Telegraf – Jelang Kongres IV, PA GMNI adakan webinar yang menghadirkan antara lain sejumlah pembicara, seperti Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Direktur Pengembangan Usaha LPDB Kemenkop UKM, Djarot Wahyu Wibowo, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santoso, Co Founder MSMB dari UGM Bayu Dwi Apri Nugroho serta Pemerhati Pangan dan Lingkungan Hidup Andre Notohamijoyo pada, Jumat (19/11/2021).
Webinar yang dibuka oleh Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah itu antara lain membahas soal kedaulatan pangan di Indonesia, yang dinilai masih jauh dari harapan, dikarenakan masih banyaknyaa impor bahan pangan yang kini masih terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu diungkapkan oleh Dewan Kehormatan PA GMNI Siswono Yudo Husodo, yang juga mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) saat menjadi keynote speaker.
Sebelumnya, Siswono memaparkan tentang impor pangan yang terus meningkat, kemudia ia menjelaskan soal empat konsep yang harus dipahami jika membahas masalah pangan.
Pertama, kedaulatan pangan adalah kemampuan untuk mengatur sendiri hal yang terbaik di bidang pangan. Kedua, ketahanan pangan, yakni tersedianya pangan pada setiap waktu, di setiap tempat, dan dengan harga yang terjangkau.
Ketiga, keamanan pangan, yakni pangan yang aman untuk dipakai dengan nutrisi baik dalam melindungi kesehatan masyarakat.
Keempat, kemandirian pangan, yakni kemampuan kita sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negara.
“Jika melihat keempat konsep itu, sekarang kita menyadari Indonesia menjadi importir pangan yang sangat besar,” katanya.
Menurutnya, sejak 2013 hingga saat ini, Indonesia menjadi importir gula terbesar menggeser China dan Rusia. Indonesia importir gula terbesar di dunia, padahal jika ditarik kebelakang, di zaman Belanda, Indonesia merupakan eksportir gula terbesar dunia.
Tak hanya gula, Siswono juga menyebut 50 persen garam Indonesia adalah impor. Padahal, panjang pantai di Indonesia mencapai 80.000 kilo meter. Bahkan impor gandum Indonesia pun terus meningkat dikarenakan masyarakat doyan makan mi instan dan roti.
“Kita tak berdaulat dalam masalah ini. Impor gandum naik karena ada pembatasan impor jagung, yang ternyata gandum impor itu juga dipakai buat pakan ternak lantaran pakan ternak kita tak bisa dicukupi oleh produksi jagung dalam negeri,” jelasnya.
Lebih jauh Siswono menyebut Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan kedelai nasional. Padahal bahan baku tempe itu termasuk makanan pokok sehari-hari.
Tak hanya itu, 12 persen kebutuhan jagung untuk ternak masih impor, serta 16 persen kacang tanah dari impor, bahkan 90 persen bawang putih dalam negeri adalah impor.
“Konsumsi daging sapi 30 persen kita mengimpor. Kita menjadi negara importir pangan yang besar. Belum lagi sayur mayur dan buah buahan, masih impor,” imbuhnya.
Melihat semua kenyataan tersebut, Siswono meminta pada semua pihak melakukan introspeksi diri, kenapa Indonesia lebih menyukai barang impor. Padahal dilihat dari sudut pandang mana pun, Indonesia sangat bisa meningkatkan produksi pangan dalam negeri.
“Rasanya tidak pantas kita menjadi pengimpor pangan, mengingat lokasi kita di daerah tropis dengan luas lahan hampir 2 juta kilo meter persegi. Kita mendapat sinar matahari sepanjang tahun dan dengan curah hujan yang sangat cukup. Kita harus bersikap untuk membangun kemandirian pangan,” pungkasnya.
Photo Credit: Indonesia masih impor bahan pangan yang kini masih terus meningkat dari tahun ke tahun. ANTARA