Telecoffee
Jajat Sudrajat, Dedikasi Diri di Bidang Rawat Gawat Darurat
Teleperson – Di usianya yang ke 17, pria kelahiran 26 Mei 1980, Desa Malabar, cilacap, jawa tengah, ini telah menyandang profesi sebagai perawat. Namun, Ia sama sekali tidak tertarik untuk menjadi pegawai negeri sipil ataupun berpraktek sebagai perawat kesehatan desa (mantri) dan memilih untuk hijrah ke ibukota pada tahun 1998 guna melamar ke sebuah yayasan, sebagai perawat ambulans gawat darurat.
“Menjadi perawat ambulans bagi saya sangat menyenangkan dan sesuai dengan minat saya karena pekerjaan sehari-hari saya tidak monoton dan penuh tantangan.” tuturnya sembari tersenyum, saat ditemui di Nirwana Golden Park Blok C 6-7, Jl. GOR Pakansari, Kec.Cibinong, Kab.Bogor, Jawa Barat.
Menginjak dua bulan masa bekerjanya, dirinya kerap terlibat sebagai tim bantuan medis pada huru-hara 1998. Mulai dari tragedy Trisakti, serta berbagai demonstrasi-demontrasi hingga pegambilalihan gedung DPR MPR oleh mahasiswa. Atapun tragedi semanggi I, tragedi semanggi II, Bom di hotel JW marriot, Bom di kedubes Filipina dan Australia maupun kejadian lainnya.
Hingga pada tahun 2000, dirinya direkrut menjadi anggota Brigade Siaga Bencana (BSB) Departemen kesehatan, yang membuatnya kerap ditugaskan dibeberapa kejadian bencana baik nasional maupun internasional.
“Bagi saya manusia yang sesungguhnya adalah manusia yang taat pada TuhanNya dan bermanfaat buat orang lain. Satu hal, bagi saya ketika kita memilih profesi sebagai tenaga kesehatan (khususnya Perawat) maka saat itulah kita telah menggadaikan atau menyerahkan hidup kita untuk kemanusiaan.” Ujarnya.
Kejadian yang menjadi titik balik baginya adalah saat dipanggil ke lokasi kejadian, dimana ada bangunan roboh dan ada satu pekerja yang terhimpit kolom beton dengan berat puluhan ton. Dirinya harus menemani korban berjam-jam dengan terus melakukan tindakan medis hingga korban menghembuskan nafas terakhirnya.
“Saat itu dia dipasang infus, oksigen dan lainnya. Dan saya mendampingi dia berjam-jam sampai meninggal karena kolom beton itu tidak juga bisa diangkat. Hal itu yang membuat saya yakin bahwa peran petugas kesehatan diluar rumah sakit sangat diperlukan dan dibutuhkan.” Kenang lirih pria yang juga menjabat sebagai ketua pengurus Indonesian Emergency and Disaster Relief (IEDR) Foundation.
Dirinya pun menyadari, untuk mengurangi angka kematian atau pasien cacat pasca musibah harus dibuat sistem pelayanan gawat darurat terpadu (SPGDT) yang didukung dengan unit ambulans yang memadai, peralatan yang sesuai standard dan petugas yang professional. Sayangnya, ini merupakan pekerjaan besar yang belum disentuh sepenuh hati.
“Oleh karena itu tumbuh keinginan dalam hati saya untuk memfokuskan diri pada usaha ini. Ikut membantu menyelamatkan jiwa seseorang dalam kondisi gawat darurat dari lokasi kejadian sampai dengan ke rumah sakit dan rujukan antar rumah sakit. Lewat pro emergency, saya mencoba untuk menghadirkan pelayanan pra rumah sakit yang mumpuni dan tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah.” paparnya.
Menurutnya IEDR Fundation dan Pro Emergency adalah satu kesatuan, saling mengisi dan menyempurnakan. Pria yang memiliki motto ‘We Want, We Can’ ini yakin, apapapun yang kita inginkan bisa kita raih dengan doa dan usaha maksimal
“karena itu, saya mempraktekan pola subsidi silang agar kegiatan sosial yang kami laksanakan bisa kami danai sendiri tanpa harus mengemis kepada pihak lain. Namun cikal bakal adanya IEDR Fundation adalah Pro Emergency. “imbuhnya.
