – Tahun 2017 masih merupakan tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh 5%, namun pertumbuhan tersebut semata-mata berasal dari sektor konsumsi. Sektor manufaktur dan dunia usaha belum bisa memberikan kontribusi lebih di tahun 2017.
Melihat kondisi tersebut, Kahlil Rowter Chief Economist PT. Danareksa Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak di tahun 2017 akan mengalami tekanan. Ini dapat dilihat dari berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah di tahun 2016 seperti melakukan ekstensifikasi pajak, belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kenaikkannya pendapatan negara dari sektror pajak. Belum tercapainya target pajak ini disebabkan kondisi ekonomi global yang masih mengalami tekanan. “Memang pertumbuhan Indonesia masih terbilang tinggi yaitu lebih dari 5% namun pertumbuhan itu didapat dari konsumsi bukan dari dunia usaha,”ujar Kahlil.
Kahlil memperkirakan pemerintah masih menggantungkan harapan pendanaan dari dividen perusahaan BUMN. Harapan meningkatnya pendapatan negara dari BUMN ini dapat dilihat dari meningkatnya target dividen perusahaan BUMN di tahun 2017 mendatang.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2017 disebutkan dividen BUMN pada tahun 2017 ditargetkan sebesar Rp38 triliun. Jumlah ini lebih tinggi 11,2% dibandingkan dengan target APBNP tahun 2016 dan outlook APBNP tahun 2016. Secara lebih rinci, target pendapatan dividen BUMN tahun 2017 tersebut berasal dari pendapatan laba BUMN perbankan sebesar Rp8.6 triliun dan pendapatan laba BUMN nonperbankan sebesar Rp29.3 triliun. Selama ini pemerintah mengandalkan pendanaan dari tiga BUMN seperti Pertamina, Bank Mandir dan Telkom.
Namun disayangkan dividen Pertamina di tahun 2017 mendatang diperkirakan akan mengalami penurunan. Kahlil mengatakan penurunan dividen Pertamina ini akibat kebijakkan satu harga BBM diseluruh Indonesia yang akan dijalankan oleh pemerintah. “Dampak penerapan satu harga BBM bisa mencapai Rp 800 miliar. Kebijakkan tersebut mungkin akan berdampak negatif terhadap dividen yang akan dibayarkan Pertamina kepada negara,”papar Kahlil.
Sedangkan pendapatan bank Mandiri juga diperkirakan akan mengalami tekanan akibat kenaikan provisi atau rasio pencadangan. Kenaikkan provisi ini akan mempengaruhi profitabilitas bank Mandiri di tahun 2017.
Harapan satu-satunya dari pembayaran dividen yang kemungkinan akan dinaikkan atau tidak boleh turun adalah dari Telkom. Kinerja Telkom hingga kuartal ke tiga tahun 2016 masih on the track. Revenue Telkom di kuartal ke tiga tahun 2016 ini mencapai Rp. 63.64 triliun atau tumbuh 14.4%. EBITDA BUMN telekomunikasi ini juga tumbuh 18.9 % menjadi Rp. 37.1 triliun. Sementara itu laba bersih Telkom juga tumbuh 27.3% menjadi Rp. 21.02 triliun.
Dividen yang dibayarkan Telkom setiap tahunnya juga mengalami kenaikkan. Di tahun 2014 yang lalu dividen yang dibayarkan Telkom kepada pemegang sahamnya mencapai Rp 8,8 triliun. Sedangkan di tahun 2015 yang lalu mencapai Rp 9.29 triliun.
Leonardo Henry Gavaza, CFA Senior Research Manager PT Bahana Securities mengatakan jika tidak ada regulasi yang menghambat, maka kinerja Telkom di tahun 2017 mendatang masih akan membukukan double digit growth. Proyeksi Leo tersebut sesuai dengan Nota Keuangan dan RAPBN 2017 pemerintah yang mematok pertumbuhan BUMN telekomunikasi yang mencapai 10,6%
Dengan kondisi tersebut Leo memperkirakan yield Telkom di tahun 2017 masih dapat tumbuh antara 35% hingga 40%. “Target harga saham Telkom di tahun 2017 bisa mencapai Rp 5000. Saat ini saya rekonedasi buy untuk saham Telkom,”terang Leo pada acara diskusi pasar modal beberapa waktu yang lalu.
