Telegraf – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo atas perkara dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Namun, Ferdy Sambo masih bisa lolos dari eksekusi mati dengan adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP baru.
Diketahui, KUHP baru telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 6 Desember 2022 lalu. KUHP baru ini akan berlaku 3 tahun mendatang atau pada awal Januari 2026. Dengan demikian, jika perkara pembunuhan berencana yang menjerat Ferdy Sambo berkekuatan hukum tetap sebelum awal Januari 2026, tetapi eksekusinya belum dilaksanakan, maka akan berlaku ketentuan KUHP yang baru.
“Bagi terpidana mati yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht sebelum awal Januari 2026 nanti atau daya laku KUHP nasional, tetapi masih belum dilaksanakan eksekusinya, maka berlakulah ketentuan Pasal 3 KUHP nasional atau lex favor reo, yang menyatakan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan yang baru, kecuali peraturan yang lama menguntungkan bagi pelaku,” kata Albert Aries, tim sosialisasi RUU KUHP kepada wartawan, Selasa (14/02/2023).
Pasal 3 ayat (1) KUHP baru berbunyi, “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.”
Dikatakan, hal ini didasarkan pada paradigma pidana mati dalam KUHP nasional sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif sesuai Pasal 67 KUHP baru. Menurutnya, pasal tersebut menjadi jalan tengah bagi kelompok yang pro atau retentionis dan kontra abolitionis terhadap pidana mati.
Pasal 67 KUHP baru berbunyi, “Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.”
Dengan demikian, para terpidana mati yang belum dieksekusi saat berlakunya KUHP nasional akan berlaku ketentuan transisi yang nanti akan diatur dalam peraturan pemerintah. Aturan itu untuk menghitung masa tunggu yang sudah dijalani dan juga assesment yang dipergunakan untuk menilai adanya perubahan sikap dan perbuatan terpuji dari terpidana mati tersebut.
“Sehingga ketentuan ini, jangan dimaknai bahwa dengan berlakunya KUHP nasional akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi hapus ya, karena segala sesuatunya tetap akan dinilai secara objektif melalui assesment yang diatur dalam peraturan pemerintah,” terangnya.
Di samping itu, saat KUHP nasional berlaku nanti membuka peluang bagi terpidana mati untuk mengajukan grasi kepada presiden. Bahkan, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan eksekusi belum dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, pidana mati bisa menjadi berubah menjadi pidana seumur hidup. Hal itu bisa terjadi berdasarkan keputusan presiden sesuai dengan Pasal 101 KUHP baru.
“Jikalau permohonan grasi terpidana mati itu ditolak dan pelaksanaan eksekusinya belum juga dilaksanakan dalam waktu 10 tahun, maka dengan keputusan presiden, pidana mati tersebut dapat menjadi seumur hidup,” paparnya.
Adapun aturan mengenai pidana mati dalam KUHP nasional tercantum di Pasal 98 hingga Pasal 102.
Pasal 98: Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Pasal 99 ayat (1): Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak presiden.
Pasal 99 ayat (2): Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
Pasal 99 ayat (3): Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 99 ayat (4): Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pasal 100 ayat (1): Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan mempertimbangkan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
b. peran terdakwa dalam tindak pidana; atau
c. ada alasan yang meringankan.
Pasal 100 ayat (2): Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Pasal 100 ayat (3): Tenggang waktu masa percobaan 10 tahun dimulai 1 hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 100 ayat (4): Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 100 ayat (5): Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 101: Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan presiden.
Pasal 102: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan undang-undang.
Dari hasil sidang perkara pembunuhan Brigadir J, majelis hakim Pengadilan Negeri Jaksel menjatuhkan hukuman mati terhadap mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo. Majelis hakim menyatakan Ferdy Sambo terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perbuatan itu dilakukan Ferdy Sambo bersama-sama dengan istrinya Putri Candrawathi, ajudannya Richard Eliezer atau Bharada E dan Ricky Rizal atau Bripka RR serta sopirnya Kuat Ma’ruf.
Putusan terhadap Ferdy Sambo ini lebih berat dibanding tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut agar Ferdy Sambo dihukum penjara seumur hidup. Jaksa meyakini Ferdy Sambo bersalah dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J dan obstruction of justice kasus Brigadir J.
Selain pembunuhan berencana, majelis hakim juga menyatakan Ferdy Sambo terbukti melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice terkait penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Perbuatan itu dilakukan Ferdy Sambo bersama-sama dengan anak buahnya, yakni Hendra Kurniawan, Arif Rachman Arifin, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, Agus Nurpatria, dan Irfan Widyanto.