Telegraf – Pertemuan dua tokoh bangsa, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Capres Ganjar Pranowo, di Komplek Kepatihan, Jalan Malioboro, Rabu (27/12/2023) adalah sebuah pertanda baik. Kedua tokoh memiliki berbagai persamaan pengalaman dan pengabdian. Ini adalah pertemuan pertama Sultan HB X dengan capres peserta kontestasi Pilpres 2024 ini.
“Bila pertemuan ini berdampak positif dalam konteks pilpres, itu adalah sesuai harapan. Dalam tahun politik seperti saat ini, tidak bisa dihindari akan muncul interpretasi seperti itu,” tutur Amarsjah Purba, Wakil Ketua TPN, mengomentari pertemuan itu, Jum’at (29/12/2023).
Pertemuan itu penting setidaknya oleh dua pertimbangan. Pertama, Amar melihat adanya di antara kedua tokoh. Mereka kebetulan sesama Fakultas Hukum FH UGM yang pernah memimpin Kagama. Sultan HB adalah Ketua Umum Kagama 2009-2014, sedangkan Ganjar Pranowo selanjutnya ganti memimpin organisasi alumni yang berdiri pada 18 Desember 1958 itu hingga kini.
Hal penting lain dalam masa ini adalah Cawapres Mahfud MD memiliki posisi fungsional di Kepatihan Istana Sultan yaitu sebagai Ketua Parampara Praja, yang alumni UGM.
“Jadi memang ada ikatan khusus,” tambah Amar
Sebagaimana dijelaskan kepada wartawan oleh Ganjar Pranowo, pertemuan itu membahas perkembangan bangsa dan negara. Dalam ini Ganjar menempatkan Sri Sultan sebagai sesepuh bangsa, yang harus didengar nasehatnya. Amar mengingatkan peristiwa seperempat abad lalu saat gerakan reformasi tengah bergejolak. Saat itu lahir apa yang disebut Deklarasi Ciganjur.
Itulah salah satu pendorong gerakan reformasi 1998. Saat itu para tokoh bangsa berperan di dalamnya Sri Sultan bersama mendiang Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Kunjungan Ganjar ini mengkonfirmasi bahwa dia merupakan sosok yang punya karakter yang mau mendengar dan berguru kepada para pihak yang jauh lebih senior.
Konsep Wahyu
Faktor kedua yang membuat pertemuan itu penting, bagi Amar, adalah soal wahyu atau cahaya kekuasaan dari seorang raja, khususnya dalam lingkup Kerajaan Mataram, yang meliputi wilayah Yogyakarta dan Solo sekarang. Merujuk pada penjelasan mendiang sejarawan UGM, Prof Sartono Kartodirjo, bahwa jarak geografis menentukan efek wahyu atau cahaya kekuasaan. Dalam hal ini semakin jauh dari pusat kekuasaan atau Istana, efeknya akan semakin meredup.
Tak heran bila dahulu wilayah seperti Surabaya (timur Istana Mataram), dan Cirebon di sebelah barat, disebut mancanegara. Di sana pengaruh Istana Mataram sudah sedikit berkurang.
“Konsep Pak Sartono itu, bisa dihubungkan dengan kedekatan Mas Ganjar dengan Sri Sultan, baik kedekatan secara personal, maupun kelembagaan,” ujar Amar.