Telegraf – Riset Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium menemukan brand brand ternama Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang sampahnya mendominasi dan menumpuk dipembuangan akhir di enam kota di Indonesia, yaitu di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali.
Researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin menjelaskan sampah plastik brand minuman ternama itu ditemukan dalam volume yang besar di banyak site, baik di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
Dari total 1.930.495 buah sampah plastik yang berhasil diidentifikasi di enam kota, sampah botol Sprite totalnya sebesar 30.171 buah, Fanta 23.654 buah dan botol Aqua 19.684 buah.
“Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut,” kata Syafrudin.
Lanjutnya temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh perusahaan-perusahaan pemilik brand belum efektif.
Ia menyebutkan dua brand lainnya, berturut-turut menempati posisi keempat dan kelima, adalah sampah botol Club (16.727 buah) dan sampah botol Coca Cola (11.357 buah).
Bila ditotal, total sampah trio brand minuman bersoda (Sprite, Fanta dan Coca Cola) mengalahkan total sampah botol Aqua dan brand kembarannya Vit (9.511 buah).
Riset juga menunjukkan sampah Le Minerale justru ada di urutan kesembilan, masih lebih sedikit dari sampah botol plastik Kecap ABC (7.214 buah) dan Yakult (7.013 buah).
Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
“Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning),” tutupnya.