Tantangan terberat yang bisa mempengaruhi kinerja emiten telekomunikasi adalah adanya revisi PP 52/53 tahun 2000 dan rencana penetapan biaya interkoneksi yang akan dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Jika pemerintah menurunkan biaya interkoneksi sebesar Rp 204 permenit, Leo memperkirakan EBITDA dan ARPU perusahaan telekomunikasi akan mengalami penurunan yang cukup siginfikan. Ini disebabkan operator akan berlomba-lomba untuk menurunkan harga layanan voice. Jika biaya interkoneksi tidak mengalami penurunan maka pertumbuhan ARPU dan EBITDA margin emiten sektor telekomunikasi akan sama seperti yang saat ini terjadi. Tidak ada penurunan baik itu di ARPU maupun di EBITDA margin.
“Jika satu operator melakukan penurunan harga maka akan diikuti oleh operator lainnya. Biasanya yang akan memulai penurunan itu adalah Indosat dan XL. Pastinya Telkom akan melawan dengan melakukan hal yang sama. Itu yang membuat ARPU dan EBITDA margin semua operator akan mengalami penurunan,” papar Leo.
Sedangkan jika revisi PP 52/53 tahun 2000 diberlakukan, Leo memastikan kinerja keuangan Telkom akan tergangu. Ini disebabkan Telkom yang sudah melakukan investasi jauh lebih lama dan suffer cukup panjang, namun kini mereka diwajibkan untuk berbagi jaringan dengan operator lainnya. Padahal Telkom baru menikmati hasil jerih payahnya mereka melakukan investasi penggelaran jaringan.
“Jika Telkom tidak suffer beberapa waktu yang lalu maka tidak ada masyarakat yang akan menikmati layanan telekomunikasi di daerah terpencil dan terluar indonesia. Sementara kinerja keuangan XL dan Indosat akan akan terbantu jika Revisi PP 52/53 ini berjalan,”terang Leo.
Melihat BUMN merupakan agent of development dalam rangka mendukung program prioritas Pemerintah Jokowi yang tertuang dalam Nawa Cita maka Haryajid Ramelan, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia meminta agar pemerintah mau memproteksi seluruh perusahaan BUMN. Khususnya BUMN yang memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan nasional.
Perlindungan terhadap perusahaan BUMN merupakan hal yang lazim. Haryajid mengatakan, beberapa negara seperti negara Cina, Singapura dan Malaysia telah terlebih dahulu memproteksi perusahaan BUMN-nya. “Mereka melakukan proteksi kepada BUMN-nya agar perekonomian negaranya dapat tumbuh seperti yang diharapkan,”kata Haryajid.
Revisi PP 52/53 tersebut diperkirakan Haryajid berpotensi merugikan bagi perusahaan yang telah berinvestasi cukup besar di industri telekomunikasi. “Saya mengharapkan pemerintah dapat segera melakukan revisi UU Telekomunikasi agar OTT dan perusahaan telekomunikasi di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap ekonomi Indonesia. Dengan adanya revisi UU Telekomunikasi ini juga mempermudah pemerintah memungut pajak dari OTT yang selama ini telah beroperasi di Indonesia,”papar Haryajid.
Hal senada juga diungkapkan Faisal Basri Ekonom Universitas Indonesia. Menurutnya UU telekomunikasi yang saat ini berlaku sudah tidak bisa mengakomodasi perkembangan zaman dan teknologi telekomunikasi. Jika hanya fokus melakukan revisi PP, maka Kominfo tak menyelesaikan masalah industri telekomunikasi. Setelah pemerintah melakukan revisi UU telekomunikasi, maka turunanannya seperti PP maupun PM akan mudah untuk menyesuaikan.
“Sebenarnya para pengusaha senang jika tidak ada UU yang diubah. Sejatinya pengusaha menyukai gray area. Jika semuanya jelas dan tidak ada gray area, maka pengusaha tidak bisa bermanuver. Sehingga lebih baik Kominfo melakukan revisi UU telekomunikasi terlebuh dahulu dibandingkan dengan revisi PP 52/53 tahun 2000,”terang Faisal. (Red)
Photo credit : Antara