Selain itu, Ia juga menyadari tenaga medis Indonesia juga harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan darurat dilokasi kejadian dan evakuasi serta penanganan bencana. Hal ini tidak didapatkan di dunia pendidikan.
Terlebih lagi,dirinya menilai bahwa layanan darurat pra rumah sakit sangat terbatas (buruk) maka dari itu perlu setiap individu membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan dalam Hal ini agar kita mampu menolong diri sendiri dan orang yang terdekat dengan kita.
“Ini sangat penting sebagai upaya untuk menghindari kematian yang sia-sia ataupun melakukan pertolongan darurat untuk mereka yang membutuhkan.” Tandasnya. (ACS)
Telecoffee
Kenaikan PPN 12% Tanggung Jawab siapa?
TELEGRAF – Dalam suasana politik yang memanas, Ketua Bintang Garuda, Handiyono Aruman, tidak bisa menahan keheranannya atas sikap PDIP yang kini menolak PPN 12%, Jakarta (23/12/24).
Sikap tersebut tampaknya bertentangan dengan peran mereka sebagai inisiator dan pengesah kenaikan pajak tersebut dalam Undang-Undang (UU) yang disahkan beberapa tahun lalu.
“Ini adalah sebuah permainan ‘playing victim’ yang tidak bertanggung jawab,” ungkap Handiyono, menyoroti ketidakselarasan antara tindakan dan kata-kata partai berlambang banteng moncong putih itu.
Kenaikan PPN 12% yang menjadi perbincangan publik sebenarnya adalah hasil dari kebijakan berdasarkan UU yang disahkan pada tahun 2021.
Namun, sikap PDIP yang kini menolak kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi dan kejujuran mereka dalam berpolitik.
Mengapa partai yang pernah mendukung kini berbalik arah?
Handiyono Aruman yg merupakan mantan PIC Segmen Akademisi dan Alumni TKN Golf. mengajak seluruh pihak, termasuk PDIP, untuk berani mengakui peran mereka dalam pengesahan PPN 12%.
“Jangan mainkan peran korban dan mengelabui masyarakat,” tegasnya.
Dalam pandangannya, penting untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan politik.
“Kita harus bertanggung jawab atas kebijakan yang telah diambil,” tambahnya, menegaskan perlunya integritas dalam dunia politik.
Masyarakat kini menuntut kejelasan dari PDIP mengenai alasan di balik penolakan mereka terhadap PPN 12%.
Banyak yang mempertanyakan konsistensi partai ini dan meminta mereka untuk mengakui peran mereka dalam pengesahan UU tersebut.
“Kami ingin keadilan dan kejujuran dalam pengambilan keputusan politik,” seru Erwin Rolan, pengurus Bintang Garuda Jakarta menggambarkan keresahan yang dirasakan banyak orang terhadap situasi ini.
Handiyono Aruman menyambut baik langkah Presiden Prabowo dengan menetapkan pemberlakuan PPN 12% hanya untuk barang mewah, sehingga masyarakat umum diharapkan tidak terdampak dari kenaikan PPN 12% .
Sehingga ekonomi kerakyatan dapat terus berjalan dengan baik tanpa ada gonjangan sosial ekonomi, tutup Handiyono, menunjukkan harapan untuk masa depan yang lebih baik dalam kebijakan perpajakan di Indonesia.
Telecoffee
Memenangkan Pancasila
DEPOK, TELEGRAF.CO.ID — Sore yang temaram. Ia menungguku di perpus kampus UI Depok. Saat bertemu, ia langsung bertanya, “bagaimana kabar kabinet dan masa depan paradok pangan kita?” Ya, orang yang kutemui adalah Pratama Nusantara, praktisi pertanian dan produsen beras nasional. Tentu ini pertanyaan serius. Selalu begitu kalau bertemu ngopi dan diskusi dengannya.
Daulat pangan tentu cita-cita Presiden Prabowo Subianto sejak lama. Di banyak kesempatan, termasuk saat pidato pertama di depan MPR, ia dengan lantang menyebutkan isu ini. Baginya, daulat pangan adalah swasembada pangan karena kemampuan memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Demi program itu, Presiden Prabowo membentuk kementrian kordinator pangan yang mengkordinasi kementrian pertanian; kehutanan; kelautan dan perikanan; lingkungan hidup. Target swasembada pangan jadi prioritas. Semua lini didukung oleh Bulog dan Badan Pangan Nasional. Mereka adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dengan tugas mendaulatkan pangan kita.
