Telegraf, New York – Kemenangan Donald J Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 8 November lalu, banyak menuai tanda tanya, terutama karena Trump dianggap sebagai tokoh kontroversial. Kalangan pengamat internasional menilai, Trump berhasil memanfaatkan kelemahan lawannya serta memainkan sentimen-sentimen warga AS.
Kemunculan Trump menjadi tawaran baru untuk perubahan di AS. Sensasi dan semangat revolusi selalu muncul dari konglomerat yang penuh kontroversi itu. Kampanye Trump dianggap magnet yang membangkitkan nostalgia kejayaan AS.
Slogan “Make America Great Again” mampu disuarakan Trump dengan baik dan lantang. Slogan itu menciptakan dikotomi yang tegas dan jelas, jika disandingkan dengan slogan Hillary Clinton, yakni “Stronger Together”.
Jajak pendapat yang pernah dilakukan CNN menunjukkan bahwa Trump dianggap mampu menaklukkan hati rakyat AS dalam isu terorisme, imigran, dan perdagangan dunia. Rakyat menaruh harapan besar pada janji Trump menanggulangi radikalisme di dalam negeri.
Banyak orang menuding kemenangan Donald Trump disebabkan kesalahan Hillary Clinton. Asumsi lain, sistem patriarki di AS belum siap menerima perempuan sebagai kepala negara. Sepanjang sejarah 240 tahun, belum pernah ada capres perempuan.
Faktor Obama
Clinton boleh jadi bukan satu-satunya faktor, kepemimpinan Presiden Barack Obama dan kekecewaan rakyat AS boleh jadi punya andil besar. Didorong akumulasi kekecewaan selama dua periode kepemimpinan Barack Obama, Trump pun memetik kemenangan dalam pilpres.
Ketidakpuasan rakyat AS terhadap pemerintahan Obama sebenarnya sudah terlihat dari jajak pendapat yang digelar oleh Gallup, dan seperti dilaporkan Press TV, Desember 2011. Survei menemukan hanya sekitar 17% rakyat AS yang puas dengan kepemimpinan pemerintah pada tahun 2011.
Poling ini juga menemukan tingkat kepuasan warga AS terhadap model kepemimpinan pemerintah mencapai titik terendah. Sebelumnya pada tahun 2008, tingkap kepuasan rakyat AS juga menurun dan hanya mencapai 15%.
Hasil jajak pendapat Gallup 2011 itu lebih banyak dipicu oleh meningkatnya krisis ekonomi yang dihadapi AS. Saat itu, sekitar 64% warga menilai masalah ekonomi sebagai kendala utama di AS. Krisis ini juga membuat para petinggi Gedung Putih kebingungan dan faktor utama ketidakpuasan warga.
Pada waktu itu, pemerintah Washington tengah dihadapkan pada defisit anggaran sekitar US$ 1,3 triliun, dan utang yang mencapai US$ 15 triliun. Kondisi defisit anggaran yang membengkak, angka pengangguran yang meningkat, korupsi yang merebak, kasus perpajakan, serta melejitnya anggaran perang di Afghanistan dan Irak, serta meluasnya program pemerintah yang memangkas anggaran negara, kian membuat rakyat Amerika pesimistis.
Kebijakan Obama yang menaikkan harga BBM pada 2012 juga pernah membuat warga marah. Jajak pendapat yang digelar lembaga pemantau independen Ipsos menunjukkan 68% rakyat Amerika tidak setuju kenaikan harga BBM.
Survei yang dilakukan kantor berita Associated Press dan lembaga riset pasar GfK yang melibatkan 1.027 warga AS, pada Oktober 2015, menunjukkan akumulasi kekecewaan rakyat AS terhadap pemerintahan Obama kembali terlihat. Rakyat AS pun kecewa saat mengetahui kebijakan Obama dalam memerangi kelompok militan Negara Islam (IS). Mereka juga pesimistis pada kesuksesan militer AS di Afghanistan.
Di penghujung kepemimpinan Obama, Partai Demokrat akhirnya menyodorkan nama Hillary Clinton sebagai kandidat presiden AS. Terpilihnya Hillary seolah tidak menawarkan warna baru dan perubahan, jika kandidat Demokrat itu memenangi pilpres 2016. Apalagi, Hillary Clinton pernah menjadi bagian kabinet pemerintahan Obama.
