500 Lebih Korban Tewas Oleh Militer Myanmar

Oleh : Indra Christianto
Photo Credit: Polisi dan tentara menembakkan peluru karet, gas air mata, dan meriam air demi membubarkan pengunjuk rasa yang kembali membanjiri jalanan. REUTERS

Telegraf – Korban tewas dalam tindakan kekerasan militer Myanmar terhadap demonstran telah melampaui 500 orang, saat kelompok pemberontak bersenjata pada Selasa (30/02/2021) terus mengancam junta dengan pembalasan jika pertumpahan darah tidak berhenti.

Kekuatan dunia telah meningkatkan kecaman mereka terhadap kampanye militer melawan gerakan anti kudeta oleh militer Myanmar. Sejumlah negara menuntut pemulihan pemerintahan terpilih dan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) menangguhkan pakta perdagangan dengan Myanmar. Sementara Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan front persatuan global untuk menekan junta, setelah lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dalam akhir pekan berdarah.

Menambah kampanye tekanan itu, trio kelompok pemberontak etnis pada Selasa mengecam tindakan keras itu dan mengancam akan berperang bersama demonstran, kecuali militer mengekang kekerasannya.

Unjuk rasa harian di seluruh Myanmar oleh demonstran tidak bersenjata disambut dengan gas air mata, peluru karet, dan peluru nyata.

Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) mengatakan telah mengkonfirmasi kematian total 510 warga sipil, tetapi memperingatkan jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

Pada Selasa, demonstran di Yangon mengosongkan kantong sampah di jalan-jalan sebagai bagian dari aksi terbaru. Sementara di Muse, kota negara bagian Shan, seorang pengunjuk rasa berusia 35 tahun ditembak mati.

Ada juga korban tewas lainnya di Myitkyina, negara bagian Kachin, menurut petugas penyelamat.

Tiga dari sekian banyak kelompok pemberontak etnis bersenjata di negara itu, antara lain Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang, Tentara Aliansi Demokratik Kebangsaan Myanmar, dan Tentara Arakan (AA) mengeluarkan pernyataan bersama berisi ancaman pembalasan.

“Jika mereka tidak berhenti dan terus membunuh orang, kami akan bekerja sama dengan para pengunjuk rasa dan balik melawan,” kata pernyataan itu, Selasa (30/3/2021).

Jika kelompok seperti itu angkat senjata, Debbie Stothard dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) memperingatkan situasinya bisa merosot menjadi perang saudara.

Lebih dari dua puluh pemberontak etnis minoritas telah berkobar di Myanmar sejak kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1948, memperebutkan otonomi, identitas, narkoba, dan sumber daya alam.

Militer telah berusaha memutuskan kesepakatan dengan beberapa kelompok bersenjata dan awal bulan ini mengeluarkan AA dari daftar organisasi teroris.

Tetapi selama akhir pekan, mereka melancarkan serangan udara di negara bagian Karen timur, serangan pertama semacam itu dalam 20 tahun. Penyerangan itu menargetkan Brigade Kelima dari Serikat Nasional Karen (KNU), setelah kelompok tersebut merebut pangkalan militer.

Diperkirakan 3.000 orang melarikan diri melalui hutan untuk mencari keselamatan melintasi perbatasan di Thailand, menurut kelompok lokal.

“Saya belum pernah melihatnya (serangan udara) sebelumnya. Saya sangat takut,” kata Naw Eh Tah (18) kepada AFP, setelah mencapai sisi perbatasan Thailand. Sebelumnya, ia berjalan melalui hutan selama beberapa hari.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) Karen bernama Hsa Moo mengatakan kepada AFP, pihak berwenang Thailand telah mendorong orang-orang itu kembali dan menuduh mereka memblokir pejabat pengungsi PBB dari daerah tersebut.

Perdana Menteri (PM) Thailand Prayut Chan-O-Cha bersikeras tidak ada pengungsi yang masuk dan bahwa pihak berwenang kerajaan tidak menakuti mereka dengan senjata atau tongkat.

Beberapa orang Karen yang terluka dalam serangan udara itu mencari perawatan medis pada Selasa, di sisi perbatasan Thailand. Kasus paling serius adalah anak berusia 15 tahun dengan paru-paru robek dan tulang rusuk patah.

Polisi Thailand mengatakan pihaknya telah mencegat 10 paket yang berisi 112 granat dan 6.000 butir amunisi. Temuan itu didapatkan di provinsi utara Chiang Rai sebagai kota perbatasan terkenal Myanmar, Tachileik.


Photo Credit: Polisi dan tentara menembakkan peluru karet, gas air mata, dan meriam air demi membubarkan pengunjuk rasa yang kembali membanjiri jalanan. REUTERS

 

Lainnya Dari Telegraf