Harus diakui, pangan kita sudah lama tak berdaulat. Penuh konglomerat hitam dan hobi impor. Akibatnya, kita terus menerima krisis pangan. Riilnya, kelangkaan pangan dialami oleh sebagian besar warga negara yang disebabkan oleh kesulitan dan gagal panen, distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan serta konflik sosial, monopoli-oligopoli, termasuk akibat perang.
Saat yang sama, jumlah penduduk terus meningkat tiap harinya karena terlalu banyak kelahiran (natality). Padahal, semakin besar jumlah manusia di dunia, maka volume permintaan terhadap pangan akan makin tinggi. Singkatnya, kita juga gagal melakukan pengaturan KB (keluarga berencana) secara signifikan sambil menolak program depopulasi.
Lalu, apa solusinya? Pertama, habisi mafia pangan. Kedua, hadirkan big data. Ketiga, realisasikan road map keberdikarian pangan. Keempat, optimalisasi kualitas produksi pangan, baik dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati, yaitu tanah yang tidak subur atau tidak cocok untuk pertanian. Kelima, sehatkan tata kelola pasar sosial pangan. Keenam, perbanyak kader lewat kurikulum dan sekolah pangan. Ketujuh, menangkan perang dagang dan pertempuran narasi plus pemikiran.
Saat ini, perang pemikiran, agensi dan kelembagaan yang terjadi harus dihadapi dengan serius. Ini perang hidup matinya negara. Tetapi, bagi rakyat, perang ini harus dihadapi dengan senyuman. Sebab senjata tak ada, duit tak seberapa, doa terus tertolak, pertolongan tak hadir. Modal rakyat hanya niat baik dan ilmu, itupun sedikit.
Rakyat harus sadar bahwa hidup mereka tentu saja tidak selalu lurus dan tidak seperti kemauan mereka. Ya, mereka harus menyadari bahwa setiap belokan dan ujian kehidupan memiliki makna. Maka, teruslah melangkah. Mereka harus yakin akan sampai ke tujuan yang berkah. Terus berjalan walau tak ada jalan di depan. Sebab, setelah rakyat berjalan, sesungguhnya sedang buat “jalan.”
Mereka harus segera siuman bahwa persoalan hak milik tanah, air, udara adalah persoalan purba dan akar masalah yang selalu diperebutkan di dunia. Persoalan kedaulatan pangan itu inti dan hakiki: terus datang tanpa henti. Sayangnya di kita, itu diindustrikan dan dikomersilkan dengan ontologi pasar neoliberal yang jahat dan mencekik.
Dengan lanskap seperti di atas, Presiden Prabowo harus segera sadar. Sesungguhnya, tak ada revolusi tanpa redistribusi aset. Tak ada pemilu tanpa redistribusi kapital. Tak ada pilpres tanpa redistribusi uang. Saat team ekonomi hasil revolusi, pemilu dan pilpres tidak berubah: agensi dan programnya, rakyat hanya sedang menonton sinetron.
Dengan tesis itu, mari tumpuk semangat dan refokusing program. Tentu sambil ingat bahwa apa yang ditakdirkan untuk kita akan menjadi milik kita. Maka, hidup adalah seni mengelola hati, imaji dan cita-cita plus harapan agar jadi kenyataan. Saat bersamaan, kita perlu kemampuan meneladani, meyakinkan dan memahami apa yang terjadi di hati dan pikiran sekitar agar konsensus dan ikhlas. Selanjutnya, kita perlu kurikulum geopolitik dunia yang dahsyat.
Dengan keyakinan memenangkan Pancasila kita sadar bahwa revolusi yang hilang akan dengan sendirinya menemukan jalan pulangnya, meski tidak selalu berarti ke rumah yang sama. Ia akan mendapat sekutu-sekutu dari sumber tak disangka-sangka. Wahai warganegara, mari bersekutu dan berbaris dalam kesatuan revolusi Pancasila. Tentu agar menang dan para mafia pangan tumbang.