Bangkitkan Nostalgia
Ketua Pusat Kajian Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman menilai, kunci kemenangan Trump karena kemampuannya membangkitkan nostalgia tentang kejayaan AS di masa lalu. Situasi perekonomian AS saat ini yang kurang baik menjadi jualan Trump.
Selain itu, Trump juga berhasil menyorot kalangan bawah AS yang sangat menderita. Lain halnya dengan Hillary Clinton, yang kebijakan-kebijakannya cenderung elitis.
“Secara kultur, Amerika suka dipimpin laki-laki. Ditambah, Trump ini orang kaya, menjadi simbol dari materialisme mereka sendiri. Kehadiran Trump memberi pesan bahwa orang kaya akan bisa menanggulangi penderitaan kalangan pekerja, kelas bawah,” kata Suzie di Jakarta, Sabtu (12/11) pagi.
Menurut Suzie, kalangan bawah bagaimanapun enggan membahas kebijakan yang terlalu rumit, sebaliknya lebih menyukai hal-hal nyata dan sehari-hari. “Hillary sudah dinasihati Bill Clinton untuk memperhatikan kelas pekerja, tapi tidak dilakukan karena Hillary terlalu pintar,” ujarnya.
Suzie menuturkan hal sama juga diangkat oleh Presiden Rodrigo Duterte saat berkampanye, yakni berupaya membangkitkan kembali nasionalisme Filipina dengan cara melepas keterikatan dengan AS. Duterte berusaha fokus ke dalam negeri, termasuk perangnya melawan narkoba yang sudah menewaskan ribuan orang.
Suzie berpendapat, pasca terpilihnya Trump sebagai presiden, janji-janjinya selama kampanye sangat mungkin hanya retorika. Misalnya, janji Trump untuk membangun tembok di perbatasan Meksiko dan Amerika sulit dilakukan karena biayanya yang mahal.
Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Bandung, Teuku Rezasyah, mengatakan fenomena Trump sama dengan saat kampanye mantan presiden AS, Ronald Reagan yang juga bekas aktor film dan televisi. Reagan menggunakan kata “great” (besar), seperti Trump dengan jargon kampanyenya “Make America Great Again”.
“Masyarakat Amerika sekarang melihat masa-masa yang tidak great, karena ekonomi di dalam negeri memburuk. Trump berhasil didukung silent voters yang diam-diam mendukungnya tapi malu dikaitkan dengan masalah agama atau suku yang disuarakan Trump,” ujar Rezasyah.
Dia menambahkan, warga AS juga tampak sudah jenuh dengan kepemimpinan Obama selama delapan tahun. Figur Obama dianggap membosankan karena ekonomi masyarakat tidak semakin bertumbuh, bahkan warga AS menilai kesejahteraan yang mereka nikmati saat ini lebih rendah dari 20 tahun silam.
“Kalau dipimpin oleh penerus Obama, maka tidak akan lebih maju. Janji-janji Hillary tidak meyakinkan bagi generasi muda,” kata Rezasyah.
Rezasyah menambahkan, faktor kemenangan Trump juga didukung oleh generasi muda. Kelompok muda ingin perubahan cepat. Mereka melihat Trump merupakan orang yang berhasil di dunia bisnis serta aktif dalam program-program keahlian bisnis.
“Trump bisa disebut perancang program, pengendali program, perekrut, dan seseorang yang sanggup menggerakan orang. Dampaknya terlihat sekarang. Orang-orang kaget, bahkan mungkin mereka yang memilih Trump sekalipun tidak menyangka hasilnya seperti ini,” ujar Rezasyah.
Terkait kebijakan luar negeri ke depan, Rezasyah berpendapat situasinya masih belum jelas. Trump tampaknya akan mengurangi kegiatan militernya di luar negeri yang bisa menghabiskan US$ 10 triliun per tahun. “Trump mengatakan energi yang selama ini dihabiskan untuk bisnis dan militer akan dikembalikan ke dalam. Dia akan fokus pembenahan ekonomi dalam negeri,” kata Rezasyah. (Red)
Foto : Donald Trump, Presiden Amerika Serikat terpilih asal Partai Republik. | Reuters