Jangan lupa, setiap kekuasaan itu dipergilirkan. Jangan putus asa! Mari gunakan ia untuk menciptakan kebaikan, keadaban, kebijaksanaan dan keadilan yang legendaris di republik pancasila.(*)
Telecoffee
Menghadirkan Kembali Negara Pancasila
JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Jenius dan fokus. Begitulah kunci dan metodanya jika ingin berhasil. Ini berlaku buat siapa saja. Termasuk pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Mengapa?
Karena pemerintahan baru, di samping akan meneruskan program-program bagus

Yudhie Haryono
pemerintahan sebelumnya, juga mewarisi beberapa problem besar yang menyertainya. Setidaknya ada lima problem besar tersebut. Pertama, jumlah kemiskinan yang terus meningkat (11.03%). Kedua, jumlah pengangguran yang signifikan (6.78%). Ketiga, skor ketimpangan yang terus melebar (0.397). Keempat, praktik ekopol yang makin mahal (rerata 25 milyar/orang untuk DPR). Kelima, merosotnya lembaga dan agensi penegak hukum (3.95, 1-5).
Bagaimana cara mengatasinya? Ada banyak formula. Terapi, semua dapat diringkas menjadi satu kalimat: dengan cara menghadirkan negara pancasila. Hal ini karena Pancasila merupakan dasar dan landasan ideologi bagi bangsa Indonesia. Maka, setiap warga negara (terutama aparatur pemerintah) wajib mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kenegaraan.
Dus, negara dan pemerintah harus segera menggelorakan kembali semangat Pancasila Sakti agar tumbuh kesadaran bersama bahwa Pancasila adalah pusaka dan sumber kekuatan untuk membangkitkan keagungan bangsa sekaligus menyelamatkan rakyatnya yang sengsara.
Pemerintah baru harus menjadikan pelantikan mereka sebagai momentum agung bagi kebangkitan Indonesia Raya sebagai bumi surgawi. Semangat lemurian, atlantik dan nusantara yang agung harus disajikan kepada semua warga negara. Mereka harus kolaboratif dalam kerja jenius yang fokus berbasis intelektual, spiritual dan kapital sehingga menghasilkan modal, model dan modul negara pancasila yang nyata.
Dari sini, tesis yang bekata bahwa, “tak akan sukses bernegara jika sumber bernegaranya mengkhianati Pancasila” menemukan buktinya. Hal ini karena Indonesia adalah buah pikiran tulus dan jenius dari para pemuda (pribumi) yang berdedikasi, berkompentensi, beritegritas dan bercita-cita luhur sehingga gagasan negaranya merupakan kesepakatan dalam kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh warga bangsanya dengan dasar negara Pancasila yang menjunjung etik dan moral serta mental.
Maka, yang akan membuat Indonesia jadi peradaban besar adalah yang punya visi, misi, gagasan dan ide besar serta setia dengan hal-hal tersebut. Setia dengan ipoleksosbudhankam bersendi pancasila. Demikian pula demokrasi politiknya.
Demokrasi yang cocok dan khas Indonesia adalah demokrasi dengan sistem perwakilan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Perwakilannya diisi lewat keterpilihan (utusan parpol) dan keterwakilan (utusan daerah dan utusan golongan). Ketiganya membentuk trikameral yang manunggal menjadi lembaga tertinggi negara: MPRRI.
Seperti yang dikatakan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI: “Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini. … Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rectvaardigheid dan sociale rechtvaardighaeid.”
Sangat jelas dari sila keempat bahwa negara Indonesia tidak boleh dipimpin oleh satu golongan agama, oleh satu golongan orang kaya (oligarkhi), oleh satu gologang ras dan etnis; tidak dipimpin oleh para bangsawan atau salah satu raja; tidak dipimpin oleh satu kekuatan bersenjata; tidak juga para preman. Bangsa Indonesia harus dipimpin oleh “hikmat kebijaksanaan.”
Pertanyaannya, “mengapa hukum tata negara yang canggih itu dihapus lewat amandemen?” Entahlah. Sejarah kita memang parah. Para pendiri republik susah payah merekonstruksinya, generasi setelahnya membuangnya.
Akhir kata, selamat bekerja keras dan cerdas pada pemerintahan baru. Kerja akbarnya balik ke konstitusi asli. Kerja subtantifnya membalikkan kondisi ekonomi gelisah menjadi cerah. Mengapa akbar dan subtantif? Karena tingkat kerusakan ekosistem berbangsa dan bernegara kita tidak bisa diatasi kecuali dengan revolusi pancasila yang struktural dan kultural agar hadir kembali negara pancasila. Semoga.(*)
Telecoffee
Tentara Pancasila : Mengenang AH Nasution
JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID Ialah satu dari dua arsitek utama Orde Baru. Jenderal intelektual cum santri puritan sejati. Pada hari TNI, kita layak menyajikan kembali lima gagasan besar AH Nasution agar kecerdasan serdadu tak limbo: terterjang arus besar pasar pemroduk ketimpangan dan pengemis di republik pancasila.
Kita tahu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-79 pada 5 Oktober, hari ini. Peringatan HUT ke-79 TNI ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan yang berpusat di Silang Monas Jakarta. Kita paham, di umur yang tak lagi remaja, tatangan serdadu di zaman modern makin komplek. Maka, merefleksikan dan memproyeksikan pemikiran AH Nasution menjadi keniscayaan.
Mengapa pilihannya tokoh AH Nasution? Karena warisan tapak sejarahnya yang luar biasa. Ia adalah satu dari tiga jenderal besar dan politikus jenius Indonesia. Ia bertugas di militer selama revolusi nasional Indonesia dan tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Lalu, ia menjadi kreator kembali ke Konstitusi Asli sebagai cara bernegara pancasila.
Setelah jatuhnya Presiden Soekarno dari kekuasaan, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), saat bersamaan presidennya Soeharto. Lahir dari keluarga Batak Mandailing, di desa Hutapungkut, ia belajar dan mendaftar di akademi militer di Bandung. Sekolah yang nanti membentuk karakternya yang patriotik, idealistik dan konsensualis.
Pikiran utama AH Nasution adalah gerilya. Nasution menyadari bahwa persenjataan TNI dan strategi konvensional tidak akan mampu menghadapi penjajah yang serakah sehingga diperlukan adanya kantong-kantong gerilya. Maka dari itu, dibentuklah daerah pertahanan (wehrkreise) untuk menghadapi tentara penjajah yang lebih lengkap persenjataannya. Dengan cara hit and run serta tahu seluk beluk teritorial, gerilya akan efektif memenangkan perang.
Kedua, AH Nasution berpikir dan menulis bahwa tingkat pengabdian tertinggi serdadu adalah pada kebenaran yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, bagi Nasution, “hanya pengkhianat yang tidak mengikuti dan melanjutkan perjuangan pahlawan yang syahid demi negara dan rakyatnya. Sebaliknya, mereka biasanya akan menghancurkan negara sehingga layak disebut perusak dan penjahat.”
Ketiga, AH Nasution selalu mengulang tesis keren yaitu, “TNI harus menjaga dan mempertahankan keluhuran, kehormatan serta martabat bangsa dan negara bukan karena nafsu kebendaan melainkan didorong oleh keinsyafan jiwanya dalam mengabdi kepada ibu pertiwi.” Tentu bukan serdadu membela yang bayar, tetapi bersama yang benar.
Keempat, AH Nasution menegaskan bahwa mental serdadu kita itu republiken. Dus, “dalam tubuh TNI diintegrasikan sifat keprajuritan, kenasionalan, kerakyatan dan kerevolusioneran. Darinya terbentuk watak TNI bahwa mereka bukan prajurit sewaan. Mereka manusia yang terpanggil demi republik, dari republik dan untuk republik.”
Kelima, AH Nasution menghimbau agar pimpinan serdadu memahami teori dan isu geoekonomi. Ya, geoekonomi adalah kajian aspek ruang, waktu, dan politik dalam ekonomi dan sumber daya. Geoekonomi juga dapat diartikan sebagai penggunaan ekonomi untuk tujuan geopolitik, dengan lebih menekankan pada implementasi kebijakan. Dengan memahami ini serdadu akan siap jika terjadi perang modern, seperti perang dagang dan perang asimetrik.
Singkatnya, sebagai pilar utama berbangsa dan bernegara, serdadu harus melahirkan agen-agen kepemimpinan inklusif jenius, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan demi tumpah darah daratan, air dan udara serta seluruh penghuninya. Mereka disebut Tentara Pancasila. Tentara Indonesia yang patriotik. Tentara bermental semesta.
Tentu saja, ini semua merupakan kumpulan mentalitas dan karakter yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa: kalah dilindas oligarki dunia yang rakus. Inilah jenis kepemimpinan tentara yang lapang dan toleran serta memberi semangat jihad dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta. Dirgahayu TNI. Maju terus dan berdaulatlah penuh.(*)
Opini : Yudhie Haryono | Rektor Universitas Nusantara
Telecoffee
Membangun Dengan Basis Konstitusi
JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Demi bangsa, demi negara dan demi warganya. Itulah pokok pembangunan kita. Dus, pilarnya harus mencakup minimal lima poin: 1)Indonesia tanpa kelaparan; 2)Indonesia tanpa kemiskinan; 3)Indonesia tanpa kebodohan; 4)Indonesia tanpa kesakitan; 5)Indonesia tanpa diskriminasi dan ketimpangan.
Basisnya ada dalam pasal 28H dan pasal 33 ayat (3), (4) UUD 1945. Kedua pasal itu harus disinergiskan: pembangunan ekonomi dengan aspek lain seperti ideologi, kemasyarakatan, kebudayaan, tradisi, hankam, lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan politik/demokrasi.
Bunyi pasal 28H adalah: 1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 2)Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; 3)Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; 4)Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Sedangkan pasal 33 berbunyi: 3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Karena teks konstitusi itulah maka pembangunan nasional itu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Dulu via GBHN (garis-garis besar haluan negara), kini via visi misi presiden yang dibungkus oleh SPPN yang dibagi menjafi RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) sebagai dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun dan RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) sebagai dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
GBHN sendiri merupakan haluan negara tentang penyelenggaraan pemerintahan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR sehingga lebih mondial dan semesta. Karena itu disebut pembangunan semesta.
Sementara gantinya, via UU No. 25/2004 adalah SPPN (sistem perencanaan pembangunan nasional) yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP dan RPJM.
Berdasarkan PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, maka Menteri PPN/Kepala Bappenas bertugas menyiapkan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Tetapi, menteri PPN menyusunnya dari masukan kegiatan musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang tercantum dalam beberapa undang-undang dan perda terkait dengan perencanaan pembangunan daerah. Undang-undang tersebut adalah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah,dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Atas beberapa konstruk landasan SPPN maka terlihat lima kelemahannya: 1)Bias parpol; 2)Bias pemilu; 3)Bias eksekutif; 4)Bias ekonom(i), dan 5)Bias negara, anti rakyat.
Singkatnya, menurut Hendrawan Soepratikno (2015) GBHN dan SPPN memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya merupakan dokumen imajinasi pembangunan. Kalau GBHN terlihat lebih konsisten, tapi miskin improvisasi. Sementara SPPN yang hasilkan RPJPN yang dilaksanakan sekaramg kaya improvisasi tapi sering tidak konsisten.
GBHN adalah produk lembaga tertinggi negara, sehingga penyelenggaraan dan pengawasan lebik baik. Sedangkan SPPN lebih sensitif, memiliki peluang besar, ada dinamika, tapi tidak konsisten karena sangat tergantung pada sikon presiden.(*)
Telecoffee
Kontra Skema Jalur Sutra
JAKARTA, TELEGRAF.CO.ID — Apa itu jalur sutra? Adalah skema penjajahan purba yang dihidupkan lagi oleh negeri China demi eksistensialnya. Kita harus bagaimana? Buat kontra skema. Lawan kecerdasannya. Tikam kejeniusannya. Dengan apa?
Mengkreasi kembali “jalur rempah.” Kita tahu bahwa jalur maritim adalah jalur rempah. Keduanya merupakan jalur purba Atlantik dan Nusantara. Keduanya menjadi aksiologi bangsa Indonesia. Keduanya menegaskan dominasi peradaban spiritual dan jamu di semesta.
Tetapi, kini kondisinya dilupa: diucapkan tak dikerjakan. Akhirnya kita ikut jalur pasar gila: satu praktik dari teori usang dan jahat neoliberalisme yang menjijikkan karena melakukan panca program: (1)Debt Manipulation, (2)Economic Dependency, (3)Corporate Interests, (4)Political Influence dan (5)Global Impact.
Padahal, anugerah rempah, herbal dan jamu adalah mukjizat. Kita harus terus mengolahnya dengan panduan, supervisi dan ketekunan plus rasa cinta yang luarbiyasa agar maksimal jadi modal-model-modul peradaban besar, inspiratif plus berkeadilan.
Maka, kontra skema ini akan hasilkan keindahan negeri, keadilan umum, kemuliaan rakyat, kebaikan sesama, keagungan bangsa, kejeniusan pemimpin, kehormatan pemerintahan sebagai mahkota kita: mula dan akhir nusantara. Jalan dan cita-cita atlantis.
Dus, kita harus segera kerjakan tahapan-tahapan kontra skema. Pertama, dengan menghadirkan narasi maritim dan negara bahari. Beberapa langkah dua rezim sudah lumayan bekerja di ranah itu.
Kedua, kami akan luncurkan buku berjudul, “Indonesia’s Maritime Interest, Cooperation and Capacity Building,” karya Laksamana Muda TNI (Purn) Rosihan Arsyad, pada hari Sabtu, 28 September 2024, di Auditorium Perpustakaan Nasional Jl. Medan Merdeka Selatan No.11. Jakpus.
Acara ini dihadiri oleh narasumber terpilih yang akan memberikan perspektif mendalam terkait tema maritim, yaitu: Surya Wiranto, dosen Universitas Pertahanan (Unhan); Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); dan Ali Saleh, pakar maritim nasional.
Ketiga, kita ciptakan lembaga National Security Council (NSC) atau Dewan Keamanan Nasional yang merupakan badan pemerintah cabang eksekutif. Lembaga spesial bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan mengenai isu keamanan nasional dan memberi nasihat kepada presiden mengenai masalah yang terkait dengan keamanan nasional.
Keempat, kita ciptakan lembaga Banrehi. Ini adalah badan nasional yang mengurus rempah dan herbal plus jamu Indonesia. Sebuah alat perang dagang bagi republik yang “bukanlah tentang sikap menunggu badai berlalu,” tapi tentang belajar bagaimana menari di banjir bandang. Memenangkan perang dan pertempuran dengan mental pancasila yang menyemesta.
Satu lembaga super penting karena pemerintah Indonesia saat ini memilih menjadi high context culture sehingga rakyat dan elitenya banyak dalih, tafsir serta hobi “ngeles” cari pembenaran sekalipun jelas salah dan kalah.
Sisanya, mari kita berdiskusi dan saling meneguhkan Indonesia sebagai poros maritim dunia menyongsong Indonesia Emas 2045.(*)
-
Didaktika5 hari agoPendidikan Terjangkau Jadi Fokus Jaspal Sidhu di EdTech Asia Summit 2025
-
Ekonomika1 minggu agoBank Jakarta Raih Penghargaan ESG Excellence Awards, Bukti Komitmen Dorong UMKM dan Ekonomi Inklusif
-
Ekonomika1 minggu agoOJK Ingatkan Masyarakat Waspadai Modus Penipuan Digital dan Scam Keuangan
-
Ekonomika2 hari agoLaba Bersih BTN Tembus Rp2,3 Triliun di Kuartal III-2025, Naik 10,6 Persen
-
Ekonomika2 hari agoBNI Catat Laba Bersih Rp15,12 Triliun di Kuartal III 2025
-
Ekonomika4 hari agoOJK Perkuat Literasi Keuangan Syariah di Pesantren dan Sekolah, Dukung Kemandirian Ekonomi Umat
-
Ekonomika2 minggu agoBTN Optimistis Serap Penuh Dana Pemerintah Rp25 Triliun untuk Dorong Kredit Produktif dan Perumahan Rakyat
-
Corporate3 hari agoKolaborasi dengan Dunia Pendidikan, LPS Perluas Kerja Sama dengan UGM
-
Ekonomika3 hari agoOJK Dorong Reformasi Dana Pensiun untuk Perkuat Ketahanan Ekonomi Nasional
-
Rilis2 minggu agoKPI Merajut Jalinan Kerja Sama dengan Muhammadiyah untuk Mengawal Kepentingan Publik di Penyiaran
-
FEATURED3 minggu ago“Bjorka” Menjawab Salah Tangkap: Bocornya 341 Ribu Data Polisi dan 679 Ribu Surat Rahasia untuk Presiden
-
Humaniora3 minggu agoMerayakan Inisiatif Perdamaian Global, UNU Jogja – Indika Foundation Gelar “2R: Ruang Riung

